Malam Minggu pertama awal Bulan ini agendanya sedikit berbeda. Apel rutin bulanan di Omah Maneges keluar dari jadwal biasanya karena akan menyelanggarakan Milad yang ke 8.Â
Kekosongan waktu ini seakan menjadi sebuah kesempatan bagi saya untuk dapat bertamu ke Saba Maiyah di Wonosobo yang jadwal rutinan bulannya sama persis dengan jadwal MQ. Ya, anggap saja itu sebagai sebuah alasan atas gelar jomblo yang melekat ini. Walaupun tidak banyak yang mengerti kalau saya memang single fighter dan an enthusiast loner!
Beruntung alam sedang tidak murung, sehingga perjalanan pun tidak berasa. Hanya sesekali, saya terjebak oleh kubangan aspal yang membuat reflek kata-kata mesra keluar begitu merdu. Karena merdu itu sebuah perumusan, agar alam yang mendengarnya tidak tersinggung, melainkan bahagia menertawakan saya.Â
Jadi, jangan malas mencari ilmu walaupun sendirian. Karena selalu ada teman dalam kesunyian. Hanya kamu saja yang terlalu pilih kasih dan menganggap hanya seonggok daging lain yang berhak menemaninya. Padahal, alam yang terkesan diam justru selalu melantunkan suatu pemikiran yang kuat.
Terbukti, sesampai di Shin Foodcourt acara masih belum mulai. Saya melihat tempat acaranya juga asik dengan banyak pilihan sekat-sekat ruang jajan yang pastinya akan terasa sangat nikmat di suasana dinginnya negeri kayangan ini, tentu sembari mencari ilmu bersama-sama. Apalagi setelah para jamaah berdatangan, saya sangat terkesima karena hampir mayoritas jamaah Saba Maiyah adalah muda-mudi.Â
Potensi Saba Maiyah untuk menjadi pondasi pembangunan moral kedepannya akan memiliki peran yang sangat sentral di lingkungan Wonosobo pastinya. Saya amati juga banyak Gusdurian-Gusdurian di lingkungan ini. Ini sangat bagus dan menjadi bukti bahwa Lingkungan Maiyah dapat menampung segala pemikiran, tidak harus terlalu taqlid kepada Mbah Nun.
Hiburan pementasan-pementasan model nge-jam bareng ala anak-anak muda menjadi awal acara Saba Maiyah ini. Untuk memantik gairah anak-anak muda untuk lebih bersemangat sembari menyanyikan lagu bersama-sama. Bukan Indonesia Raya lho ya! Lalu pembacaan surat Yasiin menjadi bentuk ngabektinya dulur Maiyah kepada Tuhan Semesta Alam.
Kang Farhan dan Mba Fazza menjadi yang saya kira akan berperan menjadi moderator, nyatanya  pada acara malam ini hanya akan berperan menjadi MC. Saya sedikit kecewa dengan Mba Fazza, salah satu penyiar Radio Pesona FM Wonosobo yang kiranya akan menemani jalannya acara ini. Ternyata, tak sepenuhnya bisa menemani. dan hanya meninggalkan kegegeran di grup para sedulur Maiyah yang satu region dengan Saba Maiyah. Kalau bagi saya sih biasa saja, hanya mbatin, "sungguh indah nikmatMu dalam temaram ini yang Kau manifestasikan dalam rona wajahnya, Gusti!"
Sebuah pendapat Kang Farhan dengan komentar-komentar netijen tentang tema 'Klilipan' ini. Berikutnya dipersilahkan tampil sebuah pembacaan puisi yang akan dibawakan oleh Mba Muslimah. Saya tertarik pada bait yang berbunyi, "ilmu dan peradaban tidak akan sampai pada asal mula jiwa kembali. Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri. Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali."
Makna yang sangat dalam apabila kita tidak malas untuk mencari. Merinding ketika mendengarnya. Dan malam ini ada 2 pembacaan puisi. Yang satu adalah 'Sajak Bulan Mei'-nya karya WS Rendra. Menyenangkan! Selain itu, ada juga Monolog dari Mas Abi. Salah satu seorang penggiat awal-awal Kenduri Cinta Jakarta. Yang membawakan pesan Yaa Busulum Ham Ahwa' dipentaskan dengan teatrikal nan emosional. Yang dijawab dengan jamaah ahaa' ahaa' tanpa tahu artinya terlebih dahulu.Â
Kita semua sepakat untuk membunuh sesama! Dan jamaah menjawabnya iyaa! Ternyata itulah arinya. Kondisi zaman yang sengaja disiratkan kedalam pentas monolognya agar kita selalu mawas dan tidak ikut mudah hanyut dalam arus. Apalagi kalau akhirnya hanya menyempitkan makna cinta dan membangun kebencian antar sesama.
Sesi diskusi pun dimulai sekitar pukul 22.00. Kang Ahmad ngode untuk mengajak saya menaiki panggung. Saya sedih, saya sudah di panggung tapi disuruh naik panggung lagi. Bingung,kan? Karena saya sendiri kesini hanya diperjalankan atas dasar cinta. Bukan untuk apa-apa, apalagi mengemban misi tertentu.Â
Semua hanya hasil kemesraan dan cinta hingga akhirnya semua dipertemukan. Bersama dengan Mas Zuhud dan Mas Abi, akhirnya kita berempat nggelar kloso untuk membahas tema 'Klilipan' dan ngudari satu persatu sebagai proses pembelajaran bersama.
Para jamaah di awal acara sudah banyak yang menanggapi. Kesamaan pemikiran akhirnya bertemu. Salah satunya adalah tentang benar dan salah. Karena pada dasarnya manusia memiliki ego kebenaran versi pemikirannya yang tidak semua bisa diseragamkan.
Di sesi terakhir Mas Akbar, Gus Blero, dan Pak Tono dipersilahkan menaiki panggung. Mas Akbar bercerita tentang Sengkuni. Seperti salah satu katanya, "Siapapun yang di-bully/ ditindas jika melakukan kejahatan, akhirnya akan menjadi sebuah pemakluman. Inilah Sengkuni versi teater perdikan buatan Mbah Nun ini. Kemudian Pak Tono adalah seorang Tokoh di balik terciptanya Pasar Kumandang yang sangat kondang ini.Â
Karena transaksinya menggunakan koin. Pak Tono tidak dekat Mbah Nun akan tetapi dekat dengan Umbu Landu Paranggi, gurunya Simbah. Salah satu kata Pak Tono yang ditekankan adalah sebuah kata berjuang yang diganti dengan berproses. Untuk mengantisipasi rasa kecewa yang mungkin akan berdatangan menyapa.
Lalu Gus Blero menyuruh jamaah untuk mencari "Saba Parwa". Tanpa dibahas. Beliau hanya menyampaikan singkat. Islam hanya tinggal jenenge. Al Qur'an mung kari tulisane. Jaman-jaman susah tapi di sisi yang lain. Wonosobo akan menjadi peranan penting dalam segala peristiwa genting jaman ini. Setidaknya, Jadilah pemimpin bagi kehidupanmu sendiri.
Acara pun ditutup dengan Wirid Penuntasan oleh Kang Ahmad. Sekitar pukul 03.00 pun acara dipungkasi dengan saling bersalam-salaman sambil bersholawat. Mission completed!
Minggu, 3 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H