Mohon tunggu...
Tata Ruzaina Sayyida
Tata Ruzaina Sayyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Uin Sultan Thaha Saifuddin Jambi

Hobi saya membaca buku non fiksi best seller, menulis opini di sosial media, dan menonton film berbahasa asing sekaligus belajar. Saya bercita-cita menjadi penulis hebat yang dikenal dunia. Kepribadian saya INTJ, saya orang yang berpikir kritis, tidak suka basa-basi. Minat saya adalah ilmu psikologi, filsafat, dan agama terkhususnya tafsir Al-Qur'an. Konten favorit saya adalah tentang hal yang saya tulis dalam minat saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Kemunculan Diskursus Studi Qur'an (Quranic Studies)

15 Juni 2024   17:28 Diperbarui: 15 Juni 2024   17:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran Juan Alfonsi menjadi penyebab kolonialisme barat dan imperialisme terjadi

Pada tahun 1453 M, Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Umat Kristen pun berusaha bertahan. Dalam situasi dilematik tersebut, Juan Alfonsi (w. 1456 M), orientalis Spanyol Tengah, menyadari bahwa Islam tidak mungkin dihadapi dengan senjata, karena pemerintahan Usmaniah mencapai puncak kejayaannya. Dalam kesendiriannya di Ayton, ia menghasilkan renungan bahwa Islam harus dihadapi dengan strategi lain, yaitu menyerang dari dalam.

Para orientalis yang memutar otak

Beberapa orientalis ikut berpartisipasi dalam strategi ini salah satunya upaya penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin ialah Theodor Bibliander/Buchmann (1504-1564 M) berperan mengedit, mencetak ulang, dan mempublikasikan terjemahan. Terjemahnya dianggap mengandung kekeliruan krusial tetapi tetap dijadikan acuan Qur'anic studies para Islamolog Eropa sampai akhir abad ke-17.

Lalu muncul kursi untuk pengajaran bahasa Arab pertama-tama diadakan di College de France pada 1539, dan dipercayakan kepada Guillaume Postel, dan pengajaran soal-soal ketimuran semakin bertambah. George Sale (1697-1736 M), orientalis London. Pada tahun 1734 M berhasil menerjemahkan al-Qur'an dengan judul The Koran Commonly Called Alcoran of Mohammed. Terjemah ini cukup otoritatif sepanjang abad ke-18 M, karena terkenal dengan kejelasan dan ketelitiannya. Dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Jerman oleh Thomas Arnold. Edward Said menilai bahwa jika Islamolog Barat era Renaissance terbukti memusuhi Islam, maka Islamolog abad ke-18 M menghadapi dunia Timur secara obyektif.

Dramatikal antara orientalis ekstrim dan orientalis moderat

Metodologis Obyektifitas para Islamolog Barat adalah pendekatan (approach) fenomenologis dalam Qur'anic studies. Diperkenalkan oleh Edmund Gustay Albrecht Husserl (1859-1938 M), filsuf Cekoslovakia. Fenomenologi Husserl bertujuan membiarkan fenomena itu termanifestasikan "apa adanya", tanpa dibarengi oleh prasangka. Naifnya, Islamolog yang menggandeng pendekatan fenomenologis diperkeruh lagi menggunakan pendekatan historisisme, yang muncul pada abad ke-19 M. Mentornya Leopold von Ranke (w. 1886 M). Historisisme dalam studi al-Qur'an telah mendorong orientalis Barat mengasalkan al-Qur'an dari pengaruh kitab suci dan tradisi Yahudi-Kristen. Bisa terlihat secara detail dari karya Abraham Geiger, Hartwig Hirschfeld, John Edward Wansbrough, dan karya Richard Bell.

Tetapi berbeda dengan karya August Fischer (1865-1949 M), Baginya, Muhammad Saw. hidup di tengah-tengah tradisi paganisme sehingga sejatinya terpengaruh oleh tradisi dan bahasa penyair-penyair Arab. Heribert Busse (l. 1926 M), menegaskan juga Muhammad Saw mustahil pernah membaca dan meniru ajaran-ajaran Biblikal, sebab fakta historis menunjukkan bahwa Bible belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab hingga abad ke-7/8 Masehi. Dan dikukuhkan oleh Karen Armstrong dengan pernyataan,
"Seorang pedagang Arab dari kota Makkah (Muhammad Saw.) tak pernah membaca al-Kitab dan tak pernah mendengar tentang Yesaya, Yeremia, dan Yeheskiel." Meski genre ini mendapatkan perlawanan massif dari sebagian orientalis sendiri, tetapi genre ini masih hegemonik hingga abad ke-20.

Karya-karya responsif apologetik ini bermanfaat untuk meneguhkan kembali identitas nilai-nilai Islam. Jika para orientalis cenderung 'menjelek-jelekan', maka kaum apologis muslim cenderung 'membaik-baikan'. Artinya, kedua belah pihak sama-sama terperangkap dalam subyektivitas dan eksklusivitas.

Zaman Modern

Pada abad ke-19 dan ke-20. Jawaban tuntas dari strategi "menyerang dari dalam" adalah untuk menuju ketertinggalan timur dengan barat. Kolonisasi Eropa dimulai dengan Perancis memasuki Aljazair pada 1830 M, dan Inggris memasuki Aden pada 1839 M. Kontrol Inggris atas India dan Malaysia hanya langkah lanjutan dari kontrol Belanda atas Indonesia yang juga termasuk timur. Dan timur saat itu dilihat sebagai lahan reruntuhan peradaban besar. Kalaupun sehat kembali tidak akan mengundang gairah Eropa seperti awalnya. Karena timur dipandang sebagai "orang lain". Akhirnya, sejak pertengahan abad ke-19 M, berlangsung satu fenomena besar yakni imperialisme. Opini populer pun tumbuh "mundurnya Timur disebabkan karena basisnya Islam, sementara gemilangnya Eropa tiada lain sebab sokongan agama Kristen". Cara bijak dalam menyikapi Qur'anic studies ala orientalisme dan Islamologi Barat, yakni dengan tidak menolak secara total, ataupun menerima tanpa kritisisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun