Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelajaran Mengarang Ternyata Menentukan Kualitas Pemimpin Bangsa

14 Maret 2021   17:05 Diperbarui: 28 September 2021   15:32 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi pribadi

Penyair Taufiq Ismail dengan setia dan pantang menyerah selalu menggugah kesadaran kita tentang pentingnya kemampuan mengarang. Keterampilan mengarang ini dalam pandangan beliau telah sangat diabaikan selama ini. Sampai-sampai disebutnya bahwa bangsa kita telah buta membaca dan lumpuh menulis. 

Berbagai upaya telah banyak diwujudkan penyair ini untuk membudayakan anak-anak bangsa agar kembali terampil mengarang, seperti kiprahnya dalam program SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya) yang menghadirkan para sastrawan di berbagai sekolah menengah di hampir seluruh kota besar Indonesia. Penulis kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia ini menaruh harapan besar agar anak didik kita memiliki kemampuan mengarang yang baik.

Harus kita akui sejak negeri ini merdeka hingga detik ini, pelajaran mengarang yang kait-mengait dengan pelajaran membaca belum menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan. Secara umum ini ditandai dengan tidak optimalnya kualitas karangan siswa, amat sedikit kesempatan siswa untuk menulis karangan, dan lemahnya minat siswa terhadap pelajaran mengarang. 

Tentang itu, dalam pidato penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Universitas Negeri Yogyakarta, Taufiq Ismail menyebutkan bahwa "Pelajaran mengarang di SLTP-SMU kita luar biasa terlantar. Di perguruan tinggi, terasa sekali lemahnya kemampuan tamatan SMU kita mengarang, bahkan sesudah rampung S-1 pun. Dosen-dosen dijangkiti penyakit hipertensi mengoreksi paper mahasiswa. Bagian personalia kantor yang mentes calon karyawan dan redaktur media massa yang menyeleksi calon watawan, semua sakit kepala karena buruknya karangan mereka."

Apa sebabnya? Setidak-tidaknya ada beberapa argumen berikut.

Pertama, proses "pembiaran menjadi tidak cerdas" pada pelajaran mengarang selama masa Orde Baru. Jika almarhum cendekiawan Nurcholis Madjid menduga ada proses "pembiaran menjadi tidak cerdas" bangsa selama kurang lebih 32 tahun, maka bisa dipastikan terjadi pula pada pelajaran mengarang. Hal tersebut tampak pada (1) titik tekan pelajaran bahasa bukan pada mengarang dan membaca yang memberikan jendela-pintu seluas-luasnya untuk bernalar dan berkekspresi, melainkan pada gramatika bahasa yang kaku dan tertutup, (2) porsi waktu untuk pelajaran mengarang sangat sedikit, tidak proporsional, dan tersisihkan, (3) dengan sengaja dicari akal agar siswa kurang menyukai mengarang karena disajikan tema-tema politis dan kering kerontang seperti "transmigrasi, peran pemuda dalam pembangunan, persatuan dan kesatuan bangsa, keluarga berencana" dan sebagainya. 

Kebijakan pendidikan yang sentralistis memungkinkan upaya membiasakan berpikir kritis melalui pelajaran mengarang perlahan-lahan tenggelam ke dalam lautan ketidakberdayaan. Dalam posisi ini, sangat keliru jika mengkambinghitamkan para guru.

Kedua, opini yang terbelakang tentang mengarang. Kita tidak mencontoh negara-negara maju yang bukan main menghargai buah pikiran melalui tulisan. Demikian besarnya penghargaan mereka, lebih dari penghargaan atas urusan isi perut atau benda-benda berharga sebagai simbol kekayaan materi. Zaman dulu saja, penjajah Belanda menghargai individu yang pandai mengarang. Ki Hajar Dewantara, yang banyak mengkritik Belanda melalui berbagai karangannya, amat disegani, amat dihormati, bahkan ditakuti oleh pemerintah kolonial Belanda. Filosofi berpikir kita tentang mengarang, amat disayangkan, tidak seperti itu. 

Ketiga, pendidikan pada zaman penjajahan Belanda yang serius dan menghargai pelajaran mengarang telah membuahkan banyak pemimpin bangsa yang gemar membaca dan mengarang. Dalam masa itu, para siswa MULO dan AMS Hindia Belanda dikondisikan untuk membaca 25 hingga 30 buku selain praktik mengarang secara intensif puluhan bahkan seratusan karangan. Dari lulusan sekolah yang demikian itulah muncul para pemimpin kita seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Agus Salim, Muhammad Natsir, Sutan Sjahrir, Djuanda, Wilopo, Kasimo, Muhammad Yamin, Prawoto Mangkusasmito, Ruslan Abdulgani, Sjafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, Rosihan Anwar, dan lain-lain. Gemar membaca membuat wawasan mereka terbentang luas, gemar mengarang membuat mereka terbiasa berpikir kritis, mencipta ide baru, serta mencari solusi yang logis-realistis dalam menghadapi masalah bangsa. 

Sesudah berakhir penjajahan Jepang dan dimulai dengan sistem pendidikan yang berbeda, generasi sekualitas mereka berkurang jumlahnya lalu semakin menyusut hingga sekarang.

Bangsa kita memang telah tertinggal, bahkan mundur lebih 70 tahun dalam hal mengarang. Namun, kita bisa memulainya kembali dari sekarang. Keluarga, guru, dan pemerintah adalah tiang-tiang penyangga yang kokoh untuk memulai mentradisikan kembali mengarang sebagai jatidiri dan bahasa citra manusia Indonesia yang kreatif pada diri siswa. Dengan terampil dan gemar mengarang para siswa terbiasa menggunakan otak yang oleh Tony Buzan (penulis Use Your Head) diibaratkan sebagai raksasa tidur, terbiasa menumbuhkembangkan daya nalar dan imajinasi, terbiasa menggali ide, terbiasa mencari akal, terbiasa bersikap kritis, terbiasa mengekspresikan diri sebagai individu secara nonverbal, dan yang tak kurang pentingnya adalah terbiasa memecahkan solusi atas sebuah masalah. 

Pada intinya, pelajaran mengarang menghidupkan aspek intelektual dan emosional siswa, dua aspek sangat penting yang saling menjalin dan menemukan keseimbangannya dalam mengarang.

Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, banyak hal yang sesungguhnya bisa kita lakukan. Salah satunya adalah mengembalikan ide-ide mengarang kepada diri siswa. Mereka hadir sebagai pribadi dan hidup dalam dunianya sendiri. Itulah yang menyenangkan, baik dan berguna sebagai tema karangan. Mereka bisa menulis autobiografi, biografi orang tua atau sosok idola, beragam pengalaman mereka sendiri, alam atau lingkungan sekitar, kejadian aktual, fenomena sosial, dan sejumlah tema lain yang komunikatif dengan diri siswa. 

Selain itu, hal lain yang bisa dilakukan adalah mengkondisikan kembali keharusan membaca buku pada para siswa, seperti di negara-negara lain yang mengharuskan membaca sekitar 25-30 novel sastra bermutu selama tiga tahun. Juga keharusan mengarang dengan jumlah tertentu sehingga keterampilan mengarang benar-benar dikuasai siswa. Ini memang tidak mudah karena diperlukan ketersediaan banyak buku, baik sastra maupun nonsastra, di setiap perpustakaan sekolah.

Di era yang demikian cepat berubah seperti sekarang, tepat waktunya bagi para guru yang mengajarkan keterampilan mengarang untuk mendayagunakan materi ini. Tidak lagi mengajarkan mengarang sebagai retorika, sebagai pengetahuan tentang bahasa, melainkan sebagai cara menggunakan bahasa. Kelak puluhan tahun mendatang ketika anak didik kita sekarang menjadi para pemimpin bangsa ini, mereka adalah para pemimpin bangsa yang terbiasa mengarang. Keterampilan mengarang yang mereka miliki nanti adalah nilai tambah pribadi yang luar biasa dampak positifnya terhadap kualitas kepemimpinan mereka. ***

Bogor, 14 Maret 2021

Artikel lainnya, "Ada Alasan Sunset Negeri di Atas Awan Tidak Harus Diabadikan dengan Kamera 1" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/6047099351d71b1f6221de72/ada-alasan-sunset-negeri-di-atas-awan-tidak-harus-diabadikan-dengan-kamera-1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun