Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru-Guru Semasa SMA dalam Kenangan

25 November 2023   08:44 Diperbarui: 25 November 2023   09:51 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GURU-GURU SEMASA SMA DALAM KENANGAN

        Entah mengapa, guru-guru pada tahun 1980-an semasa saya bersekolah di SMAN Majalengka, Jawa Barat, pada unik dan otentik. Pada dua hal: keahlian ilmu dan kepribadian yang menarik. 

        Di sini, tentu tidak bisa saya ceritakan semua, melainkan beberapa saja sebagai misal. Tambahan lagi, nama barangkali ada yang kurang tepat. Maklumlah, sudah 30 tahun lewat.

        Pertama, pak Tarmidji. Beliau guru matematika yang cerdas dan lancar menjelaskan materi. Lebih dari itu, tidak banyak berbicara. Kalau sesekali bercanda, beliau sendiri tidak tampak tertawa. Bagi kami itu membuat candaanya semakin bertambah lucu saja.

        Sambil menunggu kami menyelesaikan soal, beliau menyampaikan berita atau sesuatu dari koran Kompas yang ia baca sambil menunggu kami. Saya ingat, beliau membacakan nama asli nan panjang (dari berita Kompas waktu itu) Sultan Hamengkubuwono IX yang membuat kami terheran-heran.

        Kedua, pak Basuni. Kalau pak Tarmidji dari Kalimantan, guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kami ini dari Tasikmalaya. Logat Tasik ini khas, bernada dan bertempo seperti lagu. Kata-kata ada panjang dan pendeknya. 

        "Maraneh mah, rajeun maca koran Monitor! Maca mah Kompas atuh." kata beliau suatu kali di kelas. Artinya, "Kalian ini, sekalinya baca tapi baca tabloid Monitor. Baca dong Kompas." Kami semua nyengir kuda dan tertawa. Tidak hanya karena telak kena sindirannya, tapi juga senang mendengar logat bicaranya. 

        Pak Basuni pandai menyusun soal ulangan dengan begitu rupa sehingga soal Pilihan Ganda (yang lebih tepat sebenarnya soal Pilihan Jamak) option A hingga E seperti sama benar semua jawabannya. Itu membuat kami bingung mana jawaban yang benarnya. Soal tingkat dewa pokoknya. Kita mengenalnya sebagai soal HOTS di zaman sekarang. Tidak pernah ada yang mendapat nilai 100. Nilai 80 itu sudah sangat bagus.

         Ketiga, pak Hasan. Beliau guru mapel Geografi sekaligus wali kelas yang tegas dan suka kerapian. Beliau tampak senang dan suka memuji apabila kelas rapi dan bersih. 

         Di awal pertemuan, beliau meminta buku catatan/tugas harus disampul rapi dengan kertas coklat. Ketiga tugas dikumpulkan dan mulai diperiksa, beliau amat masygul karena tidak semua buku catatan/tugas bersampul. Maka buku yang sudah diperiksa dan dinilai tapi tidak bersampul itu "melayang-layang" alis terlemparkan dan bertebaran di depan kelas. 

        Sepengetahuan saya pak Hasan orang Sunda. Namun, kalau berbicara bahasa Sunda sejauh yang kami dengar bukan bahasa tingkat halus. Nah, bagi yang belum mengenal beliau mungkin akan dirasa kasar. Padahal beliau orang yang baik hati. Selain itu, suka bercanda. 

        "Nu bener maneh atuh nulis teh, busur 25 derajat, lain bujur!" ucapnya mengomentari tugas teman saya. Artinya, "Yang benar kamu kalau menulis, bukan bujur tapi busur 25 derajat!". Kami yang mengerti bahasa Sunda senyam-senyum saja. Bujur itu bagian badan untuk duduk, dalam bahasa Sunda.

        Keempat, pak Amar. Guru mapel Geografi yang ramah dan bijaksana. 

        Beliau yang menitahkan kami membuat peta timbul dari bubur kertas koran. Teknik pembuatannya beliau sampaikan dengan jelas dan rinci.

        Maka setiap kelompok dari kami bekerja sama membuatnya. Bubur kertas ditata membentuk pulau-pulau peta Indonesia. Dicat aneka warna seperti halnya gambar di peta. Untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, ditandai dengan lampu yang menyala. Peta timbul itu dengan bangga kami gantung di kelas. 

        Sayangnya, pak Amar sakit dan meninggal begitu tugas kami selesai.

        Selamat Hari Guru, terima kasih tak terhingga dan tak terhitung jumlahnya atas pengabdian Bapak Ibu guru untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.***

Bogor, 25 November 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun