Awal kisah menceritakan tentang proses pernikahan di usia muda ketika keduanya masih kuliah, yang dilalui tanpa proses pacaran karena keduanya merupakan aktivis dakwah di kampus. Ketika sudah siap menikah Pak Cah bertanya kepada teman mengaji dan teman kost tentang siapa yang sebaiknya dilamar, dan nama yang paling banyak disebut adalah Ibu Ida sehingga mereka menikah di tahun 1991.Â
Menurut  Ibu Ida pilihan sikap, aktivitas, teman, penampilan, akhlak, bahkan hobi merupakan undangan bagi jodoh yang dijemput. Jodoh mestinya dirawat setelah akad nikah, menjemput jodoh sebelum menikah dan merawat jodoh setelah menikah.
Menjalani kuliah sambil menikah memiliki banyak liku-liku yang harus dihadapi, terutama pada saat keduanya akan membayar biaya kuliah tiap semester, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain, memiliki buah hati sekaligus menjalankan dakwah. Semua dijalani dengan kemandirian, kesabaran dan keikhlasan dan selalu saja ada pertolongan yang datang dari Allah SWT.Â
Bagi keduanya mengalami jatuh bangun menegakkan ekonomi rumah tangga merupakan bagian dari takdir penguat cinta, yang harus dinikmati sebagai hadiah dari Allah untuk mereguk lezatnya kesejiwaan.
Sikap yang sangat terpuji dari keduanya adalah selalu menghormati dan berbakti kepada kedua orangtua. Hadiah pertama yang diberikan kepada ibu dan mertunya adalah baju daster sederhana dari bahan katun bunga-bunga, yang dibuat oleh ibu Ida sendiri setelah memiliki mesin jahit. Mereka juga melakukan nyaosi yaitu menyisihkan rezeki yang dimiliki untuk dihaturkan secara rutin kepada orang tua.Â
Caranya yaitu istri menghaturkan untuk orangtua suami dan sebaliknya, Â sebagai bukti kesepahaman dan akan merekatkan hubungan menantu mertua. Karena menurut bu Ida sebuah pernikahan merupakan sebuah keberuntungan, sebab bukan hanya memiliki dua pintu surga melainkan empat pintu surga yaitu orang tua dan mertua.Â
Mensyukuri kehadiran orang tua merupakan tuntunan agama, terlalu banyak jasa orang tua yang tak mungkin diketahui anak bahkan selamanya dan merekalah diantara pintu surga
Setelah 15 tahun berumahtangga akhirnya keduanya bisa mewujudkan memiliki rumah impian, yang dibuat secara bertahap memerlukan waktu yang lama karena  dikumpulkan dari rezeki mereka dapatkan selama ini.Â
Mereka menempati rumah ini setelah terjadinya gempa bumi Jogja pada tahun 2006, dan ada satu tempat yang menjadi obsesi keduanya yaitu halaman belakang yang merupakan tempat beraktivitas.Â
Mereka bersyukur kepada Allah atas semua karunia dan berharap semoga halaman belakang bisa menjadi tempat yang produktif dalam berkarya, dalam menciptakan keindahan keluarga dan mendapatkan keseimbangan energi untuk melanjutkan berbagai amanah yang menanti.
Memiliki 6 orang buah hati atau enam cahaya yang diberi nama nama yang mengandung makna dan doa merupakan kebahagiaan bagi keduanya. Perjuangan yang masih panjang untuk menghantarkan enam buah cinta menemukan jalan cahaya, agar mereka menjadi cahaya penyejuk mata bukan hanya bagi orangtuanya semata.Â