Mohon tunggu...
Tatag Utomo
Tatag Utomo Mohon Tunggu... Direktur Pendidikan KPPSM F.X. Oerip S. Poerwopoespito -

Direktur Pendidikan KPPSM F.X. Oerip S. Poerwopoespito. Institusi khusus Pengembangan Sikap Mental, Perilaku dan Karakter Manusia di Perusahaan, organisasi dan keluarga...

Selanjutnya

Tutup

Money

Belajar dari Krisis Yunani

14 Agustus 2015   19:25 Diperbarui: 14 Agustus 2015   19:36 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

      Selamat siang ladies and gentlemen…liburan Lebaran kali ini bisa menjadi liburan yang cukup merisaukan. Mengapa? Karena tingkat laju ekonomi yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, terus merosotnya harga komoditas ekspor dan daya saing industri manufaktur, melemahnya nilai tukar rupiah, membengkaknya hutang luar negeri sektor swasta, serta kondisi industri perbankan yang semakin lemah menggambarkan kurang baiknya kondisi ekonomi Indonesia.
      Ditambah lagi dengan krisis atau bangkrutnya Yunani sebagai Negara. Nah, untuk belajar agar tidak menjadi seperti mereka, mari kita mempelajari sebab-sebabnya. Artikel diambil dari berbagai sumber seperti tulisan Anwar Nasution, Denni P Purbasari, saya sendiri dan berbagai tulisan pakar lainnya…

Dari hutang ke retorika kedaulatan

     Pada akhirnya, setiap negara harus membayar mahal kesalahan strategi ekonomi yang dibuatnya, sama seperti Indonesia yang harus menandatangani letter of intent dengan IMF dulu. Di mana pun, tak ada kreditor mau meminjamkan uang tanpa syarat—apalagi jika debitornya terbukti salah urus ekonomi. Sebab, kreditor bukanlah mesiah. Ketika pintu lain tertutup, mereka mau ”menolong” jika yakin uangnya kembali.
Krisis Yunani adalah awal krisis Eropa tahun 2009. Hutang Yunani saat itu mencapai 120 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu dan defisit fiskalnya mencapai 13 persen terhadap PDB. Takut hutang tidak dibayar, pasar pun menarik dana-dana mereka keluar dari Yunani. Terjadilah krisis. Oya, kalau tidak salah, amannya ratio pinjaman/PDB adalah maksimum 60 % saja.
     Karena Yunani bagian dari zona euro, Troika pun memberikan suntikan dana talangan (bail out) setelah George Papandreu, Perdana Menteri Yunani pada saat itu, setuju melakukan penghematan fiskal, restrukturisasi hutang, dan reformasi struktural yang menjadi syarat pengucuran dana talangan. Masalahnya, menghemat fiskal ketika perekonomian sedang krisis, selain berat bagi rakyat, juga tak populer bagi politisi. Apalagi, apabila penghematan fiskal ini terkesan dipaksakan oleh institusi asing. Dan sebetulnya, Yunani bukanlah satu-satunya negara di Eropa yang terjerembap ke dalam krisis. Namun, Yunani paling lambat pulih dibandingkan dengan Italia, Irlandia, Portugal, dan Spanyol.
     Apa gerangan penyebabnya? Penyebabnya adalah sikap setengah hati Pemerintah (politisi) Yunani dalam melakukan agenda reformasi! Setelah diberi hutang, oleh Yunani, kemudian sering direnegosiasikan atau bahkan direferendumkan. Padahal, menunda reformasi tidak baik untuk mempercepat deleveraging dan pemulihan ekonomi. Akibatnya, meski perbaikan ekonomi terjadi, resesi masih menyelimuti perekonomian Yunani setelah lima tahun dilakukan bail out. Kesabaran masyarakat pun menipis.
Pada saat perekonomian sedang sulit itulah, Tsipras mengusung agenda anti penghematan fiskal dalam pemilu. Ia menyorongkan pemotongan pajak, rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), dan kenaikan pensiun. Tentu saja agenda ini sangat populer—meski too good to be true. Bagi rakyat Yunani, Tsipras ibaratnya menjanjikan air setelah kemarau panjang.
     Selain itu, sikap anti penghematan fiskal yang diambil Tsipras pun ditangkap orang Yunani sebagai simbol dari perlawanan Yunani dari cengkeraman Troika (Komisi Eropa, bank sentral Eropa/ECB dan IMF). Yunani berdaulat, begitulah kira-kira retorikanya. Sangat heroik. Tsipras pun terpilih sebagai perdana menteri. Ia menjadi pemimpin Eropa pertama yang anti penghematan fiskal. Namun, seperti biasa, janji adalah satu hal, sedangkan merealisasikannya adalah persoalan lain.
Tsipras yang dulunya adalah seorang outsider, kini menjadi seorang insider di pemerintahan. Budget pemerintah yang dulunya hanyalah sebuah hitung-hitungan di atas kertas, kini berubah menjadi persoalan nyata tentang ada tidaknya uang tunai di kocek pemerintah untuk membayar gaji PNS, pensiunan, tagihan rumah sakit, hingga hutang yang telah jatuh tempo.
     Demi memenuhi janji kampanyenya, Tsipras bersikeras tidak mau melakukan penghematan fiskal. Dan, setelah Yunani gagal melunasi hutang kepada IMF senilai €1,6 miliar euro karena tidak mendapatkan bail out lanjutan dari Troika, dengan cerdik diadakanlah referendum. Rakyat Yunani diminta memilih, apakah mau mengikuti syarat hutang Troika atau tidak. Tentu saja, rakyat yang sederhana pemikirannya memilih menjawab ”tidak”. Sebab, bagi mereka, kata ”tidak” berarti kedaulatan; bahwa Yunani mau menentukan nasibnya sendiri, bukan didikte oleh Troika.

Referendum dan legitimasi politik

     Hasil referendum ini pun memperkokoh legitimasi pilihan ekonomi Tsipras. Perbedaannya, jika dulu sikap anti penghematan fiskal adalah pilihan Tsipras seorang, pasca referendum menjadi pilihan rakyat. Secara implisit ini berarti, rakyat Yunani bertanggung jawab juga atas konsekuensinya—bukan hanya Tsipras.
Masalahnya, ekonomi terlalu rumit bagi rakyat biasa. Rakyat Yunani barangkali tidak tahu bahwa setelah ini, akan sulit bagi Pemerintah Yunani untuk mencari hutang. Imbal surat hutang Pemerintah Yunani kini sebesar 18 persen—jauh di atas sebelum Tsipras berkuasa. Setelah gagal bayar hutang kepada IMF, Yunani barangkali juga akan gagal bayar hutang kepada ECB sebesar 7 miliar Euro yang jatuh tempo pada 20 Juli 2015, dan 5 milliar Euro pada pertengahan Agustus 2015. Ini krisis tahap pertama.
     Pada tahap kedua, keengganan Yunani untuk melakukan pengetatan fiskal memperbesar kemungkinan Yunani akan keluar atau dikeluarkan dari zona mata uang euro (Grexit). Jika ini terjadi, Yunani akan memiliki mata uang sendiri yang nilainya rendah (siapa yang mau memegang mata uang negara yang sakit?) Orang-orang pun akan berburu euro. Mereka akan mendatangi bank, menarik uang mereka (bank rush). Investor juga akan menjual obligasi dan saham mereka selagi bisa. Masyarakat memborong kebutuhan pokok, inflasi akan naik. Untuk mencegah terjadinya bank rush, Pemerintah Yunani menutup bank-bank dan membatasi penarikan uang di anjungan tunai mandiri (ATM) maksimal €sebesar 60 euro saja per hari. Pasar modal juga ditutup---Namun tahap kedua ini sementara tiak terjadi, karena para pemimpin Euro akhirnya sepakat memberi dana talangan lagi sebesar Rp. 1250 trilliun untuk 3 tahun ke depan (baca: HUTANG LAGI)
     Tahap ketiga, begitu bank dibuka, barangkali akan terjadi bank rush. National Bank of Greece, Bank Piraeus, Bank Ergasias, dan Bank Alpha diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas dan memunculkan dampak sistemik (Economist, 6/7/2015). Yunani kembali ke ground zero, seperti ketika dihantam krisis 2009, bahkan lebih buruk karena tak ada lagi euro. Ketika itu terjadi, popularitas Tsipras akan tergerus dan ia akan menghadapi kemarahan rakyat yang pertama kali.
     Jika sudah demikian, dikatakan bahwa Zeus sekalipun tidak bisa menolong Yunani. Skenario di atas barangkali terlalu pesimistis. Namun, bisa jadi terjadi. Sepenggal hikayat Yunani itu membawa pelajaran berharga bagi Indonesia: jangan main-main dengan hutang dan jangan pernah membuka pintu akan terjadinya krisis lagi…

Pan Economic Crisis?

      Dan saudara-saudaraku sekalian, ternyata ada 6 negara lain lagi yang juga mempunyai rasio Pinjaman/PDB lebih dari 100 %, yang artinya cukup mempunyai resiko default karena jumlah hutangnya sudah melebihi nilai perekonomiannya. Data diambil dari Forbes, Senin (13/7/2015), yaitu:
1. Jepang, dengan rasio hutang 227,2%. Dari rasio di 2014 165,5$
2. Italia, dengan rasio hutang 132,6%. Dari rasio di 2014 103,9%
3. Portugal, dengan rasio hutang 129%. Dari rasio di 2014 57,6%
4. Singapura, dengan rasio hutang 105,5%. Dari rasio di 2014 98%
5. Amerika Serikat (AS), dengan rasio hutang 101,5%. Dari rasio di 2014 62,7%
6. Belgia, dengan rasio hutang 101,5%. Dari rasio di 2014 94,2%
(Yunani sendiri berada di posisi ke 2, dengan rasio hutang 175,1%. Dari rasio di 2014 98,6%)

      Indonesia…bagaimana dengan Indonesia? Ya, Untuk Indonesia, rasio hutang pemerintah hingga akhir 2014 mencapai 25,9% dari PDB. Namun value hutangnya luar biasa! Bank Indonesia melansir data terbaru mengenai posisi hutang luar negeri Indonesia. Per April 2015 sebesar USD 299,84 = Rp 4.003 triliun (kurs 18 Juni 2015). Hutang tersebut terdiri dari: dari hutang Pemerintah bersama Bank Indonesia serta Swasta. Porsi hutang Pemerintah per April 2015 tercatat sebesar USD 127,95 miliar dan Bank Indonesia tercatat 4,9 miliar. Total hutang Pemerintah dan Bank Indonesia = USD 132,86 miliar. Sedangkan Total hutang luar negeri swasta tercatat sebesar USD 166,98 miliar. Terdiri dari hutang perbankan USD 31,91 miliar dan bukan perbankan (nonbank) USD 135 miliar. (Catatan: Yunani bangkrut dengan hutang negaranya pada posisi Rp. 5.000 trilyun).
     Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara dalam pernyataannya mengatakan posisi hutang luar negeri per April 2015 masih cukup sehat, namun perlu diwaspadai risikonya terhadap perekonomian. Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan hutang luar negeri, khususnya sektor swasta. Namun…saya mengatakan secara in value…hutang ini sudah terlampau besar. Sederhana saja, mau bayar pakai apa untuk melunasi hutang ini?
     Perlu diingat bahwa dengan ditalanginya Yunani pada hari ini 14 Juli 2015, krisis belum lewat. Yunani baru aman sementara dari kematian. Tugas berat sudah menghadang untuk bayar hutang ke ECB tanggal 20 Juli dan pertengahan Agustus. Dan…ekonomi dunia secara umum juga sedang prihatin.

Simak data dari Kompas 10 Juli 2015:
“ Dari sinyal terakhir Federal Reserve, dunia mengantisipasi kenaikan suku bunga AS akan terjadi pada akhir 2015. Namun, dengan adanya peringatan IMF, kemungkinan rencana itu bakal ditunda lagi. Spekulasi terkait kenaikan suku bunga AS selama ini membuat pasar finansial dan mata uang dunia, termasuk rupiah, juga cenderung tertekan.

Peringatan IMF sekaligus juga menyinyalkan belum solidnya pemulihan ekonomi AS. Triwulan I-2015, ekonomi AS bahkan sempat mengalami kontraksi kendati pelemahan ini lebih akibat faktor temporer. Pada saat yang sama, kuatnya dollar juga menekan daya saing ekspor negara itu.

OECD bahkan lebih pesimistis lagi. Lembaga ini memprediksi melambatnya seluruh perekonomian besar, termasuk AS dan Tiongkok. Pelambatan juga bakal dialami Inggris, Kanada, dan Brasil. Hanya segelintir negara maju yang mengalami perbaikan ekonomi, yakni Perancis dan Italia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun