Kota Cibadak sejak dulu terkenal dengan julukan "Kota Nayor". Nayor adalah kendaraan tradisonal yang ditarik oleh kuda yang hanya ada di kota Cibadak.
Nama nayor konon berasal dari kata "ngagayor", yang artinya berat ke belakang atau menjuntai ke belakang. Akan terlihat saat penumpang naik ke nayor tersebut.
Bentuk nayor berbeda dengan delman, memiliki ciri khas yaitu bentuk keretanya tertutup yang dilengkapi dengan jendela dan pintu belakang serta mempunyai lingkar roda yang lebih kecil.
Nayor ini merupakan ikon kota Cibadak, dan patung nayor bisa ditemukan di depan kantor Kelurahan Cibadak.
Menurut sejarahnya, keberadaan nayor di Cibadak sudah ada sejak tahun 1941. Saat itu nayor digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, hasil kebun, dan kapur.
Karena di wilayah tempat saya tinggal, dulunya banyak perusahaan pertambangan batu kapur. Barulah pada tahun 1960-an nayor digunakan sebagai angkutan umum
Keberadaan Nayor Sebelum Tahun 2000
Dulu jumlah kendaraan umum di kota Cibadak belum sebanyak dan seramai saat ini, sehingga nayor menjadi andalan bagi warga sekitarnya yang akan belanja ke pasar atau bepergian di sekitar wilayah Cibadak.
Saya sebagai penduduk asli kota Cibadak sudah akrab dengan kendaraan ini sejak masih kecil.Â
Pada saat saya naik ke kelas 5 SD dan adik kelas 3, kami pindah sekolah yang lokasinya jauh dari rumah. Selama 3 bulan, kami setiap pagi pergi ke sekolah dengan naik nayor dan pulangnya dijemput kembali oleh kusir yang sama.
Istilahnya abodemen, membayarnya sebulan sekali dengan jumlah uang yang sudah disepakati. Penumpangnya bukan hanya berdua, tetapi ada anak-anak lain sehingga nayor itu penuh.
Nayor yang saya tumpangi saat itu milik Mang Nanta, yang sekaligus merangkap sebagai kusirnya. Saat jadwal pulang sekolah, tukang nayor sudah menunggu di dekat gerbang sekolah.
Sampai awal tahun 2000-an, nayor masih menjadi langganan anak-anak SD. Sehingga setiap pagi sekitar pukul 06.30 nayor sudah terlihat di jalan untuk mengantar anak-anak ke sekolah.Â
Tetapi untuk saat ini, tidak ada yang abodemen nayor lagi. Karena banyak orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah menggunakan sepeda motor.
Nayor dan Pawai Drum Band Kenaikan Kelas
Sebelum Pandemi Covid-19 yaitu diakhir tahun pelajaran, nayor sering disewa untuk kegiatan pawai drum band dalam rangka kenaikan kelas atau acara samenan sekolah.
Sekolah di Kecamatan Cibadak yang menyelenggarakan pawai drum band ke jalan jalan raya, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Diniyah (MD) yang ada di bawah naungan Kemenag.
Pawai drum band sudah menjadi tradisi turun temurun sekolah MI ataupun MD sejak dulu dan sangat ditunggu oleh masyarakat sekitarnya.
Bila ikut pawai, biasanya nayor akan diberi hiasan sehingga lebih menarik. Nayor ini ditempatkan dibarisan paling belakang dan dikhususkan untuk anak-anak kelas bawah terutama kelas 1 karena belum kuat jalan jauh.Â
Bila ingin naik nayor ini maka orang tua dikenakan biaya lagi. Saya juga pernah ikut pawai drum band selama tiga tahun berturut-turut saat ananda balita. Itupun karena sekolahnya dekat dengan rumah, kebetulan keponakan bersekolah di sini.
Kegiatan pawai drum band sempat terhenti beberapa tahun saat pandemi. Tahun kemarin sudah mulai ada pawai lagi, tetapi karena sering menimbulkan kemacetan di jalan raya sehingga pawainya di alihkan ke jalan alternatif.
Untuk nayor tahun kemarin belum diikutsertakan kembali dalam pawai samenan ini, padahal bagi mereka dengan disewa untuk kegiatan ini akan mendapatkan tambahan penghasilan.
Keberadaan Nayor yang Semakin Terpinggirkan
Dulu nayor biasa mangkal di beberapa tempat, antara lain di depan pasar dan di depan pertokoan Labora. Tetapi sejak pasar Cibadak direnovasi, nayor ini hanya bisa ditemukan di depan pertokoan Labora saja. Mereka biasa mangkal mulai pukul 09.00 sampai pukul 12.00, jumlahnya juga antara 3 sampai 5 nayor saja.
Pada hari Minggu yang lalu saya belanja di sebuah mini market yang ada di pertokoan Labora. Di depan toko ada 3 nayor yang sedang menunggu penumpang.
Saya sudah lama tidak naik nayor ini. Saat ananda masih balita, hampir tiap Minggu kami naik nayor dari rumah sampai Pasar Cibadak sekedar untuk menyenangkan anak saja.
Saya mendekat ke nayor yang paling belakang, menanyakan kepada kusirnya berapa ongkos yang harus dibayar sampai gang dekat rumah. Besarnya ongkos tergantung jarak, biasanya sampai ke tempat saya ongkosnya sebesar Rp 20.000,00.
Setelah sepakat, beberapa dus belanjaan dinaikan ke nayor tersebut oleh suami. Selama perjalanan saya ngobrol dengan kusirnya, kebetulan orangnya senang mengobrol.
Kata kusirnya. saya penumpang pertamanya untuk hari ini dan terkadang dalam satu hari tidak mendapat penumpang sama sekali.
Dia mengeluh dengan pendapatannya saat ini yang sering sepi dengan penumpang. Sementara anaknya yang masih kecil ketika pulang ke rumah selalu meminta jajan, karena tidak mengerti dengan kondisi keuangan orang tuanya.
Dulu katanya dia pernah memiliki seekor kuda tetapi saat ini sudah dijual. Kudanya dibeli seharga Rp 15 juta tetapi dijual kembali dengan harga Rp 10 juta karena ada kebutuhan yang mendesak.
Jadi sekarang dia menyewa nayor dan kudanya dari Ibu Erah yang beralamat di Kampung Bantar Muncang. Setiap hari dia harus setor sebesar Rp 15.000,00, dari pukul 09.00 sampai pukul 12.00.
Untuk makan kuda menjadi tanggung jawab kusirnya, dalam satu hari kuda diberikan makanan berupa dedak 2 sampai 3 kali. Dedaknya dibeli dengan harga Rp 5.000,00 sampai Rp 6.000,00 per kilogramnya.
Bila mengandalkan pendapatan dengan narik nayor saja sekarang ini tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga mereka biasanya memiliki usaha sampingan lainnya.
Seingat saya dulu ada beberapa pemilik nayor, selain di Bantarmuncang ada juga yang di Cibatuhilir. Tetapi yang masih bertahan sampai sekarang hanya Ibu Erah saja.
Saya menanyakan kabar tentang Mang Nanta, pemilik nayor langganan saya dulu waktu SD. Katanya Mang Nanta sudah menjual nayor beserta kudanya yang berjumlah 2 ekor.
Jumlah nayor yang sekarang masih jalan ada sekitar 10 buah, di hari Minggu ada beberapa nayor yang narik penumpang di perumahan. Penumpangnya biasanya anak-anak, mereka diajak keliling komplek perumahan.
Tak terasa saya sudah sampai di gang dekat rumah, nayor pun berhenti dan dus belanjaan segera diturunkan. Saya memberi ongkos lebih dari yang disepakati tadi, kusirnya sangat senang dan mengucapkan terima kasih.
Waktu masih menunjukkan pukul 11.00, nayornya kembali lagi ke arah Cibadak untuk mencari penumpang kembali.
Wasana Kata
Jumlah nayor di Cibadak saat ini sudah semakin sedikit, dan semakin terpinggirkan karena banyaknya angkot dan ojol yang semakin merebak serta orang tua yang mengantarkan anaknya menggunakan sepeda motor.
Penumpangnya sudah sangat jarang, dan yang lebih sering naik nayor adalah ibu-ibu yang memiliki anak kecil sebagai hiburan buat anaknya.
Sudah saatnya pemerintah daerah memberikan perhatian terhadap nasib nayor saat ini, supaya tetap lestari sehingga julukan "Kota Nayor" bagi Cibadak masih tepat.
Terima kasih telah membaca tulisan ini, salam hangat dan bahagia selalu
#Tulisan ke-12 di tahun 2024
Cibadak, 9 Februari 2024
Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI