Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok, organisasi, komunitas dan negara.Permulaan sengketa biasanya dari suatu situasi adanya conflic tof interest yang berasal dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.
Pada umumnya perkara perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan) dan jalur kekeluargaan (perdamaian). Yang sekiranya suatu perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut maka ada jalur penyelesaian perkara lain yang secara syar'i yang disebut dengan tahkim. Jalur tahkim ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa- sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit persoalan tersebut.
Dalam sistem hukum islam khususnya fikih bahwa tahkim (arbitrase secara islam) tidak dibahas secara khusus, walaupun tahkim merupakan bagian dari peradilan (al-qadha). Masalah tahkim ini dalam fikih dibahas secara umum dalam perkara syiqaq (perselisihan) antar suami-istri.
Tahkim berasal dari bahasa Arab artinya menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan itu. Menurut istilah, tahkim ialah dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum. Syara' atas sengketa mereka itu Kamus bahasa Indonesia mengartikannya: perihal menjadikan hakim; mempergunakan hakim (dalam persengketaan). Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih.
Menurut kamus Al-munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka selisihkan secara damai.
Hasbi Ash Shiddieqy mendefenisikan: menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan.
Sehingga dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa tahkim adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum Syara' atas sengketa mereka itu.
Dasar hukum di dalam syari'at Islam, dasar hukum yang membenarkan lembaga tahkim ialah firman Allah dalam Q.S. al-Nisa (4): 35;
Artinya "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Diriwayatkan oleh An-Nasa'i bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah saw. bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara. Lalu mereka datang kepadanya, dan dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu, Nabi saw. bersabda: Alangkah baiknya. Demikian pula riwayat menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menerima putusan sa'ad bin Mu'az terhadap Bani Quraidah tatkala orang-orang Yahudi sepakat dan rela menerima tahkim dari Sa'ad kepada mereka.