Sudah hampir 3 minggu yang lalu, saya memutuskan naik kereta api ekonomi saat pulang ke Solo. Dari stasiun Gubeng Lama hingga Stasiun Solo Jebres, perjalanan yang sempat meninggalkan heran bin "gak ngerti" pada sebuah kebijakan.
Sudah lama saya tidak naik kereta ekonomi, eits gak sombong yaaa, hanya saja dulu saat berpergian beli tiket kereta ekonomi dengan bisnis jauh lebih murah bisnis. Sekitar pertengahan tahun lalu sebelum bulan september 2013 KA menjual tiket ekonomi jauh dekat dengan harga 100ribu sedangkan tiket bisnis saja hanya dibanrol dengan harga 80 ribu -minimal tiket Sancaka Surabaya-Jogja-. Kala itu. Dari sejak itu saya tak pernah lagi naik KA ekonomi.
Flashback. Saya ingat hari itu tanggal 23 Juni 2013, saya naik kereta api Pasundan dari St.Gubeng ke St. Lempuyangan. Di setiap pemberhentian stasiun banyak sekali pedagan asongan yang masuk, mulai dari tukang onde-onde di Mojokerto, tukang lumpia plus wingko di Nganjuk, Pecel di Madiun teruus hingga Lempuyangan. Belum lagi para pengamen dan (maaf) pengemis. Lengkap sudah, rasanya pasar pindah ke dalam kereta. Singkat cerita, beberapa hari setelahnya berbagai media kemudian memberitakan bahwa pedagang asongan tidak boleh masuk ke kereta api. Tilik saja di kompas online, Dilarang Berjualan di Kereta, Pengasong Ricuh di Stasiun Klaten, lalu di liputan6 Dilarang Masuk Kereta, Pedagang Bentrok dengan Polisi.
[caption id="attachment_296468" align="aligncenter" width="454" caption="*image dari AntaraJateng.com"][/caption]
Setelah hari itu saya sendiri memilih beralih moda, sekalipun dengan kereta saya lebih memilih yang alhamdulillah nyaman. Dan baru 3 minggu yang lalu saya kemudian memilih naik keretaekonomi. Awalnya hanya karena ingin bernostalgia, halaah dalih banget ya, sebenernya sih lagi penghematan biar uangnya bisa buat beli sepatu, hehe. Tapi sejujurnya memang saya ingin kembali merasakan bagaimana naik kereta ekonomi. Bahkan jika biasanya saya memesan tiket online dan membayarnya via ATM, khusus akhir Januari lalu saya membelinya langsung antri di stasiun. Fyi, tiket ekonomi untuk jurusan tertentu juga bisa dipesan via website KAI lhoo. Dan berhubung akhir Januari lalu termasuk peak session karena long weekend, hampir 2 jam saya mengantri dan taraa tiket baru ditangan. Dan hari itu juga saya bilang, gak-gak lagi deh beli langsung! Kapok.
Nah saat sudah hari yang tercetak di tiket, saya berangkat. beberapa menit sebelum keberangkatan saya sudah menyodorkan kartu identitas berikut tiketnya. Oke clear dan alhamdulillah tak selang begitu lama kereta berjalan. Awalnya baik-baik saja, hanya sedikit terganggu dengan ulah penumpang lain yang membunyikan mp3 dari Hpnya. Tak tanggung-tanggung volume maksimal, musicnya india dan itu bersebrangan tepat dibelangkang kursi saya. Pusing.
Kursi yang didesain untuk berempat itu hanya terisi oleh saya dan seorang bapak tujuan Tasik. Lalu sesampainya di stasiun Baron ada seorang perempuan yang naik dan duduk dikursi si bapak tadi, saat itu si bapak sedang merokok di sela-sela gerbong. Karena penasaran saya tanya, mba kursi nomer berapa? Dia menjawab, saya ndak punya kursi mbak, saya jualan. Saya mencoba bersikap biasa saja, lalu kemudian kami mengobrol. Usut punya usut ternyata mbak ini cukup sering naik kereta tanpa tiket. Saya kembali terdiam, kemudian kembali teringat berbagai macam hal yang berkaitan dengan KAI. Tepat sebelum kereta berhenti di St. Madiun, seorang petugas menanyai mbak tersebut dimana tiketnya. Mbak tersebut langsung mengaku saya tidak punya tiket mas, saya jualan. Deg. Berani bener mba ini ya, pikirku. Karena sedari Surabaya tidak terlihat pedagang satupun. Kemudian dia dipaksa turun oleh petugas.
Sudah sesampainya disitu aku kembali mengamati pemandangan luar. Hingga sejam kemudian kereta sampai di St. Sragen. Dari jendela bisa diliihat banyak sekali pedagang asongan di sekitaran rel di sekitaran stasiun. Dan tak menunggu lama setelah kereta berhenti, pedagang asongan dan pengamen merajai kereta. Oke, ini segera berlalu pikirku, kereta berjalan dan pedagang asongan plus pengamen itu tetap berada di dalam kereta. Weits. Mereka mau turun dimana, apa di Karanganyar? No. Ternyata sebagian dari mereka turun di St. Jebres karena di Karanganyar kereta tak berhenti, malah sebagian yang lain tetap berada di dalam kereta saat kereta mulai bergerak dari St. Solo Jebres.
Lhaaa, piye to! Di salah satu sudut St. Solo Jebres terpasang spanduk larangan berjualan di atas kereta. Lengkap dengan undang-undangnya. Lha terus sedari St. Sragen tadi apa? Saya gak mimpi, itu nyata. Malah tak tampak satupun petugas ada disana, berbeda dengan cukup seringnya mereka patroli saat kereta melaju dari Surabaya hingga Madiun.
Oke, Secara sistem saya pernah membaca bahwa Kereta Api Indonesia dibagi menjadi beberapa Daerah Operasi atau DAOP. Surabaya termasuk DAOP 8 batasnya (kalau tidak salah) Mojokerto, lalu batas DAOP 7 Madiun dengan DAOP 6 YOGYAKARTA pada kilometer 122+139 antara stasiun Walikukun dan stasiun Kedungbanteng pada Jalur kereta api Solo Balapan-Madiun. Dan stasiun wilayah Daop 6 adalah Stasiun Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Klaten, Stasiun Wates serta Stasiun Sragen. Lah terus kebijakannya berbeda setiap DAOP ya? Padahal kalau ditilik di UU No. 23 2007 tentang Perkeretaapian pasal 35 sudah jelas bahwa prasarana perkeretaapian yang meliputi jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api. Maka tidak boleh ada kegiatan niaga disana.
Jika hal ini dibiarkan berlarut larut, maka tidak heran jika nantinya pedagang asongan di luar DAOP 6 (dan mungkin ada yang lain) menuntut pihak kereta api untuk kembali memperbolehkan pedagang naik ke atas kereta untuk menjajakan barang dagangannya.