Suatu masa di negeri yang bercitrakan surga, katanya. Dengan lautan bak kolam susunya. Karena sebagian besar wilayah negara tersebut adalah lautan. Yang anehnya, mata pencaharian sebagai nelayan bukan menjadi sebuah favorit di negara tersebut. Atau mungkin lirik 'tiada badai tiada topan kutemui' sudah usang tertelan zaman. Sehingga banyak nelayan yang berubah haluan karena takut. Tapi sepertinya bukan karena itu, karena daya juang masyarakatnya sungguh luar biasa. Alam begitu menunjang, hanya saja kerakusan sering menjadi penyakit para penguasa negeri tersebut. Yang akhirnya manajerial pemerataan tidak berjalan semestinya.
Jargon sila kedua 'Kemanusiaan yang adil dan beradab' masih sangat jauh dari realita. Pemerintah tidak akan pernah bisa mewujudkannya jika rakyat pun masih melihat tolak ukur 'adil' tersebut hanya sebatas materi. Apalagi sila kelima yang kata 'keadilan sosial'nya hanya sebatas kamuflase tak jelas. Pemerintah tak bisa bertindak dengan tegas kepada ormas-ormas yang menjadi perusak keadilan sosial tersebut. Kecuali jika menguntungkan dari sisi perpolitikan. Yang pasti segala yang terjadi dalam negeri ini adalah hal yang lucu dan menggemaskan. Menikmati segala hiruk pikuk ini sembari ngopi, lalu membiarkan jari-jemari ini breakdance sesukanya.
Negeri ini akan mengadakan pemilihan umum untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin para 'budak rakyat'nya. Jadi, seorang presiden sendiri sebenarnya hanyalah kepala direktur para pelayan masyarakat. Nah, masyarakat atau para majikan yang akan memilih seorang kepala pelayan, terutama di negeri ini malah sedang kebingungan. Aneh bukan? Seolah majikan itu sudah tidak percaya dengan para kandidat yang disodorkan untuk mempercayakan rumah mereka agar tetap bersih, rapi, dan indah.
Bagaimana tidak? Majikan sekarang tingkat intelegensinya sudah meningkat karena zaman sudah berubah ke era digital. Para kandidat yang disodorkan pun entah berasal dari mana, yang mana tidak ada yang sesuai kriterianya dengan keinginan para majikan tersebut. Tender yang dipercaya untuk menyaring para kandidat sepertinya juga tidak beres. Sangat tidak peka pada keinginan para majikan tersebut.
Jadi, fenomona pemilihan tahun ini akan terasa sangat mesra. Dimana para rakyat mungkin akan mencetak sejarah sebagai majikan yang sangat tidak peduli kepada rumahnya sendiri untuk tetap rapi, bersih, dan nyaman. Seorang majikan yang sudah tidak peduli lagi mau rumahnya akan dimaling oleh para pelayannya sendiri. Biarkan!
Hanya saja kita perlu berfikir lagi bagi yang suka saja, di atas langit masih ada langit, di atas cahaya masih ada cahaya. Di atas para majikan itu pun masih ada majikan.
Ya, Tuhan Yang Maha Segala-galanya. Golput merupakan sebuah tindakan abstain akan sebuah pilihan yang disodorkan. Sangat tidak mungkin jika Tuhan Maha Pencipta sebuah pilihan hanya akan merencanakan suatu golongan golput.
Antara surga atau neraka, baik atau buruk, kaya atau miskin, pria atau wanita. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan dengan pilihan. Bakso atau soto, mecari nafkah atau bermalas-malasan, mencari ilmu atau hanya memastikan kebenaran, menyayangi atau membenci, menyapa atau diam.
Akankah semua pilihan itu diciptakan kalau tujuannya hanya golput? Buat apa Tuhan menciptakan sebuah pilihan jika kita disuruh memilih saja masih memikirkan kebenaran versi diri sendiri.
Bukankah kita diciptakan atas segala perbedaan tersebut untuk saling menghargai dan menghormati? Terutama atas segala perbedaan pilihan dan pendapat. Tentu sekali lagi bagi yang mau berfikir.
Manusia terkadang memang suka memaksa segalanya dengan harapan sesuai keinginannya. Terkadang kurang bisa memnghargai sebuah pilihan yang disodorkan. Pernahkanh kita sekali saja membayangkan, ketika kita istikharah (sebuah ibadah yang dilakukan dengan harapan Tuhan memberi petunjuk kepada suatu pilihan).
Lalu Tuhan hanya bersikap golput! Secara pribadi, saya hanya berpendapat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang  sekalipun tidak pernah abstain untuk terus memberikan pilihan yang terbaik. Hanya saja kemalasan berfikir atau kedaulatan terhadap diri sendiri sering menjadi penghalang untuk memaklumi hal-hal semacam ini. Keegoisan menjadi hijab untuk setidaknya menghargai pilihan-pilihan yang disajikan. Memang benar adanya jika musuh terbesar adalah diri sendiri.
Bukankah kita sering menemukan apa yang menjadi pilihan kita, belum tentu baik bagi Tuhan, dan apa yang kita benci, justru itu baik menurut Tuhan. Kita hanya manusia yang sangat takut untuk menghadapi segala resiko. Kita tidak bisa selamanya menapaki kemenangan. Kita tidak bisa selamanya menjajaki kebenaran.
Sekali-kali kita akan dihadapkan dengan apa itu kekalahan atau apa itu kesalahan. Bukankah setetes embun pun tidak akan jatuh ke bumi tanpa ada ijin Tuhan di dalamnya?
Mari kita biasakan diri untuk berani memilih secara diam-diam. Dalam memilih kepala pelayan ini kalau bisa gunakan hak memilih secara diam-diam. Jangan paksakan kebenaran versimu untuk mempengaruhi orang lain. Tidak ada yang bisa memberi petunjuk kecuali atas keinginan Tuhan.
Gunakan hak pilih secara bebas dan rahasia. Itulah mengapa dibangun bilik-bilik suara. Siapa besok yang bakal terpilih, menang dan kalah adalah hal yang biasa dalam kehidupan. Jangan biarkan kebencian tumbuh membutakan segala kasih sayangmu terhadap perbedaan. Setidaknya cukup di kamu. Karena kasih sayang merupakan hal yang terpenting untuk diwariskan kepada anak cucu daripada kehebatan sebuah pergerakan atau perubahan yang terbalut kusut oleh dendam dan kebencian.
27 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H