SATU
Semoga saja, kita tidak menjadi dua orang yang saling mengasihi sepenuh hati namun harus saling menjaga dalam keterpisahan
Â
Kadang, ketika seseorang memutuskan untuk pergi, bisa saja mereka tak pernah benar-benar ingin pergi, tapi karena tidak diinginkan lagi, atau tidak bisa bersama karena ada nilai lain yang harus dijaga.Â
"Hari ini akhirnya datang juga"
Bisiknya pelan sebelum merebahkan diri, menarik nafas dalam, dan menghirup rasa yang menyesakkan dada. Kadang, dalam hidup, bahagia itu tak mesti memiliki semua mimpi, namun bisa jadi bahagia itu adalah tetap bisa memimpikannya sambil sesekali tersenyum lalu berdoa untuk mimpi itu. Bahkan bahagia juga adalah ketika hidup baik-baik saja.Â
Nyatanya, bahagia bagi setiap orang berbeda tergantung dari sudut pandangnya. Meski hidup itu beroposisi biner dengan mati, tapi menjalani kehidupan itu tidak selamanya ada dalam oposisi biner--bahwa buat beberapa orang---ada pilihan di antaranya.Â
Seperti memilih senja di antara malam dan siang, atau memilih abu-abu di antara hitam dan putih. Dengan begitu, kita jadi tahu bahwa, mungkin, cara paling baik menjalani kehidupan adalah dengan selalu belajar darinya, tanpa henti.Â
Seperti pelajaran hidup pagi ini, dia ingat ketika dia harus melihatnya terpaksa pergi. Orang yang semasa kuliahnya menjadi teman dan sahabat sejati dalam hal akademik atau pun perihal dinamika kehidupan.Â
Dengan kedekatan ini bahkan orang-orang menganggapnya sebagai pasangan sempurna, sama-sama pintar, rupawan, dan saling menjaga. Hari ini rasanya seperti akan meminjam kesedihan semua orang dalam satu hari.Â
Baginya, mencintainya adalah perkara yang mudah, namun memilikinya adalah perkara lainnya. Ini bukan tentang merelakan, ini tentang kebesaran hati.
Dingin mulai menyergap ketika tak terasa dia menatap kereta yang membawanya pergi sore itu yang dengan segera berganti malam. Kelam seperti bayangannya akan hari-hari yang kini mungkin tanpa dia lagi.
"Aku tak pernah pergi, tapi aku cukup tahu kapan harus berhenti" Ucapnya pelan.
Pikirannya melayang jauh bersama kereta yang membawa wanita yang tadinya dibidiknya untuk menjadi calon istrinya, meski ia tak pernah tahu apakah dia merasakan yang sama. Cinta yang renta karena tidak pernah menjadi kata-kata.Â
Di dalam kereta, Kania hanya bisa menerka-nerka apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Jaka. Bukan tidak ingin menoleh dan menatap kembali ke arah Jaka yang berdiri memandang jendela kereta berharap ada mata yang saling bersitatap. Tapi, dia tidak mengerti kenapa dia tidak berusaha menahan kepergiannya, bahkan malah seperti secara sukarela mengantarnya.Â
Datar, seperti tak ada emosi yang ditampakkannya. Sambil menyelipkan kertas yang dilipat kecil ke dalam dompetnya, Dia bertekad untuk tak pernah menganggap Jaka ada di hidupnya. Sesak jika harus memikirkannya.
Sementara itu, bagi Jaka, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk meminta Kania tinggal, dia harus mendapatkan kebahagiaannya, menjadi seorang Juru Bahasa di Ibu Kota. Lebih banyak kesempatan untuknya di sana.Â
Di balik paripurnanya cinta Jaka pada Kania seperti pertemuan Adam dan Hawa, di lubuk hati dia sedikit lega tak harus mengucap selamat tinggal nanti jika dia tak lagi bisa bersamanya, bahkan untuk sekedar menyapa, mungkin menghilang dari hidupnya.Â
Ini lah yang membuat Jaka merasa tak harus memperlihatkan emosinya pada Kania, pikirannya sudah cukup rumit memikirkan kondisi ideal bagi orang-orang di sekelilingnya dengan keinginannya masing-masing.
Padahal, selama ini mereka telah berselisih paham dalam diam, mereka saling menduga dalam samar mata, menduga dengan tidak pekanya telinga, dan menduga oleh tipisnya rasa, yang akhirnya menjadikan semua prasangka mereka menjadi bencana bagi keduanya.Â
Hanya karena Jaka tidak memperlakukan Kania seperti yang diinginkannya, itu tidak berarti Jaka tidak mengasihinya sepenuh hati. Hanya karena Kania tidak memperlihatkan kerapuhannya, bukan berarti dia tidak butuh perhatian dari Jaka. Namun, bagi Jaka ada nilai yang harus dipertahankannya, yang belum bisa dia ceritakan pada Kania.
Kelak, perpisahan ini akan menjadi hari-hari yang sulit bagi keduanya. Mereka akan terjebak dalam lintasan acak sembari berharap takdir berbaik hati mempertemukan mereka dalam jalurnya, meski tetap mereka-reka seperti apa pertemuan sempurna dalam benak mereka. Â Â
Pertemuan kita bukanlah kebetulan, ini takdir
Ketidakberuntungan ini bukan kutukan, ini nasib,Â
Inilah yang kita jalani; waktulah yang membuat kita terlupa akan masa,Â
Waktulah yang merajut kebahagiaan dan kesedihan pada saat yang sama,Â
Waktu juga yang menghentikan kenangan dan kisah tentang kita, ...Â
Kesedihan di masa lalu akan terhapus oleh kesedihan hari ini,Â
Kebahagiaan hari ini akan terhapus kebahagiaan di masa mendatang,Â
Namun kenangan akan bertahan selamanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H