Mohon tunggu...
Taty
Taty Mohon Tunggu... Sekretaris - tukang tulis

saya senang nonton korea

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Teori Hukum Progesif dalam Putusan Hakim

4 November 2024   17:00 Diperbarui: 4 November 2024   17:02 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori hukum (bahasa Inggris: legal theory) atau yurisprudensi (bahasa Inggris: jurisprudence) adalah pendalaman secara metodologis pada dasar dan latar belakang dalam mempelajari hukum secara luas. Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ahli mengenai teori hukum, tetapi secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa teori hukum berbicara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konsepsi-konsepsi hukum, prinsip-prinsip hukum, aliran-aliran atau pemikiran-pemikiran dalam hukum. Teori hukum, memiliki pengaruh terhadap konstruksi hukum tentang bagaimana penggambaran hukum yang ideal (das sollen), dan bagaimana keterkaitannya dengan hukum di dunia nyata atau berdasarkan penerapannya (das sein).

Teori hukum tidaklah sama dengan ilmu hukum, maka untuk memahami apa itu teori hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian ilmu hukum. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ilmu hukum yang semula dikenal dengan ajaran hukum (rechtsleer), sering disebut juga dengan dogmatik hukum, mempelajari hukum positif (ius constitutum). Hukum positif disini adalah hukum yang berlaku di suatu tempat, dimana hukum positif ini mengatur manusia sebagai makhluk sosial (tertulis, tidak tertulis, dan yurisprudensi).

Teori Hukum Progresif, tidak lepas dari gagasan Profesor Satjipto Rahardjo yang galau dengan penyelengaraan hukum di Indonesia. Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut transisi pasca orde baru. Yang lebih memprihatinkan, hukum tidak saja sebagai rutinitas belaka (business as usual), tetapi juga dipermainkan sebagai ‘barang dagangan’ (business-like). Akibatnya, hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Dari sinilah Profesor Satjipto menyuarakan perlunya hukum progresif.

Menurut Raharjdo, pemikiran hukum perlu kembali pada filisofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ‘ideologi’ : hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideoligi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.

Hakim adalah suatu dimensi yang sangat esensial dalam proses penegakan hukum khususnya dalam penyelesaian perkara-perkara di tingkat peradilan. Hakim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang mengadili perkara di pengadilan atau mahkamah, keputusannya tidak dapat diganggu gugat.

Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No.40 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim oleh karena itu dalam memberikan putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.

Tugas hakim secara konkret dalam memeriksa dan mengadili satu perkara adalah mengkonstantir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir.  Apa yang harus dikonstituirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikualifisir, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya. Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan judge made law atau penemuan hukum (rechtsvinding) konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mana dalam Pasal 10 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.

Putusan yang progresif adalah putusan yang memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:

  • Putusan hakim tersebut tidak hanya semata-mata bersifat legalistic, yakni hanya sekedar corong undang-undang meskipun harusnya hakim selalu legalistic karena putusanputusannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
  • Putusan hakim tersebut tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hokum atau sekedar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi social dalam pergaulan;
  • Putusan hakim harus mempunyai visi pemikiran ke depan (visioner), yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hokum (rule breaking), di mana dalam hal suatu ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem yaitu mengambil keputusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan;
  • Putusan hakim tersebut memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan negaranya keluar dari keterpurukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun