Mohon tunggu...
Tatan Tawami
Tatan Tawami Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Pemula

Belajar menulis untuk mengekspresikan ide dan membahasakan citra mental

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Segitiga Kania (Selesai)

21 September 2022   10:20 Diperbarui: 21 September 2022   10:26 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SEMBILAN

Jaka membuka tasnya dan mengambil laptopnya. Membuka file yang dulu sempat ditulisnya. Menyodorkannya pada Kania. Tulisan yang dia buat sebulan sebelum menikah dengan Dyah. Tulisan yang membuatnya "menelantarkan" Dyah yang harus pulang kerja dengan repotnya namun tetap menunggunya di rumahnya dan menyiapkan makan malam bersama ibunya. Pikirnya, dengan Kania yang sudah tahu kenyataan bahwa ayahnya memiliki istri lain dan bahwa dirinya juga sudah menikah, maka biarlah Kania tahu semuanya. Kania lalu membaca tulisan itu.

Bandung, jejak tulisan akhir Januari 2020 

 

Tanpa mengecilkan kerumitan hidupmu di sana, Kania. 

Bertahun yang lalu aku merencanakan ingin menikah dengan seseorang, namun aku tak tahu ternyata mencintaimu itu tak perlu rencana lantas aku jatuh cinta begitu saja. Lalu rencana itu berubah begitu saja ketika mulai kuliah dulu. Ya rencanaku adalah untuk menikahimu karena kepadamu lah aku jatuh cinta, cinta dewasa yang menghargai keseimbangan pikiran dan rasa, cinta yang menakar setiap tindakan adalah untuk kebaikan kita berdua. Sebuah cinta yang paripurna, seperti seorang filantropis pada kemanusiaan, atau seorang sufi pada ajaran tasawufnya. Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang menentukan segalanya. 

 Kania,

Ini lah yang terjadi padaku di setiap tahunnya; pada mereka yang bersuka, pada mereka yang berduka, pada mereka yang berada di antaranya, pada mereka yang berpura-pura, pada mereka yang terlena dan lupa, bahkan pada mereka yang terus berdoa; Aku adalah satu-satunya yang kasat mata, di antara orang-orang yang tampak bahagia, tertawa dan bercengkerama, namun siapa tahu hatiku terluka di sana, di antara tawa di tengah orang-orang yang bersamaku. Aku hanya sebuah titik sederhana di ujung sana, menyapa semua rasa yang menghampiriku, tersenyum, lalu berpaling darinya. Bagiku, menjaga jarak itu mudah, tapi menjaga perasaan rinduku yang tak pernah mudah; seperti menahan tatapan terhadap cakrawala yang melukiskan dirimu, menahan pendengaran dari senandung lagu tentangmu, menahan penciuman dari harum baumu, dan yang tak pernah mudah adalah menahan asmara yang sesakkan dadaku. Setahuku, aku belum pernah menghabiskan masa ini denganmu, namun aku malah bisa merindukan masa ini denganmu, aku rindu untuk bisa bersamamu di saat semua orang tampak bahagia hari itu, dan aku rindu semua tentang dirimu. Dulu kita dekat namun tersekat jarak, sekarang kita jauh dan tetap tak bisa ditempuh. Pada setiap ulangan masa itu, aku rindu ingin berlebaran denganmu. 

 Kania,

Pada beberapa kali kunjunganku ke Ibu Kota, kita mungkin saja secara sengaja menjejaki jalan yang sama pada waktu yang berbeda. Atau di kota kita, kita bisa saja menyengaja ke tempat biasa kita berjumpa di batas kota sebelah utara lantas berharap kita bisa bertemu tanpa sengaja, kita bisa saja tanpa sengaja berpapasan di jalan namun tak saling melihat sehingga melintas begitu saja seperti pada pagi-pagi biasanya. Seperti drama, kita bisa dengan sengaja mencoba semua cara untuk bisa berjumpa tanpa disengaja. Lantas kenapa mesti menyiksa diri dengan rasa ingin jumpa? Pada beberapa narasi takdir, bagiku, dan mungkin bagimu, kisah kita seumpama buah simalakama, kebersamaan kita hanya akan menyakiti banyak orang, dan keterpisahan kita hanya menyakiti kita saja. Perjumpaan kita hanya akan mengungkit rasa sesak di dada karena tahu kita tak bisa bersama. Pada akhirnya, seperti drama, kita hanya bisa saling menduga bahwa kita hanyalah kesatuan perasaan tanpa kenyataan. Semoga Tuhan mempertemukan kita secara tidak sengaja saat kita sangat ingin berjumpa. 

Jika saja kenyataan tidak serumit ini, mudah bagiku mencarimu. Pada semester lima di tahun itu, kunjungan ke rumahmu dan bertemu dengan ayahmu menyadarkanku tentang batasan keinginan untuk memilikimu. Kania, Ayahmu tahu bahwa aku adalah lelaki yang diproyeksikan untuk menjadi calon suami anaknya yang lain, dari lain ibu. Belum ada ikatan apa pun di antara kami, hanya kesepakatan tak langsung antar keluarga. Entah kamu tahu ini atau tidak, yang pasti aku tidak bisa memberitahumu ini. Harapan Dyah, keluargaku, dan harapan orang tua Dyah teramat tinggi padaku. Tidak ada yang kurang dari harapan-harapan itu, semuanya masuk di akal. Itu membuatku harus mengambil keputusan ini. Di balik semua dinamika ini, meski tanpa kata yang terucap di antara kita, aku merasa kita seperti sedang saling menjaga. 

Kania, 

"Aku selalu suka pada romansa yang melibatkan Tuhan. Aku suka ada Tuhan di antara kita. Bagiku, tampaknya Tuhan paling tahu bagaimana menyampaikan rindu pada hati kita, Tuhan paling paham bagaimana kita saling menyayang, Tuhan sangat mafhum betapa kita tak ingin saling terpisah, Tuhan paling bisa menghangatkan hati kita meski tanpa sapa saat kita berjarak. Aku yakin, ulah Tuhan juga yang menjaga perasaan kita untuk tetap saling mendoakan dan bersabar dalam kesulitan, kebahagiaan, atau dalam masa apa pun yang berada di antaranya. Nanti, meski mungkin pada akhirnya kita tidak bisa bersama, Tuhan telah bersama kita untuk saling membesarkan hati, Tuhan ingin kita menjaga romansa lainnya. Berbahagialah, Tuhan telah membuat kita merasa pernah saling memiliki dan saling mendoakan"

Mengenalmu, aku belajar untuk menakar setiap tindakanku, aku belajar untuk mengukur setiap ucapanku. Aku seperti menjadi orang baru, orang yang lebih baik. Semoga aku juga begitu bagimu. Jika memang kita sama-sama menyimpan rasa yang sama, maka semoga kamu berbesar hati untuk mengerti kerumitan yang ku alami. Bukan tidak ingin menyempurnakan perasaanku dengan memilikimu, yang lebih mungkin bagi kita sepertinya adalah berbagi sudut pandang tentang kisah kita untuk orang lain. Kini, harus kucurahkan semuanya pada dia yang kelak menjadi istriku, semua rasa yang dewasa yang kudapat dari mengasihimu. Pada saat yang sama, aku pun harus menyimpan semua rasa tentangmu dalam hidupku. Suatu hari, jika hari-hari adalah nafas yang pendek, semoga nasib akan sedikit berbaik hati mempertemukan kita lagi. Lalu kita akan saling menyapa seolah pada masa lalu tidak pernah ada apa-apa.

Tanpa terasa, Kania meneteskan air mata membaca ini semua. Antara sedih dan bahagia; sedih karena Jaka sudah tak mungkin lagi mengusahakan dirinya, sedih karena Jaka kini membaktikan hidupnya untuk wanita lain, bahagia karena ternyata Kania sedemikian berartinya dalam hidup Jaka, dulu setidaknya. Ternyata selama ini dia tidak pernah sendiri, Jaka juga merasakan semua perasaan yang dia rasakan untuk Jaka. Ingin rasanya Jaka menyeka air mata Kania, namun dia urungkan.

"Eeh, si akang mah malah janten nangis kitu rencangana. Iyeu teh nganggo tisu"

Tiba-tiba saja tanpa mereka sadari, pelayan sudah di depan mereka membawakan pesanan makanan dan minuman. Jaka memang cukup akrab dengan para pelayan di sana sehingga pelayan itu langsung menebak bahwa ini adalah teman Jaka, mungkin teman lama yang sudah lama tidak berjumpa. Pelayan ini juga tahu Dyah, istri Jaka yang sering dibawanya makan di tempat ini.

"Ah, si Aa mah ngaruewaskeun wae, jadi we nangis, tuh" Jawab Jaka mencoba menetralisir suasana. Kania tersenyum setengah dipaksa karena sekaligus sibuk menyeka air matanya. "Iyeu teh salah sawios orang paling berharga di hidup saya, a. Lima tahun teu pendak" lanjut Jaka.

"salah satu orang paling berharga" gumam Kania. Sekhusus itu kah dirinya? Bertanya-tanya. Namun Kania tahu pemilihan kata "orang berharga" untuk merujuk pada orang-orang yang membentuk dirinya menjadi seperti sekarang. Dan di masa lalu, Kania adalah orang itu, sebagaimana dia tuliskan di laptopnya. Kania tersenyum. Pelayan mengangguk disertai senyum lalu pergi meninggalkan mereka.

"Semua sudah jelas sekarang, Jaka. Terima kasih sudah memberi penghargaan setinggi itu dalam hatimu. Terharu meski sedih. Beruntung sekali Dyah bersuamikan kamu" Kania memberikan komentar setelah membaca tulisan Jaka.

"Aku juga beruntung bisa kenal kamu, Kania. Kamu memberikan banyak sudut pandang dan inspirasi meski tak pernah mengatakannya. Sejak itu, ayah kamu punya dua istri, aku jadi tahu dari mana ketangguhan jiwa yang kamu bawa dan perlihatkan dalam keseharian kamu" Jaka menimpali komentar Kania. "Aku bukan bermaksud menyembunyikan semua ini dari kamu, tapi tak pernah punya cukup nyali untuk memberitahu kamu selain sudah tak bisa lagi menghubungi nomor kamu. Kamu tahu dari mana akhirnya semua ini" lanjut Jaka.

"Sejak pindah ke Jakarta aku mengganti nomor, Jaka. Meninggalkan semua beban kenangan agar aku bisa fokus bekerja. Kecewa karena pertemuan terakhir kita waktu itu tanpa kata-kata. Tapi ternyata banyak hal yang aku tak tahu meski kini kumengerti. Secara tak sengaja aku melihat foto yang tampaknya aku kenal di Instagram, aku buka dan ternyata itu adalah foto pernikahan kamu dengan Dyah, ada ayahku di sana dengan istrinya, dan dua orang lainnya di foto itu adalah orang tuamu yang tak pernah ku temui selain di acara Wisuda kita. Tertulis di bawah foto itu, third wedding anniversary, thankyou for being the best husband ever. Cukup menyedihkan dampak foto dan tulisan itu buat aku, serasa jadi orang paling sedih sedunia, seolah semua sudah berakhir" Cerita Kania berpanjang lebar dengan jelas menampakkan raut kesedihan mendalam meski coba ditahannya.

"Aku minta maaf untuk semua hal yang tak pernah bisa kuusahakan, Kania. Aku kehabisan kata" Jawab Jaka pendek dan terbawa suasana. Kania yang tidak punya rencana lain selain Jaka kini menjadi sangat bingung.

"Kalo kamu punya istri dua gimana, Jaka" tanya Kania tiba-tiba. Pertanyaan ini semata-mata hanya ingin mencari tahu alasan kenapa ayahnya bisa seperti itu. Iya dia tahu bahwa dalam Islam diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu dan dibatasi hingga empat. Sebuah ketetapan yang hanya bisa diikuti oleh ketaatan, bukan perasaan. Karena ketaatan tertinggi adalah ketaatan pada aturan. Dia tidak menentang aturan ini, tapi dia hanya tidak mau dihadapkan pada kondisi di mana aturan ini harus diikutinya, dia tidak mau berdosa menentangnya namun belum memiliki kuasa untuk menerimanya. Kalau aturan harus mengikuti perasaan, tidak perlu ada hukuman bagi pencuri yang kelaparan. Mendengar pertanyaan ini, Jaka terkesiap. Tidak tahu harus berkata apa. "Bukankah dalam Islam, menikahi dua perempuan dengan niat ibadah bisa meninggikan derajat wanita tersebut juga, Jaka. Apa kamu ga pengen?" Kania melanjutkan pertanyaannya. Jaka menatap agak jauh ke arah lalu lalang kendaraan sambil minum bandrek susu pesanannya lalu kembali menatap Kania.

"Maaf sebelumnya jika kata-kataku nanti ada yang menyinggung idealismemu, tidak tertata dengan baik, tidak sesuai dengan harapanmu. Ini bukan masalah pengen atau tidak, Kania. Ini tentang tanggung jawab. Tanggung jawab pada ibu dan keluargaku, pada istriku, pada keluarga istriku, pada anak-anakku, terutamanya pada Allah. Sesungguhnya pernikahan itu harus bisa membawa kedamaian bagi pihak-pihak terkait. Aku tidak merasa yakin bisa mengambil tanggung jawab itu, bagaimana aku meyakinkan semuanya bahwa aku bisa membuat kedamaian dengan pilihan yang aku ambil, bagaimana anak-anaku akan paham dengan kondisi tersebut nanti sedangkan pada saat yang sama aku belum tentu berhasil membuat mereka mengenal Tuhannya, sekarang mereka harus terlibat dalam dinamika yang rumit ini. Ini tanggung jawab yang teramat besar, Kania. Tanggung jawab besar akan membuat hisabku semakin besar nanti jika tidak bisa memenuhinya".

Kania terdiam, merasa makin bangga dengan jawaban yang diberikan Jaka. "kamu sudah sedemikian matang menjadi seorang pria, Jaka. Sungguh beruntung kamu, Dyah" gumamnya dalam hati. "lalu misalnya saja, jika kedua istri rela berbagi tanggung jawab untuk meringankan bebanmu, gimana?" Tanya Kania kemudian menelisik lebih jauh.

"Tak ada yang benar-benar bisa legawa pada rasa yang dibagi dalam segitiga. Sementara pada setiap titiknya ada orang-orang lain di belakangnya. Lantas, bagaimana kedamaian akan benar-benar tercipta. Ini tanggung jawab yang besar bagi semua yang terlibat di dalamnya dan lebih besar bagi suami yang menjalankannya". Jawab Jaka pasti.

"Terima kasih, Jaka. Kamu memang selalu membanggakan" Jawab Kania penuh sukacita dan sekilas hilang sudah sedihnya.

Sabar itu berserah dengan doa dalam semua usaha, syukur itu menikmati bagian hidup kita dan menebar kebaikan atasnya, ikhlas itu melepas dengan doa lantas berbahagia.

Filosofi hidup baru yang kini dimiliki, Kania, seketika. Jaka tak kalah gembira dengan perubahan suasana hati Kania, seolah Kania adalah orang baru dengan keyakinan yang makin bertambah. Sisa hari mereka berakhir dengan bahagia. Nostalgia semasa kuliah adalah romansa yang akan terkenang selamanya. Kania berbagi semua cerita dan rencananya tentang pindah ke Bandung di masa mendatang. Bertukar nomor dan saling mengikuti di media sosial. Mereka berdamai dengan hidupnya masing-masing meski kenangan mereka akan bertahan selamanya di kepala masing-masing.

"Besok aku balik ke Jakarta, Jaka. Istrimu tahu kalo ayahnya adalah ayahku juga?" Tanya Kania.

"Insha Allah kamu makin sukses, Kania. Hmm...ini yang mengganggu. Dia tak pernah tahu. Ayahnya yang ayahmu juga tidak ingin dia tahu dinamika ini. Dia selalu berdalih bahwa pada setiap hari kerja, dia harus bekerja di luar kota karena terikat kontrak kerja jangka panjang. Dan itu semua baik-baik saja baginya toh ayahnya selalu bisa pulang di akhir pekan" jawab Jaka berpanjang lebar.

"kontrak kerja jangka panjang" jawab Kania ketus dengan senyum sinis". Sore itu berakhir tak sesuai rencana bagi Kania, tapi dia bahagia telah bertemu Jaka dan melihatnya sebagai orang yang sama dan lebih baik meski hidup mungkin tak begitu baik baginya nanti. Menjelang malam mereka pulang dan Jaka mengantarkan Kania pulang ke rumahnya. "Ini akhir pekan, ayahnya tak akan ada di rumahnya karena sedang ada di rumah istriku" gumam Jaka yang tahu sedari kemarin sore ayah mertuanya menginap di rumahnya. "Bertemu Kania juga tidak selalu setiap saat dan tidak etis rasanya membiarkan dia pulang sendirian" gumamnya lagi.

 *****

Hari minggu ini tak seperti biasanya. Ayah Dyah harus "berangkat kerja" lebih awal karena ditunggu rekan kerjanya karena urusan mendadak. Tak ada keanehan, semua berjalan seperti biasanya. Kecuali bagi Jaka, dia tahu bahwa ayahnya sebenarnya berjanji untuk mengantarkan Kania ke stasiun di sore harinya.

Selama di perjalanan ke stasiun, Kania tidak banyak bercerita kepada ayahnya tentang pertemuannya dengan Jaka karena dia tahu ayahnya tidak akan menceritakan kedatangan Kania pada Jaka. Memecah kesunyian, Kania bertanya:

"Pa, upami neng janten istri kadua kumaha? Pertanyaan yang mengagetkan karena selain tiba-tiba namun juga susah jawabannya; menjadi istri kedua. Susah karena bagi ayahnya jika berkata tidak maka seperti sedang menyalahkan kelakuannya sendiri, namun jika iya, dia juga tak mau anaknya jadi istri kedua. Dilematik. 

"ulah atuh neng. Sing nyaah ka nyalira. Naha teu aya nu sanes kitu. Pan neng teh seueur koneksina" Jawab ayahnya mencoba bijak dengan kondisi yang ada, bahwa dengan koneksinya yang luas dia pasti bisa mendapat lelaki pilihannya. Pada saat yang sama, ayahnya mencoba menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.

"Ari bapa geuningan ka mamah tiasa midua. Mamah mah teu aya pilihan deui da tos milih bapa. Tapi bapa naha tega milih nu sanes deui" Tanya Kania dengan nada datar yang mempertanyakan motivasi ayahnya yang menikah lagi. "Ibadah, pa?" Ayahnya makin terbenam dalam diam tanpa kata-kata hingga akhirnya sampai di stasiun. Kania segera turun dan mengambil kopernya di bagasi belakang dan meminta ayahnya tak usah menemaninya. Masih tertahan di balik kemudinya, Kania menghampiri ayahnya, mencium tangannya.

'Abot pa tanggung jawabna. Kedah emut kana hisabna" Ucap Kania pelan kepada ayahnya sambil berlalu menunggu kereta. Ayahnya hanya termenung di sepanjang jalan pulangnya. Entah apa yang bisa dipikirkannya sekarang.

Kania duduk di salah satu sudut stasiun menunggu pintu boarding pass dibuka. Dia tak sadar, dari kejauhan Jaka memperhatikannya. Ketika Kania masuk ke boarding pass dia melihat ke sekeliling. Dalam lamunannya yang sekejap itu dia merasa berat meninggalkan kota kelahirannya ini. Matanya terus menelisik setiap sudut stasiun dan akhirnya mendapati Jaka yang sedang melambaikan tangan padanya, tersenyum. Kania tersenyum sambil mengangguk, menghela napas, dan berbalik. Berlalu menuju kereta yang telah menunggunya.

Jaka hanya ingin melihat Kania saja, seperti lima tahun yang lalu, meski tanpa kata namun kini dengan senyum bahagia bagi keduanya. Kereta pun melaju membawa Kania kembali ke Jakarta.

Setelah hari ini, kebersamaan kita akan menjadi kenangan. Setelah hari ini, kita akan terpisah namun tetap saling mengingatkan. Setelah hari ini, rindu akan lebih sulit untuk disempurnakan, setelah hari ini, jarak akan menguji persahabatan dan waktu akan menjadikannya kenangan. Seperti yang sering kamu katakan, dalam kebersamaan, satu kesedihan akan terhapus kesedihan lainnya, satu kebahagiaan akan terhapus kebahagiaan lainnya, namun kenangan bertahan selamanya. Setelah hari ini kita akan saling berjauhan dan mewujudkan rindu dalam doa dan kebaikan, berharap pada waktu yang terus berjalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun