Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Kita adalah tentang Kompetisi

29 Juni 2018   18:50 Diperbarui: 30 Juni 2018   06:45 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Pendidikan kita tidak dimaksudkan sepenuhnya untuk menambah wawasan, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang sering saya dengar. Tetapi untuk berkompetisi.

--

Pagi ini, rumah saya kedatangan tamu. Wali murid dari salah satu murid les kakak saya. Ya, kakak saya seorang guru TK, dan juga membuka tempat les. Ada 4 muridnya yang beberapa minggu lalu dinyatakan lulus dari sekolah dasar. Dan minggu ini sistem penerimaan siswa baru untuk sekolah SMP negeri sudah dibuka.

Tidak semua sekolah membuka pendaftaran murid baru. Hanya SMPN 1, 2, 3, 6, 12, 15, 25, 22, dan SMPN 26. Ada istilahnya, penerimaan siswa baru sekolah kawasan. Untuk sekolah negeri yang tidak termasuk daftar tersebut, pendaftaran dibuka minggu depan, istilahnya penerimaan siswa baru sekolah reguler. Semoga saya tidak salah menyebut istilahnya ya.

Untuk bisa masuk ke sekolah "kawasan", mengantongi hasil ujian saja tidak cukup. Para calon murid harus melewati TPA. Tes Potensi Akademik. Khusus untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah itu.

Murid kakak saya, 2 orang mencoba untuk masuk ke SMPN 2 dan SMPN 3. Salma dan Ifa. Salma punya modal nilai ujian 27 koma sekian untuk masuk ke SMP 2. Dan Ifa punya nilai 28 koma sekian. Saya lupa persisnya berapa. Keduanya mengikuti TPA kemarin. Dan hasilnya sudah diumumkan via online pagi ini. Hasilnya? Salma diterima di SMPN 2. Dan Ifa, walaupun nilainya lebih tinggi, tidak diterima di SMPN 3.

--

Lebaran lalu, saudara saya bercerita, bagaimana susahnya soal masuk PTN. Banyak soal yang dia lewatkan kosong. "Aku pasrah mbak," katanya saat meminjam beberapa novel saya dirumah. Padahal, mimpinya hari-hari ini simple, mau menembus salah satu jurusan di UNS, Solo.

Kita tentu juga masih ingat berita mengenai seorang anak SD di Jawa Tengah yang rela berangkat sekolah jam 2 dini hari. Bukan waktu yang wajar. Padahal tujuannya hanya untuk mencari tempat duduk di dalam kelas.

--

Inilah yang saya sebut "pendidikan kita adalah tentang kompetisi".

Pada kasus Ifa dan Salma ini, saya berfikir... Bukankah cerdas dan tidak cerdas adalah ukuran waktu? Dan juga pembimbingnya?

Jika sekolah-sekolah terbaik, atau sekolah-sekolah negeri hanya menerima anak dengan potensi akademik yang baik, bagaimana dengan mereka yang saat ini belum cerdas? Bukankah fungsi pendidikan untuk mencerdaskan? Bukankah fungsi sekolah untuk mendidik anak-anak yang kurang cerdas menjadi lebih cerdas?

Bahkan ini tidak hanya terjadi di level SMP saja. Level universitas juga sama. Untuk bisa masuk ke PTN seperti UGM, UI, ITB, ITS, UNS, UNDIP yang literally adalah kampus terbaik di negeri ini, ada tes khusus masuk ke perguruan tinggi negeri. Kita pasti sangat familiar dengan tes ini. Setiap tahun menjadi highlight khusus di media-media nasional. Dan lagi-lagi, hanya mereka yang "sudah cerdas" yang diterima. Untuk yang tidak bisa masuk, mungkin bisa masuk jalur lain seperti jalur mandiri. Tentu saja bila uangnya cukup.

Bayangkan bila kemudian anak-anak yang tidak memenuhi kualifikasi sekolah di sekolah negeri, di perguruan tinggi negeri, tidak menerima pendidikan yang layak. Sudah kurang cerdas, tidak menerima wawasan yang seharusnya pula. Saya berfikir hal ini menjadi bibit kesenjangan dalam pendidikan. Yang cerdas akan semakin cerdas, dan yang kurang cerdas akan semakin terpuruk. Dan nantinya, akan melebarkan kesenjangan ekonomi. Karena walau bagaimanapun, pendidikan menjadi dasar penting untuk dapat "hidup".

Fakta ini menyakiti sosial kita. Juga dunia pendidikan kita. Seharusnya.

Saya paham dan sadar. Hidup adalah tentang kompetisi. Tetapi toh itu tak sepenuhnya benar. Ada hal-hal lain yang juga jadi penentu keberhasilan sebuah hidup. Salah satunya kesempatan. Toh batu yang keras juga akan terkikis bila terkena hujan terus menerus bukan? Anak-anak yang kini kurang cerdas, bila dididik oleh guru-guru yang berpengalaman, dosen-dosen yang sudah bergelar panjang, bukankah lambat laun akan menjadi cerdas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun