Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana tiba-tiba kata "piting", "memiting", dan "dipiting" menjadi viral di dunia maya. Sebermula kata-kata itu diucapkan Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, sebagaimana dikutip Kompas.com bertanggal 18 September 2023, bahwa "Umpama masyarakatnya 1.000 ya kita keluarkan (prajurit TNI) 1.000. Satu miting satu itu kan selesai. Enggak usah pakai alat, dipiting saja satu-satu," ujarnya.Â
Bagi saya, kata-kata tersebut menarik untuk ditelisik. Sebagai pecinta bahasa, kata-kata itu membuat saya cukup terusik.
Saya mulai dengan membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta. Kamus jadul ini diterbitkan PN Balai Pustaka (1984), entri piting terdapat di dalamnya dengan penjelasan sederhana. Terdapat kata turunan memiting yang bermakna mengapit (menjepit) dengan kaki dan sebagainya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2002), entri piting sudah ditambah lebih panjang penjelasannya. Pada KBBI ini memiting bermakna mengapit atau menjepit dengan kaki atau lengan, dengan disertai kalimat sebagai contohnya. Dengan cepat ia menubruk musuh itu lalu memiting batang lehernya. Ada entri tambahan piting-memiting yang bermakna saling memiting atau baku piting, selain pitingan yang bermakna cara (hasil) memiting, dengan contoh kalimat ia merobohkan lawan dengan teknik pitingan yang baru dipelajarinya.
Aplikasi KBBI V yang saya unduh tidak berbeda isinya. Penjelasan malah lebih sederhana. Sementara itu, pada Tesaurus Bahasa Indonesia karangan Eko Endarmoko, terdapat padanannya. Entri piting, memiting bersinonim dengan mendekap dan menyikap (Jakarta), mengapit, mengunci, menjepit (Jawa). Selanjutnya, pitingan bermakna sepadan dengan jepitan dan kuncian, tanpa contoh kalimat sebagaimana kamus lain pada umumnya.
Baik kamus dan tesaurus keduanya seiring sejalan menjelaskan makna kata piting dan memiting sebagai cara mengalahkan musuh atau lawan dengan menjepit menggunakan tangan atau kaki pada bagian tubuh lawan (seperti kaki atau leher) sehingga membuat lawannya atau musuhnya tidak bisa berkutik.Â
Sebagaimana diketahui, ucapan tersebut kemudian menimbulkan reaksi yang keras oleh sebab dianggap tidak selaras dengan jatidiri dan bahasa citra tentara.Â
Situasi mereda ketika Panglima TNI menyampaikan permohonan maaf atas ucapannya. Kapuspen TNI, Julius Widjojono, Â mengklarifikasi bahwa arti kata "piting" sebagai bahasa prajurit adalah merangkul, katanya.Â
Muncul pertanyaan, apakah piting dan rangkul bermakna sama?Â
Saya membuka lagi KBBI edisi ketiga. Entri rangkul, kata turunan merangkul bermakna melingkarkan lengan pada pundak (tubuh, pinggang, dsb.); memepetkan badan pada badan, dsb orang lain sambil melingkarkan kedua lengan, sedangkan padanannya mendekap, memeluk, disertai contoh kalimatnya. Sambil menangis dia memeluk anaknya.Â
Tesaurus Bahasa Indonesia banyak mencatatkan padanan merangkul di dalamnya. Namun, tak satupun tertera kata piting atau memiting sebagai makna yang serupa! Entri rangkul, merangkul berpadanan dengan melekap, memagut, memalun, memaut, memeluk, mencangkum, mendekap, menyikap, merangkum, merangkup, melawa, mengajak, mengundang, mendekati, itu saja.Â
Kalimat "Sambil menangis dia memeluk anaknya.", tentu saja berbeda maknanya dengan kalimat "Sambil menangis dia memiting anaknya.". Merangkul atau memeluk merupakan tindakan kasih sayang, tidak sama dengan memiting sebagai tindakan kekerasan untuk melumpuhkan musuh atau siapapun yang dianggap sebagai lawan.Â
Dalam pandangan saya, pada kasus ini secara tersurat tampak ada upaya untuk mereduksi makna kata-kata. Entah dengan motif agar tidak kehilangan muka atau berusaha menggiring opini sebagai alibi, rasanya bukan tindakan yang mulia dan bijaksana. Setiap kata punya makna dan makna itu tidak akan berubah dan tunduk pada kemauan pengguna sepihak, sekalipun di bawah todongan senjata.Â
Sekali-kali, jangan lagi "memperkosa" bahasa atau berupaya mereduksinya. Sebab menjadikan bahasa sebagai kambing hitam untuk menutupi kekeliruan, ketidakpantasan, dan kesalahan, seperti tong kosong yang nyaring bunyinya. Â
Bisa-bisa Anda dituduh menghina lambang negara, Bahasa Indonesia!
Bogor, 29 September 2023.
Sebelumnya: puisi Pamijahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H