"Mereka (Pemerintahan Saudi Arabia) telah membidik beberapa negara di Afrika seperti Mali, Senegal, Sudan dan Ethiopia sebagai target negara-negara yang akan menyediakan lahannya untuk bercocok tanam padi dan sejenisnya demi mencukupi kebutuhan pangan rakyat Arab Saudi di masa mendatang.
Bahwasanya mereka membidik Afrika ini rada aneh, mengapa? Afrika adalah belahan dunia yang tidak henti-hentinya dirundung masalah kelaparan. Negara-negara yang dibidik oleh Arab Saudi tersebut selama ini mencukupi pangan untuk rakyatnya sendiri saja tidak mampu, kok tiba-tiba sekarang menjadi target investasi pertanian yang akan menghasilkan pangan bagi negeri lain?
Bukan hanya Arab Saudi ternyata yang melirik Afrika, Pemerintah Qatar juga telah menyewa 100,000 acres lahan di Kenya, Korea Selatan mengolah 400 miles persegi lahan di Tanzania.
Afrika menjadi bidikan negara-negara yang ingin mengamankan ketersediaan pangan jangka panjangnya karena berdasarkan data World Bank dan FAO di sanalah lahan-lahan dalam jumlah milyaran hektar masih tersedia. Di daerah yang disebut Guinea Savannah, daerah yang membentuk bulan sabit dan membentang dari Guinea di bagian barat Afrika, ke timur sampai Kenya dan ke selatan sampai Mozambique. Ada belasan negara yang telah dipetakan FAO di daerah ini yang siap untuk dijadikan area commercial farming yang terbuka bagi investor negara lain.
Gerakan berburu lahan pertanian ini sebenarnya relatif baru, karena sampai tahun 2007 produksi pangan dunia dipandang cukup untuk mencukupi kebutuhan penduduk dunia. Tahun 2008 adalah mulainya kepanikan itu, ketika harga pangan di dunia mulai melonjak. Negara-negara pengekspor pangan seperti Argentina dan Vietnam pun mulai khawatir dengan kecukupan pangan bagi rakyatnya sendiri dan mulai membatasi ekspor (Diadaptasi dari https://www.hidayatullah.com/kolom/ilahiyah-finance/read/2012/04/12/2274/ketika-orang-arab-menanam-padi-di-afrika.html).
Keterbatasan lahan pertanian ternyata menjadi isu global. Bagaimana dengan Indonesia? Setidaknya, transmigrasi adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun, bila ditilik dari latar belakang tujuan transmigrasi, program gagasan dan unggulan pemerintahan Orde Baru yang masih berlangsung hingga sekarang ini memiliki tujuan lebih dari itu. Penyejahteraan para transmigran dengan pemberian lahan masing-masing 2 hektar, rumah, berikut pemenuhan kebutuhan hingga musim panen perdana adalah poin plus program ini. Apalagi mereka diberi pelatihan dan penyuluhan sebelum dan selama menggarap lahan. Ditambah pula upaya pemerataan penduduk dan penguatan sektor pertanian.
Banyak cerita sukses dari para petani pengadu nasib ini. Keterasingan mereka di tanah rantau terbayar. Berkat keuletan dan kegigihan, mereka yang tadinya kere di kampung kelahiran sekarang menjadi bos besar, tuan tanah keren. Salah satunya adalah Rachmat Samekto yang asalnya pekerja bengkel miskin sekarang menjadi petani sejahtera di Riau (http://www.riaubook.com/berita/12345/peninggalan-soeharto-di-riau-jasa-dan-petani-sawit-yang-kaya-raya.html/halaman/2/blog-post.html).
Satu lagi, anak-anak mereka yang menyaksikan dan merasakan perjuangan mereka babat alas mewarisi gen petarung. Buktinya, ketiga anak transmigran asal Yogyakarta di atas sukses meraih pendidikan hingga kuliah. Sesuai dengan tujuan awal sang bapak, memperbaiki nasib agar bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Ketika berita ini ditulis, (https://yogyakarta.kompas.com/read/2016/06/01/191310026/begini.nasib.transmigran.sawit.era.soeharto.sekarang) si sulung dan si tengah berstatus alumni Universitas Gajah Mada (UGM) masing-masing dengan jurusan antropologi dan jurusan hukum. Adapun si bungsu tengah merampungkan tahap akhir pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian.
"Lebih dari 20 juta warga transmigran dan anggota keluarganya, kini hidup berkemandirian pada kawasan-kawasan transmigrasi yang tersebar dari Aceh hingga Papua," ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar. Secara rinci disebutkan bahwa anak-anak transmigran saat ini banyak yang berhasil meraih gelar Guru Besar atau Profesor sekitar 15 orang, gelar Doktor sekitar 60 orang, dan yang berhasil meraih pendidikan S-2 sejumlah lebih dari ratusan orang serta S-1 ribuan orang (http://bisnis.liputan6.com/read/2177957/marwan-jafar-banyak-anak-transmigran-yang-jadi-orang-sukses).
Wayan Supadno, pengusaha tani sukses yang juga anak seorang transmigran, menceritakan bahwa orang tuanya yang semakin berat mencari penghidupan dengan mengandalkan sawah seluas seperdelapan hektar akhirnya menjual sawahnya di Banyuwangi untuk memulai hidup baru di Riau dengan membeli rumah dan lahan seluas 2 hektar di sana. "Mestinya banyak petani gurem bisa meniru langkah orang tua saya, tanah yang  kian kecil di Jawa, jika dijual ternyata bisa menjadi beberapa hektar di luar Jawa" (http://organox.blogspot.com/2012/06/wayan-supadno-motivator-petani-lewat.html) terangnya.