Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Hadi

12 Desember 2021   03:50 Diperbarui: 12 Desember 2021   06:15 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Metromonitor

"Alhamdulillah... Allahu Akbar!"

Ucapan hamdalah dan takbir bergema di aula masjid Al Ihsan berukuran 14 x 8 meter. Keharuan meliputi Hadi, Allah sudah memberinya kesempatan kedua. Tampak jelas netranya memancarkan kebahagiaan. Hadi yang kini sudah bisa berdiri lebih lama dengan kruknya, menitikkan air mata keharuan. Janjinya pada sang ayah, Ihsan, tunai sudah.

***

Dua tahun lalu...

"Hadi, batalkan perjanjian dengan investor itu!" perintah ayah, pelan tapi tegas.

Hadi menatap ayah tak percaya.

"Tidak akan pernah, Ayah. Ini kesempatan besar untuk kemajuan usaha Hadi. Teman-teman Hadi bahkan untuk mendapatkan akses dengan mereka saja sulit. Sedangkan Hadi sudah menggenggam mereka dan sangat dimudahkan dalam proses pengembaliannya." terang Hadi.

Selama empat tahun, setelah lulus kuliah, Hadi menekuni usaha garmen. Meski berat mengawali usaha dari nol, tapi perlahan usaha Hadi menunjukkan peningkatan yang signifikan. Produk garmen yang Hadi kelola sudah mulai dikenal di beberapa kota besar di Indonesia. Tidak mudah membesarkan usaha dengan dana terbatas. Dan kini, kesempatan itu menghampiri dengan adanya investor yang menanamkan modal di usaha garmennya.

"Hadi, transaksi yang kamu lakukan dengan investor tersebut adalah transaksi ribawi. Allah memberi peringatan keras kepada pelaku riba. Sesukses apapun bisnis yang dijalani, tidak akan memberi kebahagiaan dan keberkahan." Ayah kembali mengingatkan.

"Tapi, Ayah, Hadi tidak pernah lupa membayarkan zakatnya dan mengeluarkan sedekah bagi yang membutuhkan. Bukankah sedekah bisa menghapus dosa?" tampik Hadi.

"Ya, sedekah bisa menghapus dosa dan menjadi perisai dari api neraka. Tapi, tidak dengan harta yang diperoleh dengan cara haram. Itu sama saja seperti membersihkan kotoran dengan air kencing. Bukannya menjadi bersih, justru semakin kotor dan mengeluarkan aroma yang tidak sedap."

"Hadi tidak merampok, Ayah. Hadi melakukan kesepakatan dengan investor dengan sistem kerjasama yang bersifat suka rela dan saling menguntungkan. Tidak ada pihak yang dirugikan di sini."

"Hadi, memutuskan suatu perkara jangan hanya berdasarkan logika. Jika jelas ketetapan itu dalam Al-Qur'an, kita hanya diminta sami'na wa atho'na. Dengar, kemudian taat." suara ayah memelan, seakan pasrah melihat sikap Hadi yang keras.

"Ayah tahu, kan, bagaimana susahnya membangun bisnis? Salah satu faktor pendukung berkembangnya bisnis, karena adanya dana. Mana ada orang yang dengan suka rela meminjamkan hartanya? Hadi berdalih.

"Bukankah kamu berjanji akan membangunkan musola kecil di sebidang tanah yang ayah miliki di Bogor? Jika kamu membangunnya dari harta yang diperoleh dengan cara haram, maka hartamulah yang akan mengantarkanmu ke dalam neraka." kembali ayahnya mengingatkan.

"Kenapa sih, Ayah selalu menakut-nakuti Hadi dengan ancaman neraka?"

Dengan raut kesal, Hadi bangkit dari duduknya. Diraihnya kunci motor, dan dengan tergesa meninggalkan ayahnya yang masih duduk di teras rumahnya yang asri.

"Hadi, mau kemana?" tegur ayah. "Jika kamu tidak mematuhi perintah ayah, maka orang lain atau peristiwa menyakitkan yang akan mengingatkanmu!" setengah berteriak ayah mengingatkan putra sulungnya.

Hadi mengabaikan perkataan ayahnya. Dia segera melaju meninggalkan rumah yang telah menaunginya dalam didikan penuh kasih ayah dan ibunya.

Hadi merasa heran, mengapa kali ini ayahnya sangat menentang keputusannya? Bukankah yang Hadi lakukan selama ini untuk memenuhi harapan sang ayah?

Dipacu motor besarnya dengan kecepatan tinggi, berharap rasa kesalnya terlampiaskan. Benaknya tidak lepas memikirkan keputusan ayahnya yang dianggap tidak menguntungkannya. Dia terlambat menyadari ketika sebuah mobil dari arah berlawanan menyalip kendaraan di.depannya dengan kecepatan tinggi, kemudian oleng.

Brakkk!

Tubuh Hadi terlempar dan sesaat kemudian terjatuh menyentuh aspal dengan keras. Hadi merasa sesuatu yang hangat mengaliri pelipisnya, seketika pandangannya menggelap.

***

Di sebuah kamar perawatan di sebuah rumah sakit, seorang wanita berusia 50 tahun, duduk di samping ranjang pasien lelaki berusia 27 tahun. Pasien itu adalah Hadi. Sudah tiga pekan pasca kecelakaan, Hadi terbaring koma. Selama tiga pekan pula ibu dan adik semata wayangnya bergantian menemaninya. 

Dari pemeriksaan MRI dan CT scan, diketahui penyebab koma Hadi karena benturan keras di kepalanya akibat kecelakaan. Dokter telah melakukan tindakan operasi untuk meminimalisir resiko pasca kecelakaan. Sejauh ini, pasien menunjukkan tanda-tanda kemajuan, memberi harapan pada ibu dan adiknya.

Tiba-tiba Ratna, sang ibu, yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, mendengar Hadi berkata lirih.

"A-yah ... Ayah ...." panggil Hadi lemah.

Ibu dengan tergesa mendekatkan wajahnya ke kepala Hadi. Dielusnya dengan lembut rambut putra tercintanya. Mendapati putranya sadar, seketika airmata bahagia membanjiri wajah lelahnya.

"Hadi ... Ini Ibu, Nak," panggil Ratna pelan.

Mata Hadi terbuka secara perlahan. Netranya menyesuaikan cahaya yang menerpanya.

Tergesa, dengan wajah diliputi kebahagiaan, Ratna memencet bel untuk memanggil petugas medis.

***

Enam bulan pasca kecelakaan, Hadi dirawat oleh ibunya dengan penuh kasih. Ia semakin menyadari besarnya kasih sayang seorang ibu yang merawat tanpa keluh dan pamrih.

Ayah Hadi, Ihsan, wafat di hari kedua kecelakaan Hadi. Jantung ayah yang lemah dan rasa bersalah karena merasa kecelakaan Hadi akibat dari ucapannya, menyebabkan ayah tidak sadarkan diri dan mengantarkannya kembali pada Rabb-Nya.

Di sisi lain, Hadi pun merasa bersalah. Selama ayahnya hidup, Hadi merasa belum menjadi anak yang berbakti. Dan di hari terjadinya kecelakaan, dia telah menjadi anak durhaka karena tidak mengindahkan peringatan ayahnya.

Tiga bulan Hadi hanya tergolek di tempat tidurnya. Hadi yang energik kehilangan semangat karena mengalami kelumpuhan. Ia kini hanya seonggok daging yang tidak berguna. Kondisi ini membuatnya marah dan lepas kontrol. Barang-barang yang ada di dekatnya sering menjadi sasaran amukannya. Terlebih Vania, sang pujaan hati yang hendak dipersunting enam bulan ke depan, menghilang tanpa kabar.

Tidak hanya itu, teman-teman dekat rekan bisnisnya, satu per satu meninggalkan Hadi. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kelangsungan bisnisnya. Omzet perusahan garmen miliknya mengalami penurunan dari bulan ke bulan. Kini Hadi mengandalkan uang tabungan untuk pengobatannya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan pemasukan dari warung sembako milik ibunya.

Ujian bertubi-tubi yang menimpa Hadi, sempat membuat dirinya terpuruk. Ia harus melakukan fisoterapi, psikoterapi dan terapi okupasi untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya. Wafatnya sang ayah dan janji yang belum sempat ditunaikan, memperkuat kemauan Hadi untuk sembuh.

Hadi mulai bangkit, kelumpuhan tidak menghalangi langkahnya untuk meraih kesempatan kedua. Ia bertekad mempersalih dirinya, karena doa anak yang salih tidak akan terputus. Dua tahun setelah wafatnya sang ayah, Hadi bisa memenuhi janji terhadap ayahnya. Bukan hanya musola, Hadi bahkan membangun masjid dan pesantren tahfidz khusus untuk anak yatim dan dhu'afa.

Dan janji Allah pasti benar, seperti firman Allah di Qur'an Surat Al-Isra : 7:

"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri pahalanya". 

Ia rutin mengikuti pengajian di pesantren Al Istiqomah yang terletak tidak jauh dari rumahnya. 

Pesantren Al Istiqomah asuhan Ustadz Ahmad, selain mengajarkan tauhid juga mengajarkan teknologi informasi dan pelatihan kewirausahaan. Dari sinilah Hadi terinspirasi untuk memulai bisnis aneka makanan olahan dari singkong. 

Semangat dan keuletan Hadi menekuni bisnis barunya menampakkan hasil. Usaha kulinernya makin dikenal dan tersebar di berbagai daerah. Olahan singkong yang dikukus seperti brownies singkong aneka rasa, keripik singkong, olahan tradisonal seperti combro, misro dan getuk, juga nugget singkong. Masing-masing memiliki penggemar fanatik.

Hadi kini menjadi manusia baru, dengan kesalihan dan bisnisnya yang dia mulai dari biaya tanpa riba.

Suatu ketika, di sebuah taman di pesantren Al Istiqomah, Ustadz Ahmad menanyakan suatu hal pada Hadi yang membuatnya terpana.

"Hadi, saya lihat kamu sudah matang dan pantas untuk menggenapkan separuh agamamu. Maukah engkau kunikahkan dengan adikku, Shofa?"

Siapa tidak kenal Shofa? Gadis manis salihah dengan lesung pipi dan terkenal cerdas. Beberapa kali Hadi mendengar pemuda membicarakannya dan mengutarakan keinginan untuk mempersuntingnya.

Lalu mengapa Ustadz Ahmad justru meminta dirinya? 

Memang Hadi cerdas dan memiliki wajah rupawan. Dulu, alis tebal, hidung mancung dan bibir tipisnya menjadi daya tarik tersendiri bagi teman-teman gadisnya. Kini apa yang diharapkan dari dirinya? Dia hanya seorang pemuda lumpuh yang banyak bergantung pada orang lain.

"Hadi, cukup sabda Rasulullah menjadi panduan. Jika seseorang memiliki keimanan, cukuplah itu menjadi bekal."

Dengan izin Allah, pernikahan keduanya pun terlaksana secara sederhana namun khidmat. Airmata haru dan bahagia, membasahi pipi kedua mempelai, begitu juga dengan Ratna, ibunda Hadi.

***

Semakin hari, kesehatan Hadi semakin membaik. Kakinya mulai mampu dilangkahkan meski dengan bantuan kruk.

Enam bulan pasca pernikahannya dengan Shofa, Hadi mendapat berita gembira, dirinya akan menjadi seorang ayah. 

Dan yang paling membahagiakan, ia bisa memenuhi janjinya pada sang ayah. Hadi mewakafkan sebidang tanah, kemudian membangun masjid dan pesantren tahfidzul Qur'an atas nama ayah tercinta.

~ Selesai ~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun