Mohon tunggu...
Tata Ruzaina Sayyida
Tata Ruzaina Sayyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Uin Sultan Thaha Saifuddin Jambi

Hobi saya membaca buku non fiksi best seller, menulis opini di sosial media, dan menonton film berbahasa asing sekaligus belajar. Saya bercita-cita menjadi penulis hebat yang dikenal dunia. Kepribadian saya INTJ, saya orang yang berpikir kritis, tidak suka basa-basi. Minat saya adalah ilmu psikologi, filsafat, dan agama terkhususnya tafsir Al-Qur'an. Konten favorit saya adalah tentang hal yang saya tulis dalam minat saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Kemunculan Diskursus Studi Qur'an (Quranic Studies)

15 Juni 2024   17:28 Diperbarui: 15 Juni 2024   17:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diskursus Studi Quran (Quranic Studies) merupakan bidang studi yang berkaitan dengan penelitian terhadap Al-Quran. Sejarah kemunculan diskursus Studi Quran dapat ditelusuri sejak zaman awal Islam hingga saat ini. Berikut adalah beberapa tahapan penting dalam sejarah kemunculan diskursus Studi Quran yang sudah saya analisis dan rangkum:

Zaman Awal Islam
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga periode Khulafaur Rasyidin. Konteks perubahan zaman tersebut telah memaksa kaum Muslim untuk terus berijtihad dalam menafsir al-Qur'an agar senantiasa membumi.

Zaman klasik
Pada abad ke-8 hingga abad ke-14 Masehi. Tokoh-tokoh seperti Imam al-Tabari, Imam al-Qurtubi, dan Imam al-Zamakhshari melakukan penelitian mendalam terhadap Al-Quran dan menulis tafsir-tafsir yang terkenal hingga saat ini. Awal abad ke-8 tidak sedikit yang menjadi pengagum bahkan mengkultuskan pemikirannya, bahwa hanya penafsirannya yang paling benar. Tradisi kritik tafsir belum banyak diminati oleh para sarjana al-Qur'an, karena dianggap "tabu" jika dikritik.

Wacana Qur'anic Studies semakin berwarna

Qur'anic studies muncul sebagai proyek apologis missionaris yang bertujuan melakukan konversi (evangelism). Acapkali muncul sebagai proyek material kolonialisme yang didorong dengan hanya sekadar memenuhi rasa ingin tahu (intellectual curiosity).

Program khusus, Qur'anic studies disejajarkan dengan Bible studies

Sebagian besar universitas di Amerika Serikat juga hampir menyeluruh di universitas Barat memiliki program tersebut. Citra Barat mengenai dunia Islam baru menjadi lebih jelas fokusnya pada abad ke-11 M, Minat dunia Kristen Barat akan filsafat dipandang berperan dalam membentuk citra sangat positif mengenai Islam. Pelopornya adalah Gerbert dari Aurilac (Paus Sylverter II, 999-1003 M). Dari tempatnya belajar di Spanyol, ia mulai menyebarkan informasinya ke Inggris. Semenjak itu, upaya penerjemahan manuskrip-manuskrip Arab mengenai ilmu alam dan manusia mulai diorganisasikan secara besar-besaran.

Petrus menjadi penyebab utama ketidakobyektif-an orientalis

Ketika mengunjungi Spanyol pada 1142 M, Petrus terpesona kalangan Kristen berbahasa Arab yang hidup di bawah pemerintahan dinasti Islam. Petrus memanfaatkan mereka untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin, dan juga hadis, biografi Muhammad, dan sejarah kaum muslim. Proyek ini dilaksanakan oleh Pedro de Toledo, dan mendapat bantuan seorang muslim bernama samaran Muhammad. ia meminta bantuan asistennya, Pierre de Poitier, untuk mencarikan pokok-pokok persoalan yang berpotensi dihujat. Hasil upaya Petrus disebut Naskah Cluny (Cluniac Corpus) menandai dimulainya studi ilmiah Barat secara besar-besaran. Salah satunya adalah terjemahan Apologia al-Kindi, sebuah perdebatan antara seorang muslim dan seorang Kristen pada masa Khalifah al-Ma'mun (813-833 M). Teks ini amat populer karena menampilkan perdebatan yang akhirnya dimenangkan pihak Kristen, meski banyak yang mencurigainya sebagai fiksi belaka. Satu abad kemudian, P.R. De Monte Croce (1243-1320 M) meneruskan gagasan Petrus. Ia adalah pendeta missionaris yang sangat keras memusuhi Islam. Croce menggugat al-Qur'an karena ayat-ayatnya dinilai kontradiktif dan memiliki kekaburan kronologis.

Zaman pertengahan

Abad ke-15 hingga abad ke-18. Dinamisasi studi al-Qur'an memiliki dua kecenderungan. Pertama, gerak sentripetal (bergerak menuju pusat) dan kedua, gerak sentrifugal (bergerak menjauhi pusat). Melalui gerak sentripetal, teks al-Qur'an selalu menjadi rujukan utama untuk pembenaran mengenai berbagai persoalan kemanusiaan dan tergolong sebuah teks yang melampaui teks (beyond the text).

Pemikiran Juan Alfonsi menjadi penyebab kolonialisme barat dan imperialisme terjadi

Pada tahun 1453 M, Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Umat Kristen pun berusaha bertahan. Dalam situasi dilematik tersebut, Juan Alfonsi (w. 1456 M), orientalis Spanyol Tengah, menyadari bahwa Islam tidak mungkin dihadapi dengan senjata, karena pemerintahan Usmaniah mencapai puncak kejayaannya. Dalam kesendiriannya di Ayton, ia menghasilkan renungan bahwa Islam harus dihadapi dengan strategi lain, yaitu menyerang dari dalam.

Para orientalis yang memutar otak

Beberapa orientalis ikut berpartisipasi dalam strategi ini salah satunya upaya penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin ialah Theodor Bibliander/Buchmann (1504-1564 M) berperan mengedit, mencetak ulang, dan mempublikasikan terjemahan. Terjemahnya dianggap mengandung kekeliruan krusial tetapi tetap dijadikan acuan Qur'anic studies para Islamolog Eropa sampai akhir abad ke-17.

Lalu muncul kursi untuk pengajaran bahasa Arab pertama-tama diadakan di College de France pada 1539, dan dipercayakan kepada Guillaume Postel, dan pengajaran soal-soal ketimuran semakin bertambah. George Sale (1697-1736 M), orientalis London. Pada tahun 1734 M berhasil menerjemahkan al-Qur'an dengan judul The Koran Commonly Called Alcoran of Mohammed. Terjemah ini cukup otoritatif sepanjang abad ke-18 M, karena terkenal dengan kejelasan dan ketelitiannya. Dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Jerman oleh Thomas Arnold. Edward Said menilai bahwa jika Islamolog Barat era Renaissance terbukti memusuhi Islam, maka Islamolog abad ke-18 M menghadapi dunia Timur secara obyektif.

Dramatikal antara orientalis ekstrim dan orientalis moderat

Metodologis Obyektifitas para Islamolog Barat adalah pendekatan (approach) fenomenologis dalam Qur'anic studies. Diperkenalkan oleh Edmund Gustay Albrecht Husserl (1859-1938 M), filsuf Cekoslovakia. Fenomenologi Husserl bertujuan membiarkan fenomena itu termanifestasikan "apa adanya", tanpa dibarengi oleh prasangka. Naifnya, Islamolog yang menggandeng pendekatan fenomenologis diperkeruh lagi menggunakan pendekatan historisisme, yang muncul pada abad ke-19 M. Mentornya Leopold von Ranke (w. 1886 M). Historisisme dalam studi al-Qur'an telah mendorong orientalis Barat mengasalkan al-Qur'an dari pengaruh kitab suci dan tradisi Yahudi-Kristen. Bisa terlihat secara detail dari karya Abraham Geiger, Hartwig Hirschfeld, John Edward Wansbrough, dan karya Richard Bell.

Tetapi berbeda dengan karya August Fischer (1865-1949 M), Baginya, Muhammad Saw. hidup di tengah-tengah tradisi paganisme sehingga sejatinya terpengaruh oleh tradisi dan bahasa penyair-penyair Arab. Heribert Busse (l. 1926 M), menegaskan juga Muhammad Saw mustahil pernah membaca dan meniru ajaran-ajaran Biblikal, sebab fakta historis menunjukkan bahwa Bible belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab hingga abad ke-7/8 Masehi. Dan dikukuhkan oleh Karen Armstrong dengan pernyataan,
"Seorang pedagang Arab dari kota Makkah (Muhammad Saw.) tak pernah membaca al-Kitab dan tak pernah mendengar tentang Yesaya, Yeremia, dan Yeheskiel." Meski genre ini mendapatkan perlawanan massif dari sebagian orientalis sendiri, tetapi genre ini masih hegemonik hingga abad ke-20.

Karya-karya responsif apologetik ini bermanfaat untuk meneguhkan kembali identitas nilai-nilai Islam. Jika para orientalis cenderung 'menjelek-jelekan', maka kaum apologis muslim cenderung 'membaik-baikan'. Artinya, kedua belah pihak sama-sama terperangkap dalam subyektivitas dan eksklusivitas.

Zaman Modern

Pada abad ke-19 dan ke-20. Jawaban tuntas dari strategi "menyerang dari dalam" adalah untuk menuju ketertinggalan timur dengan barat. Kolonisasi Eropa dimulai dengan Perancis memasuki Aljazair pada 1830 M, dan Inggris memasuki Aden pada 1839 M. Kontrol Inggris atas India dan Malaysia hanya langkah lanjutan dari kontrol Belanda atas Indonesia yang juga termasuk timur. Dan timur saat itu dilihat sebagai lahan reruntuhan peradaban besar. Kalaupun sehat kembali tidak akan mengundang gairah Eropa seperti awalnya. Karena timur dipandang sebagai "orang lain". Akhirnya, sejak pertengahan abad ke-19 M, berlangsung satu fenomena besar yakni imperialisme. Opini populer pun tumbuh "mundurnya Timur disebabkan karena basisnya Islam, sementara gemilangnya Eropa tiada lain sebab sokongan agama Kristen". Cara bijak dalam menyikapi Qur'anic studies ala orientalisme dan Islamologi Barat, yakni dengan tidak menolak secara total, ataupun menerima tanpa kritisisme.

Zaman kontemporer

Abad ke-21, Di era digital dan globalisasi saat ini, Studi Quran semakin berkembang pesat dengan adanya akses mudah terhadap sumber-sumber literatur dan informasi. Banyak universitas dan lembaga penelitian di seluruh dunia yang menyediakan program-program Studi Quran. Juga semakin memperluas cakupan untuk memahami Al-Quran dalam konteks kontemporer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun