Cagakurip.com - Kemarin atau tepatnya 22 Maret 2016, kita menjadi saksi betapa masyarakat dari kalangan menengah ke bawah harus berkonfrontasi dengan saudaranya sendiri demi mempertahankan apa yang sudah menjadi mata pencaharian mereka selama ini. Perseteruan antara moda transportasi umum konvensional dengan moda transportasi umum berbasis aplikasi akhirnya mencapai klimaksnya.
[caption caption="Perseteruan antara Blue Bird dan Gojek"][/caption]
Sebelumnya, pada tanggal 14 Maret 2016, para pengemudi angkutan umum konvensional sudah menggelar demo meminta angkutan umum berbasis aplikasi supaya ditutup, dan perusahaan penyedia jasa aplikasi tersebut harus angkat kaki dari Indonesia. Mereka berpendapat bahwa sejak kemunculan angkutan umum berbasis aplikasi ini, menurunkan omset / pendapatan mereka. Karena pengguna kini lebih memilih angkutan umum yang berbasis aplikasi tersebut, sebut saja, GoJek, Uber, dan Grab.
Saya pun bukan tanpa alasan menulis judul di atas. Mengapa? Karena itulah aktor utama dalam kisah kesemrawutan masalah pengaturan transportasi umum di negeri kita ini. Merekalah yang saat ini menjadi sorotan dan terlibat dalam persengketaan.
Bibit-bibit perseteruan itu memang sudah mulai tumbuh sejak kemunculan Gojek. Betapa para pengemudi Gojek sering mengalami intimidasi dan tidak jarang penganiayaan dari para pengemudi ojek konvensional. Masalah pun kian meruncing ketika muncul aplikasi Uber dan Grab. Karena yang terusik bukan hanya ojek, melainkan angkutan umum roda 4 termasuk Taxi, Mikrolet, Angkot, Bajaj, dsb.
Isu yang selalu diangkat adalah bahwa sejak kemunculan angkutan berbasis aplikasi ini menurunkan omset mereka. Pendapatan mereka berkurang sementara banyak perut yang harus diisi di rumah. Oke, tapi apakah para pengemudi Gojek, Uber, dan Grab juga tidak memiliki keluarga yang harus diberi makan? Apakah hanya pengemudi angkutan umum konvensional saja yang keluarganya harus diberi makan?
Terlepas dari permasalahan di atas, izinkan saya sekedar berbagi pengalaman selama hampir 3 tahun hidup di negeri tetangga, Singapura. Di sini, kami biasa menggunakan aplikasi Grab untuk mencari taxi. Selain lebih cepat, kita juga tidak harus berjalan ke pinggir jalan untuk mencegat taxi yang lewat. Melalui aplikasi tersebut kita dapat mengetahui taxi mana saja yang posisinya paling dekat dengan lokasi kita. Kita pun dapat memilih jenis taxi yang diinginkan, apakah reguler, premium, atau maxi-cab.
Dari yang saya amati, hampir semua pengemudi taxi di Singapura terdaftar di dalam aplikasi Grab ini, dan semuanya sudah familiar dengan penggunaan Smartphone. Maka ketika muncul aplikasi Grab ini juga tidak ada gejolak, justru mereka melihat ini sebagai sebuah tools yang mampu membantu dalam pekerjaan mereka.
Oh ya, selain Grab, di sini juga terdapat aplikasi Uber. Namun sekali lagi, tidak ada protes ataupun keributan dari para penyedia jasa transportasi di sini. Semuanya berjalan lancar, seolah masing-masing sudah punya pangsa pasar tersendiri.
Ketika saya mengamati apa yang terjadi di tanah air, ada beberapa hal yang menjadi catatan:
- Kebanyakan dari pengemudi transportasi umum kita masih memandang keberadaan Aplikasi ini sebagai MUSUH bersama, dan bukannya sebagai sebuah TOOLS yang dapat mempermudah pekerjaan mereka.
- Masih terkait dengan poin ke-1, kecakapan para pengemudi kita terhadap aplikasi di Smartphone masih dipertanyakan. Sehingga, bisa saja protes yang disampaikan itu sebagai sebuah bentuk kompensasi atas kekurangpahaman mereka terhadap aplikasi tersebut. Dengan kata lain, "Mana gua ngarti aplikasi begituan, yang penting gara-gara itu pendapatan gua sekarang jadi turun drastis"
- Masyarakat kita lebih cepat melek teknologi ketimbang para penyedia jasa transportasi umum konvensional. Sehingga terjadi ketimpangan antara demand and supply. Seharusnya hal ini menjadi perhatian bagi para penyedia jasa, sehingga paling tidak bisa melakukan upgrade terhadap para karyawannya. Bukannya malah melakukan tindakan anarkis.
- Pada level akar rumput, para pengemudi konvensional ini memandang para pengemudi yang tergabung dalam Gojek, Grab, ataupun Uber sebagai musuh bahkan tidak jarang berujung penganiayaan dan anarkisme. Padahal seharusnya hal itu jangan sampai terjadi, karena toh mereka sama-sama mencari makan untuk keluarganya.
- Para pemangku kebijakan seharusnya lebih tanggap terhadap permasalahan yang terjadi, memetakan masalah, dan segera mencari solusi agar tidak semakin berlarut-larut. Jika memang belum ada aturannya, maka segeralah dibuat. Jika aturan yang ada sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan yang ada, segeralah lakukan perubahan. Sehingga semuanya jelas dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan, tinggal bagaimana kita menghadapinya. Apakah akan diam di tempat tanpa mau meng-upgrade diri atau berjalan bahkan berlari mengimbangi perkembangan yang ada. Tapi ingatlah, bahwa ada yang namanya seleksi alam. Siapa yang tidak mampu menyesuaikan diri maka dia akan lenyap tergilas oleh zaman. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, kita memang akan selalu dituntut untuk terus belajar terhadap perkembangan teknologi.