Bagi saya yang hampir menginjak usia kepala lima, perjalanan menuju puncak bukit Sikunir untuk menyaksikan Negeri di Atas Awan, bukan perkara mudah. Seluruh persendian kaki pegal bukan buatan. Napas terengah-engah dan tersengah-sengal seperti gerak tubuh bintang iklan produk obat pelega napas. Dada pengap dan panas bagai mau meledak. Jantung berdegup dag-dig-dug dengan tempo kerap bernada keras dan kencang.
Kami sampai di surau kecil pada bagian kanan jalan. Tempat dengan dataran yang cukup lapang. Banyak orang berhenti di sana untuk melepas lelah. Bagi yang beragama Islam, di sanalah tempat untuk menunaikan shalat Subuh pagi itu. Surau yang istimewa karena berada di ketinggian lebih dari dua ribu meter di atas permukaan laut.
Sebagian besar dari kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk beribadah di surau itu. Sepenggal waktu yang berkah, di samping meredakan lelah. Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan yang masih cukup lama untuk ditempuh. Â
(Bersambung)
Sambungan artikel ini pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/604719e1d541df528c4dffa4/ada-alasan-sunset-negeri-di-atas-awan-tidak-harus-diabadikan-dengan-kamera-2