Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sebuah Kontemplasi: Bangkitlah Kemenangan!

20 Mei 2020   22:10 Diperbarui: 20 Mei 2020   22:10 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Kebangkitan Nasional kita peringati setiap tahun setelah genderang pergerakan kaum muda ditabuh. Tepat hari ini, 112 tahun lalu, para generasi muda cerdas dan berani telah menggenggam tekad untuk merajut perubahan. Melangkah dan menembus babak baru yang kini kita yakini bersama, apa yang mereka lakukan sungguh revolusioner dan berpandangan kedepan.

Coba bayangkan, kalau hari itu terjadi hari ini. Apakah kita sanggup keluar dari zona imajiner? Apa kita sanggup bergandengan tangan dan membangkitkan 'jalan tengah' dari sebuah kunci permasalahan?

Budi Utomo, organisasi modern yang digawangi oleh kaum muda priyayi kala itu membuktikan diri bahwa imajinasi yang dituangkan dengan benar mampu menjadi tonggak perubahan.

Menengok kembali hari bersejarah 20 Mei itu, saya yakin, para pelopor pergerakan kelompok itu tak hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Mereka peduli sesamanya.

dr. Soetomo dan "para ksatria" lainnya itu peduli masa depan bangsanya. Gagasan yang diungkap di sekolah kedokteran yang kini menjadi Universitas Indonesia itu akhirnya menjadi pijakan sejarah besar bangsa kita.

40 tahun setelah hari bersejarah itu, tepatnya 20 Mei 1948, Bung Karno menandai kali pertama peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Istana Kepresidenan, Yogyakarta.

Lima windu bukan waktu yang sebentar untuk mengungkit kembali sejarah itu bila tanpa alasan yang kuat. Hingga akhirnya kini kita peringati tiap tahun.

Hari itu bukan hari biasa, melainkan tanda. Tanda bahwa banyak hal 'bangkit' sejak hari itu. Organisasi bermunculan, bangkitnya pemikiran berani yang diungkapkan, bangkitnya rasa 'agar Indonesia maju' secara bersama-sama, bangkitnya kepedulian mereka agar pendidikan bisa ditempuh siapa saja.   

Dari historia.id, saya mengagumi inti pidato presiden pertama Indonesia yang juga dimuat dalam Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, Kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam bukti sejarah itu Soekarno mengatakan hal penting.

"Meskipun kita sudah merdeka, namun bahaya tetap mengancam Republik dari segala penjuru. Tetapi kita tidak perlu khawatir, akhirnya insyaAllah kitalah yang menang, asal kita memenuhi beberapa syarat yang perlu untuk kemenangan itu... yaitu menyusun machtspolitik, yakni kekuatan massa untuk mendukung perjuangan politik; dan menggalang persatuan nasional."

Menggarisbawahi frasa 'akhirnya insyaAllah kitalah yang menang, asal kita memenuhi beberapa syarat yang perlu untuk kemenangan itu'. Kita sepakat, kemenangan menjadi impian banyak pihak, bahkan bangsa kita sendiri.

Menang atas ego kita sendiri, menang atas keterpurukan, menang atas ketidakmampuan kita bersatu padu dalam menghadapi "musuh". Ya, agar kemenangan itu bangkit, bukankah kita perlu besatu? Mengesampingkan ego pribadi dan menyelaraskan misi bersama?  

Selain itu, frasa menggalang persatuan nasional' dalam pidato itu cukup menyentuh hati. Kita tentu tahu bahwa berselang dua bulan sejak didirikan, anggota Budi Utomo sudah mencapai 650 orang dari berbagai daerah. Ini dulu, saat telepon susah ditemukan, saat internet belum dicetuskan. Artinya organisasi ini memang mampu membangkitkan semangat persatuan nasional.  

Bagaimana dengan kita hari ini?

Setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir, dunia perpolitikan kita benar 'berantakan'. Bagaimana kita yang terkenal 'gemah ripah loh jinawi' bisa terbelah berkubu-kubu. Saling sikut sana-sini, saling olok tak henti. Menebar kebencian dan caci maki pada sesama. Hoax dimana-mana.

Mengapa kita menenggelamkan "kemenangan" yang dulu telah dibangkitkan? Mengubur cita-cita untuk bersatu-padu melawan "musuh".

Dewasa ini musuh kita lebih beragam. Tak hanya yang kasatmata, yang tak terlihat menjadi musuh bersama jua. Dan kita benar masih belum membangkitkan "kemenangan" kita. Kita masih 'terpuruk', sadar atau tidak. Kemenangan sejati masih jauh untuk bisa kita raih, padahal hilalnya sudah lama terlihat. 

Jika ada waktu yang tepat untuk kita kembali membangkitkan kemenangan yang sebenarnya, mungkin kini saatnya. Saat kita, bangsa Indonesia bernasib sama, saat kita semua sedang menunggu untuk berbahagia dan terlepas dari situasi sulit yang dihadapi bangsa ini.

Bangkitlah wahai kemenangan!

Semoga kita mampu mewujudkannya.

Dan untuk jadi pengingat, momentum kebangkitan nasional hari ini bersamaan dengan hari ke-27 ramadan. Artinya umat muslim di Indonesia akan merayakan idul fitri, hari penuh kemenangan.

Kini bagi umat muslim khususnya, kemenangan di depan mata. Menandai menangnya setiap hamba yang khusuk menjaga ibadah sebulan lamanya. Setidaknya berbahagialah, lebaran sebentar lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun