Proma sendiri tergolong pada industri kecil menengah (IKM). Di tahun 2016, industri berbahan baku kedelai ini memiliki 23 karyawan yang berasal dari kawasan sekitar. Sayangnya, tidak ada informasi berapa jumlah perempuan yang termasuk “memproduksi” bahan baku biogas itu. Bisa dibilang, para pekerja di pabrik tahu ini adalah kaum marjinal. Terlebih beberapa dari mereka adalah perempuan yang termasuk dalam kelompok rentan, sehingga harus mendapatkan hak-nya dalam proses transisi EBT.
Keberhasilan Kelompok Proma Bio menjadi bukti bahwa transisi energi adil bisa diwujudkan asal sinergi antar stakeholder kuat. Sebut saja, bapak/ibu dari BRIN sebagai si pendamping teknologi biogas yang secara teknis bukanlah konsumsi awam.
Kemudian, DLH, si pengambil kebijakan yang memastikan agar lingkungan Kota Probolinggo aman, terlebih ketika pabrik ini berdiri di sisi sungai. Bukan semata-mata, “tutup saja pabriknya!” ketika ada dampak negatif berupa limbah cair dan padat yang menimbulkan polusi udara, air, hingga berdampak panjang ke perubahan iklim. Namun mereka tetap melihat dampak positif ekonomi lokal dan berupaya meminimalisir limbah itu. Solusi yang ditawarkanpun kemudian cukup cerdas, hingga menelurkan “sektor” baru yang menjadi kabar baik pada aplikasi energi terbarukan.
Selain itu, ada pabrik tahu sang pendongkrak ekonomi lokal yang selain memastikan asupan murah bergizi juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang lokal terlebih perempuan. Tak lupa adalah ibu-ibu rumah tangga sekitar yang tidak bebal dan mau bertransisi pada energi biogas. Bayangkan jika sang ibu tidak mau beralih ke EBT biogas, program hanya berhenti pada produksi biogas, tidak sampai pada distribusi dan konsumsi yang justru menjadi bagian penting dalam kesuksesan transisi energi baru itu.
Hal ini tentu menjadi salah satu highlight penting bahwa perempuan tak bisa dipandang sebelah mata. Ia dapat menjadi pemutus mata rantai ketidak-adilan dalam perannya baik sebagai individu, seorang ibu dan istri, juga bagian dari suatu komunitas (kelompok, RT/RW, dan seterusnya).
Kerangka ini sudah seharusnya menjadi concern bagi para pembuat kebijakan di Indonesia, baik tingkat nasional maupun daerah. Kalau boleh saya bilang, ini semacam gotong royong untuk mewujudkan lingkungan yang lebih baik dengan adil dan setara bagi siapapun. Memang, pekerjaan rumah transformasi energi menuju energi bersih bukanlah perkara mudah. Namun juga bukan hal mustahil.
Transisi energi baru terbarukan seperti halnya jaring laba-laba yang saling terkait antar sektor. Jika sukses, transisi energi bersih dengan mengedepankan keadilan bagi sesama, termasuk perempuan, akan menunjang kesuksesan tujuan pembangunan berkelanjutan. Secara langsung setidaknya sudah mendukung TPB 1, TPB 5, TPB 7, juga TPB 8. Jika dirunut akan semakin banyak dukungan ke TPB lain secara tidak langsung.
Well, kisah Bu Erna dan olahan limbah tahu Proma sudah pernah diliput salah satu TV nasional saat gas LPG langka. Semoga menginspirasi lokasi-lokasi lain untuk bertransisi pada energi baru!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H