"Aku hanya ingin menikmati kopi lagi bersamamu, seperti dulu"
Aku terdiam.Â
Lelaki itu megeluarkan sesuatu dari tas kantornya (yang selalu kusiapkan tiap pagi), dia mengeluarkan sesuatu seperti kantong dari beludru yang berbentuk persegi panjang karena mengikuti bentuk yang dilindunginya, meskipun ditutupi kain beludru, namun aku hafal bentuk buku kepunyaanku. "Ini buku diarimu yang seharusnya aku beri pada malam itu, selama dirumah aku selalu ingin memberikannya padamu tapi aku merasa jiwamu tak pernah ada disana, aku tidak akan memaksamu untuk membukanya sekarang namun aku mohon padamu untuk membaca isi yang seharusnya kamu baca pada malam itu"
Aku terdiam. Ada rasa jengah untuk menerima buku itu ketika aku mengingat desakan lengannya membuat tubuhku keras menghantam dinding kembali namun rautnya yang tulus perlahan melunakkan hatiku.
"Aku tau kamu tak sudi pulang bersamaku tapi aku harus pulang sekarang untuk mengejar deadline laporan laporan itu, aku akan menyuruh supir kantor untuk mengawasi jalan pulangmu" Lelaki itu bergegas berdiri, membayar kopi dan makanan yang sudah dingin sekarang, dan berjalan menuju pintu jati dengan ukiran rumit itu, sesaat langkah kakinya semakin ragu.
"Aku ingat ini tepat setahun yang lalu, aku.. minta maaf sekali lagi" Suaranya tercekat sendu.
Aku hanya diam.
Sinar matahari yang hangat menemani bening lembut (yang sialnya) tak bisa kuelak membasahi tiap tiap lembaran mengikuti gerakan netraku. Lembar  lembar tulisan miring ramping khas dirinya  yang terdiri dari 30 halaman penuh dimulai dari tengah buku itu berisi ungkapan hatinya selama sebulan yang juga menjadi hari hari  jelang pernikahanku yang tak sempat diakadkan itu. Yang tak pernah kutahu bahwa selama sebulan, lelaki itu pulang kerumah orangtuanya hanya untuk meminta restu. Restu untuk bersamaku, menjalin hubungan lebih dari sekedar interaksi barista dan pelanggan setianya. Mati matian pada lembar lembar pertama  untuk  tetap menjaga hubungannya dengan diriku selama ini sebagai teman yang berbagi segala, namun memang hatinya yang jujur itu tidak pernah bisa mengelak.
Lembar lembar akhir berisi pertengkaran dengan kedua orangtuanya terutama Ayahnya yang tidak pernah setuju anaknya berjodoh dengan yang beda imannya. Aku membaca lembar lembar terakhir dengan keperihan yang meradang dihatiku, karena aku mengerti bagaimana tabiat restu itu. Gemuruh sedih dan perasaan bersalah makin menghantu karena teringat bahwa sekalipun aku tidak pernah peduli hubungan dengan Orangtuanya sesudah aku.
Air bening itu tidak bisa kutahan lagi ketika aku sampai pada hari ketiga puluh , hari itu, malam naas. Â
"Pada hari ke tiga puluh ini aku tidak sanggup mengelak lagi, aku benar benar menyayangimu, setulus kalbu" tulis tinta itu.