Lakum diinukum waliyadiin. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
~QS. Al Kafirun Ayat 6
Tadi siang saya melihat berita di TV, kabarnya Borobudur meniadakan prosesi perayaan Waisak yang hampir setiap tahun dirayakan di bangunan warisan dunia itu. Saya ingat, pada tahun-tahun sebelumnya, salah satu prosesi yang dijalani adalah menerbangkan 1.000 lampion ramai-ramai yang seakan diminta menemani purnawa di cakrawala luas.
Ya, hari ini para pemeluk Agama Buddha merayakan Hari Trisuci Waisak sebagai tanda 3 peristiwa penting. Peristiwa kelahiran Pangeran Sidhartha Gautama, tercapainya penerangan sempurna oleh Pertapa Gautama, dan mangkatnya sang Buddha Gautama. Kejadian kelahiran, penerangan dan kematian itu terjadi pada hari yang sama ketika bulan purnama di bulan Waisak.
Umat Buddha ketika hari Waisak biasanya mendatangi wihara untuk melakukan ritual. Salah satu hal yang dilakukan saat Waisak adalah mengembangkan cinta-kasih. Caranya bermacam-macam, seperti membantu fakir-miskin atau mereka yang membutuhkan. Saat Waisak juga menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan segala perbuatan yang telah dilakukan, apakah baik atau buruk. Bila ada yang buruk, harapannya tidak mengulangi perbuatan yang buruk dan bisa merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar di masa yang akan datang.
Hari Waisak tahun ini diperingati bersamaan dengan momentum Ramadan. Bulan penuh berkah yang ditandai dengan puasa sebulan penuh bagi umat muslim di seluruh dunia. Saat Ramadan, saya dan muslim sedunia melakukan puasa sebulan lamanya. Bermunajad kepada Sang Pencipta untuk memohon ampunan dari semua dosa yang kami lakukan. Di bulan Ramadan, umat muslim berlomba-lomba melakukan kebaikan, berbagi kepada sesama. Bahkan kami juga melakukan zakat sebagai salah satu rukun islam.
Kini sudah setengah Bulan Ramadan berlalu. Di tahun-tahun sebelumnya, kami sebagai umat muslim sudah menunggu-nunggu untuk melakukan takbir keliling dengan membawa puluhan obor, mengitari desa, sambil mengumandangkan takbir kemenangan di akhir Ramadan. Tapi tahun ini, kami umat muslim tak bisa menjalankan sunah-sunah di masjid, tak bisa pula bersama-sama menyalakan obor takbir keliling.
Agaknya, umat muslim dan umat Buddha tahun ini sama-sama tak bisa memperingati hari besar seperti biasanya. Kita semua sedang berduka, menghadapi Corona. Menaati himbauan untuk tidak bergerombol, menjaga jarak agar rantai penyebaran Covid-19 bisa diputus. Segalanya kita lakukan dari rumah.
Namun, saya yakin, keduanya memiliki semangat yang sama. Semangat berbagi kepada yang membutuhkan, semangat menebar kebaikan, semangat meninggalkan yang buruk dan menjalankan kebaikan. Hingga pada akhirnya kobaran semangat-semangat ini menjadikan kita pribadi yang berpandangan baik dalam segala hal. Bila hal itu telah diraih, ketenangan hidup tercipta jua.
Saya percaya, setiap yang hidup, pasti ingin hidupnya merasa tenang. Jauh dari keributan. Bebas dari angkara murka sesamanya. Maka Waisak dan Ramadan tahun ini semoga membawa optimisme kemenangan yang sejati. Ya, ketenangan dalam hidup.
Terakhir, lampion dan obor mungkin padam, tapi kobaran semangat keduanya bisa melahirkan hal baik dan orang baik.