Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelajaran Mengarang Ternyata Menentukan Kualitas Pemimpin Bangsa

14 Maret 2021   17:05 Diperbarui: 28 September 2021   15:32 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi pribadi

Bangsa kita memang telah tertinggal, bahkan mundur lebih 70 tahun dalam hal mengarang. Namun, kita bisa memulainya kembali dari sekarang. Keluarga, guru, dan pemerintah adalah tiang-tiang penyangga yang kokoh untuk memulai mentradisikan kembali mengarang sebagai jatidiri dan bahasa citra manusia Indonesia yang kreatif pada diri siswa. Dengan terampil dan gemar mengarang para siswa terbiasa menggunakan otak yang oleh Tony Buzan (penulis Use Your Head) diibaratkan sebagai raksasa tidur, terbiasa menumbuhkembangkan daya nalar dan imajinasi, terbiasa menggali ide, terbiasa mencari akal, terbiasa bersikap kritis, terbiasa mengekspresikan diri sebagai individu secara nonverbal, dan yang tak kurang pentingnya adalah terbiasa memecahkan solusi atas sebuah masalah. 

Pada intinya, pelajaran mengarang menghidupkan aspek intelektual dan emosional siswa, dua aspek sangat penting yang saling menjalin dan menemukan keseimbangannya dalam mengarang.

Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, banyak hal yang sesungguhnya bisa kita lakukan. Salah satunya adalah mengembalikan ide-ide mengarang kepada diri siswa. Mereka hadir sebagai pribadi dan hidup dalam dunianya sendiri. Itulah yang menyenangkan, baik dan berguna sebagai tema karangan. Mereka bisa menulis autobiografi, biografi orang tua atau sosok idola, beragam pengalaman mereka sendiri, alam atau lingkungan sekitar, kejadian aktual, fenomena sosial, dan sejumlah tema lain yang komunikatif dengan diri siswa. 

Selain itu, hal lain yang bisa dilakukan adalah mengkondisikan kembali keharusan membaca buku pada para siswa, seperti di negara-negara lain yang mengharuskan membaca sekitar 25-30 novel sastra bermutu selama tiga tahun. Juga keharusan mengarang dengan jumlah tertentu sehingga keterampilan mengarang benar-benar dikuasai siswa. Ini memang tidak mudah karena diperlukan ketersediaan banyak buku, baik sastra maupun nonsastra, di setiap perpustakaan sekolah.

Di era yang demikian cepat berubah seperti sekarang, tepat waktunya bagi para guru yang mengajarkan keterampilan mengarang untuk mendayagunakan materi ini. Tidak lagi mengajarkan mengarang sebagai retorika, sebagai pengetahuan tentang bahasa, melainkan sebagai cara menggunakan bahasa. Kelak puluhan tahun mendatang ketika anak didik kita sekarang menjadi para pemimpin bangsa ini, mereka adalah para pemimpin bangsa yang terbiasa mengarang. Keterampilan mengarang yang mereka miliki nanti adalah nilai tambah pribadi yang luar biasa dampak positifnya terhadap kualitas kepemimpinan mereka. ***

Bogor, 14 Maret 2021

Artikel lainnya, "Ada Alasan Sunset Negeri di Atas Awan Tidak Harus Diabadikan dengan Kamera 1" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/6047099351d71b1f6221de72/ada-alasan-sunset-negeri-di-atas-awan-tidak-harus-diabadikan-dengan-kamera-1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun