"Bu, mulai hari Senin, Hadi belajar di rumah," lapor remaja kelas 1 SMP itu begitu sang ibu memasuki rumahnya.
"Iya, tadi ibu juga dengar obrolan orang-orang di pasar akan diberlakukan lockdown. Padahal ibu udah belanja buat jualan hari Senin," sahut ibu sedih.
Ratih adalah seorang single parent dengan tiga orang anak. Anak sulungnya, Hadi, berusia 13 tahun. Dina anak keduanya berusia 11 tahun, kelas 5 SD. Sedangkan si bungsu, Fatih, kelas 1 SD. Suami Ratih, Fery, wafat dua tahun lalu karena sakit hepatitis C yang dideritanya.
Sebagai jurnalis, jam kerja Fery sering tidak menentu. Tentu saja hal ini memengaruhi jam tidur dan istirahat hingga berdampak pada kesehatannya. Terlebih ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk berolahraga sehingga ketahanan tubuhnya pun tidak terlalu kuat. Di usia yang belum genap 40 tahun, Allah memanggil Fery keharibaan-Nya.
Tiga bulan pertama, Ratih dan anak-anaknya bertahan dengan tabungan yang ada. Ibu muda yang penyabar ini mulai berpikir, tidak mungkin selamanya ia mengandalkan tabungan.Â
Ia tidak memiliki pengalaman bekerja sehingga harus mencari sumber penghasilan dengan cara lain. Ratih gemar memasak dan membuat makanan selingan untuk anak-anaknya. Dengan kegemarannya itu, Ratih memutuskan untuk membuka kantin di sebuah sekolah swasta.
Tabungan yang tersisa, ia jadikan modal untuk memulai usahanya. Seiring berjalannya waktu, kantin Ratih mulai dikenal siswa-siswi di sekolah tersebut. Makanan yang enak dan kebersihan yang terjaga, membuat guru-guru pun ikut berbelanja ke kantinnya. Penghasilan yang diperoleh bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah putra-putrinya.
Namun, pandemi menghampiri negeri ini, menyebabkan semua aktifitas dipaksa berhenti, sebagian malah mati suri. Banyak orang yang merasakan langsung akibat pandemi. Usaha dan lembaga yang berhubungan langsung dengan orang lain dan mengumpulkan orang banyak, tidak beroperasi. Bahkan, beberapa usaha secara perlahan tapi pasti mengalami kemunduran. Pengurangan karyawan terjadi di beberapa lembaga dan perusahaan.
Ratih merasakan langsung akibat serangan mahluk kecil bernama coronavirus diseases. Sekolah daring membuatnya kehilangan sumber mata pencaharian, padahal sewa kantin baru saja diperpanjang.Â
Ia terpaksa harus menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ratih mencoba bangkit. Ia mencoba menawarkan makanan buatannya secara pribadi kepada para pelanggannya.Â
Namun, menurunnya daya beli, membuat usahanya  tidak berjalan mulus. Ada saja memang pelanggan yang membeli, tapi itu hanya karena rasa kasihan dan tidak membeli setiap hari. Wajar sih, mereka pun pasti lebih memilih  memenuhi kebutuhan yang prioritas.