Jum'at, 07 September 2018, perjalanan kami dimulai. Saat menjelang siang yang terik, di jam yang ngaret seperti biasa. Kali ini suku Baduy jadi tujuan perjalanan yang kami sebut sebagai 'Pengabdian Masyarakat'
Tepat setengah sembilan kami memulai perjalanan dari Kampus Borobudur Jakarta Timur ke Baduy, Banten. Tujuan utamanya di desa Gazebo Baduy luar tiga. Kami melewati perjalanan dalam bus dalam suasana semi ramai. Karauke jadi hal yang paling favorit untuk dilakukan dalam bus.
Kurang dari jam tiga sore kami sampai di Terminal Cibolegar, melanjutkan perjalanan ke Baduy luar satu, untuk makan siang dan mendengar kata sambutan dari Kepala Adat Baduy luar dan Baduy dalam. Saat sedang makan, rombongan dari Universitas Surakarta baru datang langsung menyusul untuk makan siang bersama. Setelahnya hujan turun lumayan deras, karena itu saya, mungkin juga yang lainnya kesusahan mendengarkan apa yang disampaikan Kepala Adat sebagai kata sambutan.
Informasi, Suku Baduy luar memiliki kehidupan yang lebih modern dari Baduy dalam, yang paling mencolok perbedaannya, kamu bisa membedakannya dari pakaian yang mereka pakai.Â
Jika Baduy luar lebih menggunakan baju berwarna hitam dengan sarung atau celana atau rok motif serupa batik berwarna biru tua dengan kombinasi hitam, untuk laki-laki Baduy luar mereka melengkapinya dengan slayer kepala dengan motif serupa Biru tua kombinasi hitam bercorak batik.Â
Sedang untuk Baduy dalam, mereka menggunakan pakaian putih, celana hitam atau putih dengan ikat kepala putih. Baduy dalam tidak menggunakan alas kaki ketika mereka melakukan perjalanan sejauh apapun itu.
Orang-orang Baduy menganut agama yang mereka sebut sebagai 'Sunda Wiwitan' Â agama yang mempercayai kekuatan Animisme dan Dinamisme, atau bisa diartikan kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur.Â
Ini pertama kalinya saya mendengar agama ini dan pertama kali saya merasa kesusahan dalam menjalankan ibadah dalam agama yang saya anut. Setelah sambutan itu, entah tepatnya pukul berapa, kami melanjutkan perjalanan menuju desa gazebo Baduy (Baduy luar 3) dengan track yang lumayan untuk orang yang jarang olahraga seperti saya. Heuheu :-D
Warga suku Baduy terlihat tidak ramah ketika menyambut kedatangan kami. Saat kami menyapa, mereka hanya diam. Saat kami melempar senyum, mereka membuang muka. Saya rasa di sini saya belajar, bahwa apa yang saya dapat sedari kecil tentang tata krama, adat kesopanan, tidaklah selalu benar menurut suku yang mendiami wilayah lain.Â
Sebelum langit semakin gelap, kami berbondong-bondong menuju sungai untuk mandi atau sekedar mencuci muka. Perlu digarisbawahi jika orang-orang Baduy melakukan segala aktifitas seperti; mandi, cuci piring, baju, buang air dan yang lainnya, mereka lakukan di sungai. Ini pertama kalinya saya mandi di sungai sejak bertahun-tahun tinggal di Jakarta.Â
Rasanya menyegarkan, tentu tidak akan terlupakan mandi di sungai dalam keadaan gelap. Di kampung Gazebo ini, tidak ada penerangan lain selain senter, tidak ada listrik, tidak ada sinyal. Seperti kembali hidup di jaman dulu, meski serasa sunyi tapi memberi ketenangan yang tak ternilai harganya.
Segala jadwal harus dilakukan bersamaan, seperti ketika waktunya makan, semua harus makan tanpa terkecuali. Saya dan enam teman serumah makan bersama tuan rumah. Wanita dan lelaki paruh baya serta anak bungsunya yang seumuran dengan saya. Kami memanggil mereka; Ummik, Abi dan akang.Â
Di antara ketiganya kami hanya bisa mengobrol lancar dengan si Akang, karena dia bisa berbicara bahasa indonesia, sedang Ummi dan Abi berbicara menggunakan bahasa sunda, yang tidak terlalu kami pahami, sebab kebetulan kami bertujuh tidak ada satupun yang lahir dan asli keturunan sunda. Dan ketika malam semakin menikam, kamipun jatuh terlelap. Tidur berjajar beralaskan tikar.
Pagi harinya setelah mandi dan sarapan, kami berkeliling sebentar, melihat sekeliling. Anak-anak Baduy tidak ada yang bersekolah. Bahkan untuk Baduy dalam, perempuan dilarang keluar desa. Keseharian mereka menenun. Perempuan Baduy memiliki kecantikan alami.Â
Sepanjang yang saya lihat, mereka begitu cantik dan langsing. Saya tidak mendapati orang Baduy yang gemuk atau terlalu kurus. Saya rasa perempuannya pandai berdandan. Mereka rata-rata memakai make up tipis dan kalung emas, tentu saja dengan baju hitam dan bawahan biru tua. Ada banyak anak laki-laki Baduy dalam, berlalu lalang, banyak dari kami meminta berfoto dengan mereka. Ada yang memberi uang setelah berfoto ada juga yang sekedar memberi ucapan terimaksih.
Sepenjang jalan turun saya melihat-lihat alam yang asri, mendengar gemercik air sungai, menghirup udara nan menyegarkan dan tersenyum ketika mendapati gadis-gadis cantik anak baduy sedang asik menenun.Â
Saat melihat mereka, mendapati anak baduy dalam juga menawarkan jasa charter tas kami, melihat mereka berkumpul disuatu warung makan di desa modern, mendengar tawa mereka yang malu-malu, entah dengan bagaimana, saya merasa ingin mengalahkan dunia untuk hari esok mereka.
      - Jakarta, 09 September 2018 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H