Budaya Indonesia begitu kental dan sarat akan tradisi warisan nenek moyang. Ada begitu banyak tradisi yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Begitu pula saat menjelang idul fitri.
Di rumah ibu saya, Wonogiri, 'kondangan' malem selikuran atau songolikuran umumnya digelar saat 10 hari terakhir. Hari ke-20 ramadan dan hari ke-28 ramadan. Kondangan ini dalam artian prosesi bersyukur dengan menyajikan makanan yang dimakan bersama-sama dengan para tetangga.
Prosesinya cukup sederhana. Para warga akan bersama-sama menuju rumah Pak Kadus dengan membawa satu tumpeng kecil nasi putih ditambah lauk pauk, bisa telur dadar, bisa ayam panggang. Makanan ini nantinya akan saling ditukar dan saat buka puasa telah tiba, para warga berbuka bersama dengan makanan tersebut.
Ya, pada level masyarakat desa, tradisi ini berlangsung cukup singkat dan tanpa prosesi yang panjang. Tapi pada level keluarga kerajaan, tentu berbeda.
Kirab “Malem Selikuran” Kraton Solo
Bagi masyarakat Surakarta, gelaran Kirab "Malem Selikuran" bukan hal asing lagi. Selain sudah membudaya, kirab ini merupakan gelaran turun-temurun. Kabarnya kirab ini merupakan warisan dari Sunan Kalijaga.
Kegiatan yang diadakan pada hari ke-20 bulan ramadan ini sejatinya adalah peringatan untuk menyambut malam seribu bulan. Betul, malam Lailatul Qadar yang dipercaya hadir pada malam-malam ganjil di 10 hari terakhir.
Rute kirab sendiri dimulai dari Kori Kamendungan menuju Masjid Agung Surakarta. Pada iring-iringan kirab budaya ini, pasukan Kraton memimpin barisan paling depan dengan membawa tumpeng. Kemudian disambung oleh para abdi dalem yang memanggul replika lampu ting.
Saat berjalan beriringan, ada tabuhan musik gamelan dan suara tamborin kental yang dipertontonkan.
Setelah prosesi kirab tiba di Masjid Agung, ribuan tumpeng ditata di pelataran masjid. Kemudian ada prosesi doa sebelum akhirnya dibagikan ke masyarakat. Prosesi ini terbilang meriah dan unik di Kota Solo.