Mohon tunggu...
Almira Tatyana
Almira Tatyana Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya Mahasiswa

Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran maupun tindakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Suatu Pagi di Kediaman Kayu

6 Juni 2018   16:04 Diperbarui: 6 Juni 2018   16:17 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena rinduku padamu makin menggebu gebu maka kuputuskan tuk singgahi Kayu yang sedang santai menyambut senja (Padahal masih pagi!). Selain Kayu, hal yang paling kusukai didunia ini adalah dirimu, ujarku langsung. Tidak tidak bukan dirimu saja tapi SEMUA tentangmu.

Kulihat poci teh yang mengepul ngepul belum tersentuh sama sekali menandakan Kayu sedang punya masalah. Sekoyong koyong  Kayu bercerita padaku tentang Akar. Kayu mengeluh! (Padahal ia materi paling tabah yang pernah aku temui!).

Dia mempertanyakan keputusan Sang Penerbit Senja mengapa Dia letakkan akar dibawah dan harus menopang berat kakek (Kakek kayu dahulu adalah kayu pada pohon yang sangat besar) Kayu merasa iba "Padahal Akar adalah ibu leluhur! Kita semua!" ujarnya.  Menurutnya lagi sudah sepantasnya Sang Penerbit Senja menerbitkan Akar sewajar Ia terbitkan senja tiap masa yang sama.

Kayu sudah berupaya bicarakan ini pada Sang Penerbit Senja namun belum mendapatkan jawaban apa apa, kayu memintaku untuk bicara pula. Meskipun aku agak iba, tapi kubilang ini sudah diluar kuasaku, tetapi aku akan menemui Akar untuk meminta pendapatnya. Kayu bilang Akar biasanya sangat sibuk, tapi sekarang lagi tidak sibuk karena tanah sedang kering keringnya. Aku berpamit diri pada Kayu dan segera menuju kediaman Akar.

(Aku jarang main ke Akar karena sebagai Ibu dia super sibuk!). Aku masuk ke kediamannya yang temaram namun menyejukkan dan membuat jiwaku perlahan mabuk dalam kedamaian. Kulihat anak anaknya makin bercabang saja, mereka menyambutku dengan ceria dan aku sapa juga dengan seceria mungkin-ceriaku agaknya berkebalikan dengan suasana tenteram disana- Akar kelihatan lebih tua dari Tanah disekitarnya.

Dia menawarkanku teh dan kudapan tapi aku menolak sesopan sopannya karena aku sudah minum teh buatan Kayu (Teh buatan Kayu terenak sebumi!). Aku langsung menyampaikan keluh kesah Kayu pada Akar. Akar menyimak, pandangannya sungguh syahdu! Aku bahkan takut omonganku mengacaukan kesyahduan netranya itu, pantaslah ia menjadi Ibu bagi kita semua!.

Akar bilang dia sudah lama resapi keresahan kayu dan berusaha sampaikan melalui berkas berkas kehidupan yang dibawa oleh si kembar Xylem dan Floem. Tetapi kayu terlalu sibuk menghalau serbuan luar, dan terlalu sibuk menjulang tinggi sebagai garda terdepan sehingga sampai mengabaikan pesan khusus ini. Kubilang Kayu memang agak kurang perhatian dalam hal hal detail.

Lalu kata Akar-dia menawariku teh dan kudapan lagi- bahwa bukannya Sang Penerbit Senja tidak mendengar ujarnya namun memang sudah ada sesuatu yang termaktub dan diluar kuasa mereka berdua. Aku mengangguk angguk dan agak terkesima dengan kebijaksanaan akar lalu minta diri untuk pulang karena aku harus singgah terlebih dahulu ke tempat itu-setelah akar menawariku Teh dan Kudapan untuk ketiga kalinya-. 

Dalam jejakku menuju pulang kurasa dirimu masih hidup pada rinduku meskipun tidak lagi menggebu gebu. Mungkin "mengalir" bisa menjadi referensi kata baru.

Kupikir lain waktu aku harus sering sering mengunjungi akar (Mungkin mengajak kayu juga (?))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun