Its always a pleasure to meet new person in my life. Apalagi kalau pertemuan itu membawa pengetahuan baru. Menambah wawasan baru. Rasanya, itu menjadi berkah tersendiri dalam hidup. Seperti kemarin. Sabtu, 7 Juli 2018. Saya berkesempatan bertemu dengan seorang dokter. Pasangan dokter dan keluarga lebih tepatnya. Pagi itu, saya mendapat rupa-rupa wawasan, yang saya pikir, sayang kalau tidak saya abadikan dalam tulisan.
--
"Dek, ada kesempatan ngobrol bareng dokter nih? Mau ikut?" Singkatnya, begitulah inti pesan mbak Nurul, salah satu Kompasianer Surabaya. Dan tak lama bagi saya untuk membalas "iya mbak mau banget". :) Walhasil, kemarin dengan beberapa kompasianer lainnya kami bertatap muka dengan dr.Iswiyanti Widyawati, MKes.
--
dr.Iswiyanti Widyawati, MKes, seorang Kepala Bagian Pelayanan dan Penunjang Medis di Rumah Sakit Ibu dan Anak yang sangat terkenal di Surabaya. RSIA Lombok 22. Suaminya juga seorang dokter terkenal, spesialis anestesi, dr Arief Basuki.
Sekilas, bila mendengar seorang wanita yang bersuami dokter, kita pasti membayangkan beliau sebagai seorang wanita sosialita yang bila tidak disapa tidak akan menyapa. Right? Namun, buang anggapan itu jauh-jauh. Salah bila kita beranggapan dr. Iswi berperangai demikian. Berbalik 180 derajat dari apa yang biasa dianggapkan orang, beliau justru begitu ramah, supel, dan humoris. Mungkin banyak yang tidak mengenal beliau, namun dari sosok sederhana ini saya belajar banyak hal.
--
Senyumnya mengembang ketika menyapa pertama kali. Bajunya berwarna putih, khas. Beliau tampil cantik dan anggun dengan hijab berwarna kuning. Bersama keempat anak dan seorang cucu, beliau melenggang memasuki restoran. Wanita kelahiran Nganjuk ini menjabat tangan para kompasianer, ramah.
Bagaimana tidak, sebagai tenaga medis, berkali-kali beliau dan suami bolak-balik ke daerah konflik di Timur Tengah. Bukan karena amanah tugas suaminya yang juga Ketua BSMI (Bulan Sabit Merah indonesia) Indonesia Timur. Namun lebih-lebih ke panggilan jiwa. Dan tentu saja tak lepas dari hobby beliau, berorganisasi dan bersosialisasi. Tahun 2003, beliau pernah ke Iraq. Kurang lebih satu bulan disana. Pengalaman pahitpun pernah beliau rasakan.
Peristiwa penembakan seorang tenaga medis di Palestina beberapa saat lalu tentu masih segar diingatan kita. Dan hal-hal yang berbau dengan perang seperti itu akrab beliau temui.Â
Beliau bercerita bahwa di Timur Tengah, anak-anak dengan kaki satu banyak sekali jumlahnya. Bahkan, saat beliau ke Lebanon, beliau mengunjungi sebuah pengungsian warga Palestina. Pengungsian tersebut sudah ada dari tahun 1967.Â
Warga pengungsi juga sudah memiliki banyak keturunan di daerah pengungsian. Beranak-pinak disana. Namun, kondisi daerah tersebut tidak berubah menjadi lebih baik. Masih tetap sama, barak-barak pengungsian yang kumuh dan sarat akan was-was perang. Padahal jika dihitung dalam satuan tahun, sudah puluhan tahun daerah tersebut dihuni para pengungsi.
Bagi saya, pengalaman beliau menjadi tenaga medis di negara rawan perang adalah prestasi tersendiri. Saya bila diposisi beliau belum tentu sanggup untuk melakukannya. Tapi beliau dengan siap dan sigap menunaikan tugas mulia itu. Ketika satu dari kami bertanya, "Ummi gak takut kesana?"Â
Dengan santainya beliau bilang, "Perang gak perang, kalau memang waktunya mati juga mati." Singkat, simple tapi sungguh benar adanya. Setiap orang akan mengalami fase mati, tanpa ke medan perang sekalipun. Super salut untuk beliau. Sudah setinggi itu pemahaman beliau akan dunia kemanusiaan.
Bahkan beliau juga menjadi pembina yayasan Dompet Qur'an Amanah serta Ketua Yayasan Harapan Muslimah. Kalau iri itu diperbolehkan, saya akan sangat iri dengan aktivitas beliau yang seabreg tetapi tetap fit dan bergerak tanpa beban.
Dari pertemuan kemarin, saya juga diberi tahu bahwa beliau adalah Kader PKS. Iya betul, partai keadilan sejahtera. Bahkan, beliau didapuk menjadi salah satu calon legislatif Dapil Surabaya-Sidoarjo untuk Komisi 9 DPR RI. Kabarnya, beliau membawa visi menuju kualitas kesehatan Indonesia yang lebih baik, dengan titik berat ke terbentuknya keluarga Indonesia yang lebih kuat.
Sebagai tenaga medis, baliau juga concern dengan kesejahteraan tenaga kesehatan dan pendidikan kesehatan. Beliau juga menyoroti tentang kurangnya UU BPJS. Bukan, bukan tidak setuju. Beliau setuju dengan BPJS, karena menurut beliau, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Namun ada poin-poin yang beliau rasa perlu diperbaiki. Karena dengan pengalaman keprofesiannya selama ini, beliau menjadi saksi betapa ganjalan dalam pelaksanaan UU BPJS itu masih ada.
Menariknya, walaupun aktivitasnya sangat padat, dr. Iswi selalu menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarganya. Bahkan menemani sang cucu bermain juga menjadi salah satu agenda wajib penyuka olahraga ini.
Semoga, suatu saat nanti, saya juga bisa berkontribusi seperti dr.Iswiyanti Widyawati.
*New update foto-foto temu Kompasianer Surabaya dengan dr. Iswiyanti Widyawati, MKes. Foto diambil oleh Mas Badai. Hak Cipta ada pada beliau, hehe.
Â