[caption caption="http://sinarharapan.co/sh_img/15/06/26/m/150626087sadap.jpg"][/caption]Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap Koruptor merupakan salah satu upaya jitu yang membuat koruptor tak lagi bisa berkelit dari hukum. Maklum saja, para koruptor itu bukan orang sembarangan, mereka adalah orang-orang pintar dan banyak uang. Kalau KPK hanya sekedar punya bukti dan saksi, hal ini belum cukup untuk menjerat Koruptor kakap. Dengan kekuasaan, uang dan kepintarannya mereka masih bisa berkelit dan lolos.
Di masa lalu, banyak kejadian Operasi Tangkap Tangan KPK yang berhasil membuat koruptor kakap tak berkutik, contoh kasus suap OC Kaligis, Ketua MK Akil Mochtar, Gubernur Riau, dan lain-lain.
Untuk memudahkan kerja oerasi tangkap tangan adalah dengan cara penyadapan pembicaraan si Koruptor. Tentu saja penyadapan ini dilakukan sembunyi-sembunyi dan tanpa perantara. KPK dengan tekniknya tersendiri langsung mengadakan penyadapan.
Kini 'aturan' telah berubah. KPK tak lagi bisa leluasa melakukan penyadapan karena 'harus seijin' (koordinasi) dengan kepolisian dan kejaksaan. Kalau demikian bisa saja penyadapan 'bocor' atau 'dihambat' pihak kepolisian atau kejaksaan karena 'terlalu banyak' pihak yang ikut campur. Disisi lain, kepercayaan publik pada Kepolisian dan Kejaksaan selama ini tidak begitu baik. Diduga kedua institusi itu menjadi tempat bersarang dan berlindungnya para koruptor.
[caption caption="https://assets.kompas.com/data/photo/2015/06/19/1602361011-fot0129780x390.JPG"]
Lembaga KPK sendiri kini dipimpin oleh orang-orang yang 'diragukan' kredibilitasnya. Rekam jejak kinerja dan 'harta kekayaan' mereka masih menjadi pertanyaan publik atau diragukan. Visi para pimpinan baru ini tidak lagi pada upaya 'pemberantasan' melainkan 'pencegahan'.
Secara awam, pengertian Pemberantasan dan Pencegahan merupakan dua hal yang berbeda. Pemberantasan lebih mengarah pada tindakan langsung kepada para koruptor misalnya menangkap, menyidik dan memenjarakannya. Sementara Pencegahan lebih mengarah pada membangun kesadaran 'untuk tidak melakukan korupsi' dan membuat suatu sistem agar peluang korupsi nihil.
Kalau melihat sistem yang ada di negeri ini yang 'penuh aturan dan birokratis' sebenarnya sudah lama telah diterapkan upaya pencegahan. Namun kenyataannya Korupsi tetap saja marak.
Di negeri ini, sistem aturan dan birokrasi tidak sudah tidak mempan mencegah korupsi. Sementara praktek korupsi di waktu sebelum KP' berdiri sangat masif. Hampir tidak ada koruptor kakap yang ada di pemerintahan bisa tertangkap dan dipenjarakan. Mereka aman karena pandai memainkan, mensiasati aturan dan merangkul institusi hukum.
[caption caption="http://images.cnnindonesia.com/visual/2015/06/13/ab424248-88d1-4d96-a005-6775898f68f6_169.jpg?w=650"]
Namun setelah KPK berdiri dengan 'core' Pemberantasan Korupsi, banyak Koruptor kakap yang tertangkap dan dipenjarakan. Mereka bahkan adalah orang-orang yang dikenal publik sebagai 'pendekar' hukum di negeri ini. Kalau saja KPk tidak ada, mereka ini akan aman-aman saja berpraktek korupsi seumur hidup dan sampai ajalnya tiba !
Disinilah bedanya, ada dan tidaknya KPK selaku Pemberantas korupsi.
Tahun 2016 adalah awal kerja KPK versi baru. Sebagaian publik beranggapan mereka lebih pro koruptor. Dan para koruptor merasa 'lebih aman' dengan KPK versi baru ini.
Kalau memang demikian, tahun 2016 publik jangan pernah berharap lagi akan ada 'breaking news' di media televisi yang memuat 'sekelompok koruptor tertangkap tangan'. Itu hanya sebuah mimpi di siang bolong. Itu pun kalau masih bisa bermimpi. Maklum saja, hiruk pikuk politik dan korupsi di negeri ini seringkali tidak bisa membuat publik sempat tidur siang dengan nyenyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H