Di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang ada di Kabupaten Sukabumi terdapat beberapa objek wisata alam yang bisa dikunjungi. Salah satunya adalah Pusat Konservasi Elang Jawa yang ada di Desa Cimungkad Kecamatan Kadudampit.
Saya dan suami mengunjungi tempat ini pada hari Minggu, tanggal 25 Juni 2023 yang lalu menggunakan sepeda motor. Itu pun tanpa rencana, kami sedang berkunjung ke daerah Cibaraja Cisaat dan pada saat kami melintas melihat petunjuk arah ke kawasan ini.
Akhirnya kami belok ke kiri sesuai arah petunjuk jalan, dengan bantuan google map jarak yang harus ditempuh dari pertigaan tersebut masih sekitar 5 km.
Jalan yang dilewati naik terus, melewati perumahan dan juga kebun-kebun sayuran milik penduduk. Sepanjang jalan udaranya terasa sejuk, dan di sebelah kanan terlihat bukit dengan banyak sengkedan sehingga dari kejauhan terlihat sangat indah
Semula jalan yang dilewati sangat bagus, menjelang 800 meter jalan semakin menyempit dan berupa jalan batu. Kalaupun dilewati oleh kendaraan roda empat, hanya bisa satu arah. Memasuki gerbang, jalan kembali lebar berupa jalan aspal.
Dengan membayar tiket sebesar Rp 6.000,00 per orang, pengunjung bisa masuk dan menikmati kesejukan kawasan Pusat Konservasi Elang Jawa ini.
Setelah istirahat di warung sejenak, kami menuju ke atas dengan melewati tangga yang tersedia. Kami berfoto dulu di depan patung elang dan melanjutkan perjalanan.
Di kanan dan kiri terdapat papan informasi tentang elang Jawa yang bisa dibaca oleh pengunjung, yaitu tentang ciri-cirinya, sarang tempat tinggalnya, jenis makanannya dan di mana lokasi bisa ditemukan burung Elang Jawa ini.
Restorasi Ekosistem Menggunakan Metode Miyaki dan Adopsi Pohon
Tanaman yang ada di kawasan ini sebagian besar adalah pohon damar, dengan batangnya yang menjulang tinggi.
Saya menemukan plang-plang yang berisikan informasi tentang hutan ini, yang merupakan lokasi percontohan restorasi ekosistem hutan dengan menggunakan adopsi pohon dan metode Miyaki. Â
Program adopsi pohon ini dilakukan oleh pihak TNGGP sejak tahun 2011 yang bekerja sama dengan pihak OISCA dan mendapatkan dukungan dana dari Mitsubishi Corporation.
Kerja sama yang dilakukan memiliki tujuan antara lain untuk memperbaiki ekosistem kawasan TNGGP yang telah terdegradasi, mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat sekitar terhadap kawasan TNGGP dengan memberikan alternatif mata pencaharian lain di luar kawasan serta untuk meningkatkan wawasan dan peran aktif masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Ada 18 hektar yang dijadikan sebagai kawasan restorasi dengan rincian 17 hektar berada di zona rehabilitasi menggunakan program Adopsi Pohon dan 1 hektar berada di zona pemanfaatan menggunakan program Miyaki.
Metode Miyawaki merupakan suatu metode penanaman untuk merestorasi areal kritis yang dikembangkan oleh Prof. Miyawaki dari Jepang.
Konsepnya yaitu melakukan penanaman pohon menggunakan jarak tanam rapat dengan jumlah antara 20.000 sampai 30.000 pohon per hektar. Â Tujuannya agar fungsi ekosistem kawasan hutan dan tutupan lahan dapat dipulihkan dalam kurun waktu yang lebih singkat.
Terbukti saat ini kawasan TNGGP yang ada di Cimungkad ini ditumbuhi oleh tanaman yang lebat dan sebagian besar berupa pohon damar, sehingga kawasan ini terasa teduh dan sejuk.
Kami berjalan sampai ke atas melewati tangga hingga sampai di sebuah rumah tua yang beberapa bagiannya telah rusak akibat gempa Cianjur. Rumah tersebut dulunya merupakan tempat tinggal penemu Elang Jawa yaitu Max Edward Gottieb Bartels dan dijadikan sebagai musium.
Setelah rumah tersebut rusak, barang-barang yang ada pada musium tersebut dipindahkan ke bangunan yang ada di bawah yang merupakan tempat informasi.
Rumah tersebut merupakan batas yang bisa dilewati oleh pengunjung, ke sananya jalannya ditutup karena sudah termasuk kawasan konservasi Elang Jawa dan juga ada makam dari Bartels. Â
Suasana di sekitar rumah terasa sepi dan hening, karena pengunjung lain tidak ada yang naik sampai ke sini. Di depan rumah tersebut ada sebuah batu prasasti atau batu nisan yang bertuliskan tanggal lahir dan tanggal kematian dari M.E.G Bartels (24 Januari 1871 -7 April 1936). Â
Setelah melihat-lihat sekeliling, kami pun kembali ke bawah menuju ke bangunan yang dijadikan sebagain ruang informasi. Tetapi belum ada petugas yang berada di sana sehingga kami kembali ke depan. Â
Di dekat tempat loket ada Kang Saepul beserta temannya sedang mengecat tempat sampah yang terbuat dari bambu. Keduanya adalah penduduk sekitar yang diangkat menjadi pegawai honorer di kawasan ini, sedangkan pegawai tetap atau yang PNs ada 3 orang. Setelah selesai, Kang Saepul mengajak kami masuk ke ruang informasi.
Sejarah Singkat Keluarga Bartels
Hutan Cimungkad sejak tahun 1919 sudah ditetapkan sebagai cagar alam dengan memiliki luas 56 hektar.
Max Edward Gottieb Bartels atau M.E.G Bartels adalah seorang berkebangsaan Jerman yang bekerja di perkebunan teh Pangrango yang berada di Pasir Datar, memiliki kegemaran berburu dan mengoleksi seluruh binatang hasil buruannya untuk digunakan sebagai bahan penelitian.
M.E.G Bartels datang ke Indonesia pada tahun 1895 saat usianya 24 tahun untuk menghindari wajib militer di Jerman. Â Beliau menikah dengan Angeline Cardine Henriette Maurenbrecher, yaitu seorang berkebangsaan Belanda yang memiliki hobi melukis.
Dari hasil pernikahannya mereka memiliki 3 orang anak yaitu Dr. Max Bartels Jr (1902-1943), Ernst Bartels (1904-1976), dan Hans Bartels (1906-1997).
M.E.G Bartels lebih fokus meneliti tentang burung (bidang ornitologi) sehingga menjadi seorang ahli burung yang terkenal.
Namanya diabadikan dalam nama 13 jenis satwa yang ditemukannya, salah satunya adalah Elang Jawa atau Javan Hawk Eagle (Spizaetus bartelsi, Stresemann 1924) yang ditemukan di hutan Cimungkad ini.
Awalnya nama Max Bartels digunakan oleh MEG Bartels dalam jurnal-jurnal ornitologinya, tetapi setelah anak pertamanya lahir nama itu diberikan kepada anak tertuanya. Untuk membedakan hasil karya ayah dan anak, beberapa peneliti membedakan mereka sebagai Max Bartels Sr (ayah) dan Max Bartels Jr (anak).
Setelah beliau meninggal, penelitiannya dilanjutkan oleh anak tertuanya yang bernama Dr. Max Bartels yang terlahir di Pasir Datar Sukabumi, yang lebih memfokuskan diri meneliti mammalia terutama rodentia atau binatang pengerat.
Beliau menemukan beberapa jenis rodentia dan memberikan nama spesiesnya, antara lain tikus (Rattus canus sodyi, Bartles 1937), tikus Kadarsanomys sodyi, tupai terbang Bartels atau Bartels's Flying Squirrels (Hylopetes bartelsii, Chasen 1939). Â
Sayangnya hampir seluruh koleksi dari keluarga Bartels saat ini berada NMNH Leiden Belanda. Untuk koleksi telur dikirim saat terjadi saat terjadi Agresi Militer Belanda ke II pada tahun 1946. Secara keseluruhan semua koleksi dikirim pada tahun 1948 dan kemudian di catat secara resmi di NMNH Leiden pada tahun 1954.
Koleksi keluarga Bertels ini tersimpan dalam beberapa ruangan khusus yang berada dalam 5 lantai yang berbeda di gedung NMNH Leiden, termasuk catatan-catatan milik M.E.G Bartels dan buku-buku karya Dr. Max Bartels.
Jadi di pusat konversi Elang Jawa di kawasan ini pengunjung hanya bisa menemukan informasi yang tersisa yaitu tentang Elang Jawa, sejarah penemuan Elang Jawa dan foto-foto keluarga Bartels yang ditempel di dinding ruangan serta ada patung M.E.G Bartels dan anak sulungnya.
Dijadikan sebagai Pusat Pendidikan
Pada tanggal 27 Mei 2022 yang lalu Kementerian Lingkungan Hidup melalui Balai Besar TNGGP telah meresmikan program sosialisasi Pusat Pendidikan Konservasi Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) yang dihadiri oleh para siswa sekolah dasar dan menengah serta perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi.
Diharapkan keberadaan fasilitas pendidikan ini bisa mendukung upaya pelestarian Elang Jawa sebagai satwa endemik kawasan Gunung Gede Pangrango yang kini jumlahnya tinggal sedikit dan terancam punah.
Saat saya dan suami berada di ruang informasi, terlihat sebuah televisi berukuran besar. Kata Kang Saepul biasanya digunakan untuk memutar film dokumenter tentang Elang Jawa. Karena tidak ada petugas yang berwenang, saya dan suami tidak bisa melihat film tersebut.
Kata kang Saepul ada sekolah yang rutin datang berkunjung ke tempat ini setiap tahun yaitu sekolah alam yang berada di Kecamatan Cisaat.
Jadi bila ada sekolah yang akan membawa siswa datang ke sini harus menghubungi petugas terlebih dahulu sebelumnya, supaya bisa masuk ke ruang informasi dan melihat pemutaran film dokumenter tentang Elang Jawa tersebut.
Kami melihat pengunjung lainnya membawa bekal makanan dari rumah, dan di sana tersedia bangunan untuk tempat duduk. Fasilitas WC dan mushola juga tersedia di sini.
Bentuk bangunan yang ada di tempat ini semuanya sama, tiangnya sangat unik dibuat menyerupai kaki burung Elang Jawa.
Pengunjung bisa bisa tiduran di bawah pohon damar, dengan menyewa ayunan seharga Rp 10.000,00.
Wasana Kata
Saya sangat beruntung bisa berkujung ke tempat ini bersama suami. Sehingga bisa mendapatkan informasi tentang sejarah penemuan Elang Jawa untuk pertama kalinya dan hewan-hewan lainnya oleh keluarga Bartels.
Bagi sahabat yang ingin berkunjung ke tempat ini, bisa mengajak keluarga mungpung masih liburan. Selain suasananya sejuk juga bisa mendapatkan banyak informasi tentang Elang Jawa yaitu hewan endemik yang dilindungi.
Terima kasih telah membaca tulisan ini, semoga bermanfaat. Salam hangat dan bahagia selalu.
Cibadak, 1 Juli 2023
Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana
***
Catatan: tulisan ini dibuat berdasarkan informasi dari petugas dan dirangkum dari beberapa sumber.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H