Mohon tunggu...
Tati AjengSaidah
Tati AjengSaidah Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMPN 2 Cibadak Kab. Sukabumi

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Melihat dan Menimang Cucu, Keinginan Ibu yang Tak Pernah Terwujud

7 Januari 2022   14:10 Diperbarui: 7 Januari 2022   14:23 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki awal bulan Januari, selalu ada perasaan sedih yang hadir dalam hatiku dan kedua saudaraku karena di bulan inilah 13 tahun yang lalu ibu meninggalkan kami bertiga untuk selama-lamanya.

Ada satu keinginan ibu yang tidak pernah terwujud sampai akhir hayatnya, yaitu ingin melihat dan menimang cucu ke tiganya yang saat itu masih ada di dalam kandunganku.

Sejak menikah, aku dan suami harus bersabar menunggu sampai 4 tahun akan hadirnya seorang buah hati yang telah dinanti-nanti oleh kami berdua termasuk ibu dan ayahku. Belum hadirnya seorang anak dalam sebuah keluarga menyebabkan rumah terasa sepi.  Itu yang aku rasakan, termasuk oleh kedua orang tuaku.

Walaupun sudah berkeluarga, ibu dan ayah tidak mengizinkanku untuk pindah rumah. Beda dengan kakak dan adik yang sudah pindah ke rumahnya masing-masing, walaupun lokasinya tidak jauh. Bahkan rumah kakak bersebelahan dengan rumah kedua orang tua.

Kakak sudah memiliki 2 orang anak, laki-laki dan perempuan yang kadang-kadang sering main ke rumah. Tapi yang namanya anak-anak, kedua keponakanku datang ke rumah sesuka hatinya karena punya aktivitas sendiri yaitu sekolah dan bermain bersama dengan teman-temannya.

Kesepian juga aku rasakan, karena selain belum memiliki anak saat itu suami masih bekerja di luar kota dan tinggal bersama ayah mertua yang sudah sepuh dan sakit. Sehingga suami pulang ke rumah seminggu sekali. Aku juga merawat ibu yang sudah sakit bertahun-tahun, dan ayah juga yang mulai sakit-sakitan sejak pensiun.

Ibu sudah 9 tahun sakit lumpuh. Awalnya hanya bisa berbaring karena tangan, kaki dan seluruh badannya terasa lemas dan tidak ada tenaga untuk bergerak. Setelah berobat ke dokter dan juga alternatif, akhirnya tangan bisa normal kembali tetapi kakinya belum bisa digunakan untuk berjalan.

Akhirnya ibu menyerah, beliau tidak mau lagi di bawa berobat. Karena merasa cape di perjalanan dan menunggu lama ketika berobat ke dokter. Tetapi yang luar biasa, ibu selalu bersabar dalam menghadapi sakitnya.

Ibadahpun tidak pernah ibu tinggalkan, baik sholat lima waktu ataupun puasa di bulan Ramadan. Bila mendengar suara adzan dan belum ada yang datang ke kamar, beliau akan memanggil orang yang ada di rumah.  Ibu selalu dibantu untuk berwudhu dan memakai mukena, sebelum melaksanakan sholat.

Bila aku sedang bekerja, kedua saudaraku akan datang merawat dan menemani ibu secara bergantian bahkan ayahku juga membantu bila ketiga anaknya sedang memiliki kesibukan.

Di tahun-tahun pertama sakit, setiap hari Minggu aku dan kakak selalu memandikan ibu. Kakak yang menggendong ibu ke kamar mandi dan mendudukan ibu di kursi, aku yang memandikan dan mencuci rambut ibu.

Setelah itu ibu akan dibawa keluar untuk berjemur di depan rumah. Orang-orang yang lewat banyak yang menyapa ibu, dan itu membuat ibu senang. Tetapi di tahun-tahun terakhir, kegiatan tersebut tidak pernah dilakukan lagi karena kondisi kesehatan ibu yang semakin menurun.

Sewaktu aku menikah di tahun 2005, kakak membawa dan menggendong ibu ke dalam masjid sehingga bisa menyaksikan proses ijab kabul. Saat acara sungkeman, ibu menangis bahagia sambil memeluk dan mengusap punggungku. Ibu beserta ayah menemaniku duduk di pelaminan, tetapi ibu hanya  sebentar karena tidak kuat duduk lama.

Seperti kebanyakan orang tua yang lain, ibu dan ayah berharap segera bisa melihat cucunya yang berasal dariku. Ibu selalu berdoa dan memberikan semangat kepadaku untuk bersabar dan berusaha, hingga akhirnya setelah 3 tahun lebih menikah aku bisa hamil.

Sayangnya pada saat usia kandungan 8 minggu, aku mengalami keguguran. Ibulah yang selalu menghibur dan mendoakan aku agar bisa segera memiliki buah hati. Alhamdulillah dua bulan kemudian aku hamil kembali, dan ibu merasa senang ketika aku kabari tentang itu.

Ibu selalu menasihati agar aku lebih hati-hati lagi dalam menjaga kandungan dan mengatakan ingin segera melihat cucunya yang akan lahir. Sayangnya hal tersebut tidak pernah terwujud, karena ibu meninggal pada saat usia kehamilanku menginjak 4 bulan.

Dua bulan kemudian ayah mertua juga menyusul ibu, kesedihan yang berturut-turut datangnya tetapi tidak membuat aku lupa menjaga kandunganku. Pada tanggal 2 Juli 2009 aku melahirkan di Rumah sakit melalui proses secar, karena posisi bayi yang sungsang dan plasenta yang letaknya di bawah.

Ada rasa bahagia dan juga sedih, karena aku sering mendengar teman-temanku ketika melahirkan ditemani oleh suami dan ibunya. Pada saat itu yang menungguku pada saat operasi yaitu suami dan kakak yang laki-laki.

Pada saat pulang ke rumah, ayah yang menyambutku dengan bahagia. Rumahpun menjadi ramai, karena saudara-saudara dan tetangga berdatangan menengok bayi yang baru lahir. Aku menggendong bayi ke kamar ibu, yang kutemukan hanya ada tempat tidur kosong di sana.

Aku teringat ketika kakakku membawa anak keduanya yang baru lahir beberapa tahun yang lalu pada saat ibu masih ada, ibu mencium dan mengusap kepala keponakan serta mendoakannya supaya menjadi anak yang sholelah.

Kini pada saat anakku sudah lahir, ibu sudah tiada sehingga tidak lagi pelukan dan ciuman sayang dari seorang nenek kepada cucunya. Tetapi aku yakin, ibu bisa melihat cucunya dari alam sana dengan perasaan bahagia.

Anakku hanya bisa bertemu dengan kakeknya saja, dan bersamanya beberapa tahun. Karena pada saat anakku berusia 3 tahun, ayah juga menyusul ibu. Dari pihak suami, kedua orang tuanya sudah tidak ada sehingga anakku tidak pernah mengenal mereka.

Kini anakku sudah berumur menjelang 13 tahun, hanya mengenal nenek dan kakeknya dari foto yang dipajang di dinding kamar dan mendengar tentang sosok mereka dari cerita kami berdua.

Terima kasih ibu dan ayah karena telah mendidik dan merawatku dan anak-anakmu dengan sangat sabar. Maafkan anakmu yang belum bisa memberi kebahagiaan dan membalas semua kebaikan yang engkau berikan kepada kami.

Hanya doa yang bisa dipanjatkan oleh anak dan cucumu kini. Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku semenjak kecil.

Untaian doa yang kami panjatkan setiap hari dengan tulus, semoga ini merupakan kado terindah untuk ibu dan juga ayah. Semoga doa kami diterima oleh Yang Maha kuasa, dan mudah-mudahan keduanya mendapatkan balasan syurga di hari akhir kelak. Aamiin Ya Robbal A'lamin.

Tetesan air mata jatuh begitu saja pada saat menulis artikel ini, selalu ada kesedihan bila mengingat kebaikan ibu dan ayah. Terima kasih telah membaca tulisan ini.

#Ladiesiana Event

Cibadak, 7 Januari 2022

Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun