Konflik lahan di kawasan Hutan Produksi terutama pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) sepertinya tidak berujung pangkal, satu diselesaikan yang lain muncul, ini merupakan gelaja yang sudah ada sejak lama. Penyebab munculnya konflik sebenarnya terjadi karena kurangnya informasi kondisi lapangan antara pemberi izin dan pemegang izin.
Data Kondisi Lapangan
Pemberi izin tidak didukung sepenuhnya data kondisi lapangan yang sebenarnya, dapat dikatakan percaya sepenuhnya kepada rekomendasi teknis yang diberikan oleh Bupati dalam hal ini berdasarkan pertimbangan teknis dari Dinas Kabupaten yang membidangi Kehutanan demikian juga rekomendasi Gubernur atas dasar pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan Provinsi yang membidangi Kehutanan serta dari Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi dalam hal ini Balai Pemantapan Kawasan Hutan wilayah setempat, yang kesemuannya hampir berasal dari data analisa peta di atas meja.
Demikian juga pemegang izin, pada saat mengajukan permohonan tidak melihat kondisi lapangan secara langsung, hanya percaya kepada konsultan yang diserahi untuk membuat proposal teknis, yang biasanya dalam menangani masalah konfik dibuatlah skema CSR atau kerjasama kemitraan yang kalau dibaca kelihatannya selesai secara tuntas tanpa ada masalah.
Masalah di lapangan
Kenyataan di lapangan tidaklah semudah yang ditulis dalam proposal teknis, banyak sekali masalah lahan di dalam kawasan hutan produksi terutama pada IUPHHK-HTI mulai dari pendudukan lahan secara turun temurun sebelum izin terbit, adanya okupasi masyarakat pendatang yang secara murah membeli lahan kepada masyarakat setempat dalam bentuk Surat Keterangan Tanah (SKT) atau modus perusahaaan perkebunan yang ingin memperluas arealnya, dengan memberi iming-iming kepada masyarakat yang menduduki kawasan hutan untuk dijadikan kerjasama dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dimana perusahaan perkebunan sebagai intinya sedangkan masyarakat yang membuka kawasan hutan dijadikan sebagai plasma dan banyak modus lain yang secara nyata menguntungkan bagi masyarakat yang menduduki kawasan hutan.
Hak dan Kewajiban Pemegang Izin
Mari kita menengok ke belakang, pada saat izin diberikan kepada pihak perusahaan, seharusnya pemegang izin membaca dengan seksama izin yang diberikan oleh Menteri Kehutanan, didalamnya tertulis dengan jelas Hak dan Kewajiban Pemegang Izin. Hak pemegang izin antara lain adalah melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperoleh, kemudian mendapatkan prioritas bagi yang memiliki kinerja tidak buruk untuk memperoleh perluasan areal kerjanya. Sedangkan kewajibannya ada sekitar 20 item yang kesemuanya merupakan upaya pemberi izin dalam rangka memberikan kepastian usaha bagi pemegang izin untuk melaksanakan usahanya sehingga dapat memperoleh keuntungan dan memberi manfaat bagi masyarakat disekitar areal izin. Adanya kewajiban penyusunan Rencana Kerja Usaha, Rencana Kerja Tahunan serta kewajiban menata batas arealnya adalah antara lain untuk menghidari konflik dengan masyarakat yang ada dalam areal izin. Pada kenyataannya pemegang izin banyak yang belum menata batas arealnya dengan berbagai alasan, mulai dari sulitnya membuat trayek tata batas yang kurang kelengkapannya, maupun kesulitan finansial yang seharusnya bukan menjadi alasan utama. Kalau memang benar-benar ingin berusaha dibidang hutan tanaman seharusnya sudah mengetahui dana-dana operasional yang akan dikeluarkan terutama untuk membuat tata batas areal kerjanya. Sementara ada juga pemegang izin yang tersedia dananya tetapi pengesahan trayeknya belum selesai atau belum tersedia petugas BPKH yang mendampingi juru ukur di lapangan.
Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan terkait dengan IUPHHK-HTI di dalamnya juga tercantum ketentuan, apabila di dalam areal IUPHHK-HTI terdapat lahan yang menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki atau digarap oleh pihak ketiga secara sah, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal izin. Dari keterangan tersebut sebenarnya secara tidak langsung Pemerintah sudah mengetahui bahwa areal yang diberikan izin ada masyarakat di dalamnya, sementara pihak pemegang izin seolah tidak mau tahu dan selalu merasa apabila izin sudah diberikan misalnya seluas 100.000 ha, maka seluas itulah yang akan dikerjakan tidak perduli ada masyarakat di dalamnya. Hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan.
Bagaimana solusinya ?
Berbagai Peraturan Menteri Kehutanan untuk menangani konflik pada kawasan hutan produksi telah diterbitkan antara lain Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui Kemitraan Kehutanan dan yang terakhir Peraturan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 79 tahun 2014; PB.3/Menhut-II/2014; 17/PRT/M/2014; 8/SKB/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada dalam Kawasan Hutan, yang intinya adalah bahwa keberadaan masyarakat di dalam dan diluar kawasan hutan tidak bisa dipungkiri memang ada, sehingga perlu win-win solution dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.39/Menhut-II/2013 disebutkan bahwa masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan diberi hak untuk mengelola lahan maksimal 2 Ha per KK dengan pola kemitraan dengan pemegang izin yang arealnya berada dalam areal tanaman kehidupan, atau areal konflik atau areal yang secara turun temurun sudah dikuasai oleh masyarakat. Permasalahannya adalah masyarakat tidak mudah untuk diarahkan bermitra, apalagi nantinya jenis tanamannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Sementara itu dengan terbitnya Peraturan Bersama rangka Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan terkesan solusinya memberi harapan kepada masyarakat untuk memperoleh hak milik dengan menerbitkan sertifikat, hal ini dikawatirkan masyarakat akan berbondong-bondong menduduki kawasan hutan, sementara pemegang izin belum sanggup menjaga seluruh arealnya selama 24 jam.
Dari solusi yang akan diterapkan sesuai dengan peraturan tersebut di atas, masih dimungkinkan ada solusi terobosan yang diyakini masyarakat di dalam kawasan hutan akan menyetujui. Kalau dilihat dari Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang izin Usaha Pemanfaatan Hasil hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), ada peluang untuk penyelesaian konflik pada pemegang IUPHHK-HTI, dalam peraturan tersebut dimungkinkan kepada masyarakat yang sudah menggarap areal di kawasan hutan produksi dalam bentuk tanaman berbagai jenis (karet, sawit, atau tanaman yang menghasilkan pangan atau energi). Dalam Peraturan disebutkan antara lain untuk kebun kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari 3 tahun diberi kesempatan untuk memelihara tanaman sawitnya selama daur, masyarakat diberi kesempatan untuk memelihara sawit selama 20 tahun, selanjutnya diganti dengan tanaman kehutanan. Demikian juga apabila kelapa sawitnya sudah berumur lebih dari 10 tahun penggarap diminta untuk menanam jenis tanaman kehutanan sebanyak 400 pohon di sela-sela tanaman sawit dan diberi kesempatan untuk memelihara sawitnya selama daur dan selanjutnya diganti tanaman kehutanan, tentu mekanismenya menggunakan pola HTR, artinya areal konflik dikeluarkan dari areal pemegang izin menjadi areal pencadangan HTR, selanjutnya mengikuti mekanisme Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang izin Usaha Pemanfaatan Hasil hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), masyarakat tetap bermitra dengan pemegang izin, terutama hasil hutannya setelah diganti jenis tanaman hutan, setelah panen produksinya dibeli oleh pemegang izin dengan pola bagi hasil yang disetujui bersama. Mekanisme ini akan mempertahankan kawasan hutan tetap utuh karena masyarakat hanya mengelola tidak memiliki sehingga dapat dihindari kawasan hutan dibuat sertifikat.
Kesimpulan
Adanya Peraturan Menteri Kehutanan tentang Kemitraan dan Peraturan Bersama empat Menteri tentang Tatacara Penyelesaian Tanah di dalam Kawasan Hutan belum dapat menjamin menyelesaikan konflik di IUPHHK-HTI bisa tuntas.
Perlu ada trobosan menggunakan mekanisme Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang izin Usaha Pemanfaatan Hasil hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), sehingga konflik di IUPHHK-HTI dapat diselesaikan dengan baik.
Saran
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Kemitraan dan Peraturan Bersama empat Menteri tentang Tatacara Penyelesaian Tanah di dalam kawasan hutan sebetulnya cukup memadai, tetapi untuk penerapannya agak sulit dilaksanakan karena masyarakat butuh penyelesaian dengan cepat, bukan hanya menurunkan tim terpadu yang karena birokrasi hasilnya kadang-kadang tidak tuntas dan terlalu lama. Oleh karena itu solusi terobosan dengan menerapkan pola yang ada dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang izin Usaha Pemanfaatan Hasil hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) diharapkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat yang berada dalam kawasan hutan maupun pemegang izin.
Pola yang diterapkan tentunya bisa dimodifikasi tergantung kondisi di lapangan, kalau kenyataannya jenis yang sudah ditanam adalah karet, maka tinggal menyesuaikan daurnya, demikian juga untuk jenis lainnya, yang penting masyarakat menerima dengan senang hati tanpa paksaan, sehingga konflik diharapkan segera berakhir, pemegang izin bisa mengerjakan usahanya dengan tenang tanpa gangguan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H