Mohon tunggu...
Tata Tambi
Tata Tambi Mohon Tunggu... Guru - mengajar, menulis, mengharap rida Ilahi

Belajar menulis. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Muda, Yang Bertani (Petani 2 Negeri #31 dari 60)

11 Januari 2025   05:15 Diperbarui: 6 Januari 2025   15:21 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://globaltekno1.blogspot.com/2016/03/teknologi-modern-dalam-bidang-pertanian.html

Pada zaman modern, bila ada pemuda yang bertani, patut diduga bahwa lowongan di pabrik dan perusahaan sudah penuh. Kemungkinan lain, ia yang telah ter-PHK tidak mendapatkan lapangan kerja lain dan akhirnya menggarap lahan. Atau, terpaksa membantu orang tua mengais rezeki.  Atau, dan puluhan atau yang lain. Dengan satu catatan, semuanya negatif dan penuh purbasangka.

Itu dulu. Lain dulu, lain sekarang, walaupun tak sepenuhnya. Direktur Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian, Suwandi, meninjau langsung lahan pertanian seluas 26 hektare yang dikelola Bagas Suratman. Lahan tidur yang ditumbuhi semak belukar yang kini menjadi lahan pertanian produktif ini membuatnya terkagum. "Ini luar biasa. Ada pemuda yang berhasil bertani dengan sistem modern di lahan perkotaan. Ada 30 jenis sayuran plus melon. Hasil panennya dijual di berbagai pasar tradisional di Jabodetabek dan pasar ritel. Bahkan, melon rencananya mau diekspor. Pasarnya sudah ada, ke Hongkong. Ini perlu ditularkan kepada pemuda lain" (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4292851/bertani-sayur-di-pinggir-bandara-pemuda-ini-raup-rp-100-jutahari).

Tidak dimungkiri bahwa para petani sepuh memiliki keuletan dalam bekerja. Secara dramatis bahkan matahari telah menjadi kawan mereka dan lumpur adalah karib kerabat yang mereka kunjungi secara rutin. Bila di pantai para pelancong berjemur dengan manja, mengenakan kacamata hitam dengan pose santai didampingi sebutir kelapa muda dengan sedotan, para petani berjemur dengan cangkul dan punggung membungkuk. Lalu, seiring perjalanan waktu, mereka pun terbiasa sehingga terlihat santai dan damai, tapi tidak manja. Jangan berpikiran mereka memakai kacamata hitam sambil macul, belum ada dalam sejarah. Eh, ada sih, petani milenial.

Dahulu, para pemuda kampung menyerbu ibu kota secara massif. Cangkul dan sabit tergeletak di sisi bapak-ibu mereka yang tergolek. Memang begitulah trennya. Para penyabung nasib ini hendak menjajaki ladang peruntungan di luar daerahnya. "Soale, bayarane iso dobel, Mas," jawab seorang pemuda satu kursi di bus jurusan Malang-Bogor saat saya tanya alasannya merantau.

Namun, seolah tontonan layar tancap yang terserang misbar, gerimis bubar, seorang pemuda kian matang dan mencapai kulminasi kebosanan yang berujung pada ambang keinsafan bahwa perantauan mereka selama ini adalah pengorbanan. Berkorban dengan keterasingan, meninggalkan bapak-ibu yang perlu perawatan atau istri dan anak-anak yang butuh perhatian.

Ia sadar bahwa rezeki yang hebat adalah ikan yang terjerat dalam jangkauan pukat kecilnya, dan bahwa buah termanis adalah yang terpetik dari tangannya di batang terendah pohonnya. Semuanya indah, karena sembari menghasilkan rupiah, senyumnya selalu merekah. Ya, karena setiap kali melakukannya ia diantar orang-orang terkasihnya dan tubuh lelah mereka mendapatkan pembaringan yang sebaik-baiknya. Mendapat nafkah sembari menjaga amanah: kedua orang tua,  istri, dan anak-anak.

Masihkah pemuda gamang dengan kampung halaman tersayang? Nah, itu dia tantangannya, malu. Apa kata dunia? Pemuda, karena egonya, juga ketidaklaziman pandangannya, berhadapan dengan peluang emas. Bongkah-bongkah rupiah di ladang kampungnya.

"Makanya saya mengajak kepada kaum milenial untuk mulai mengubah pola pikirnya bahwa dunia pertanian adalah tambang emas tanpa batas, berjangka panjang," jelas Wayan Supadno, seorang praktisi pertanian, saat FGD Vcon 'Meraup Untung Bisnis Pangan Petani Milenial di Tengah Pandemi Covid-19' (Diadaptasi dari https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/agri-profil/12414-Wayan-Supadno-Kita-Harus-Bangga-Menjadi-Petani-di-Negara-Agraris).

Dan, yakinlah, sekali mereka membulatkan tekad dan berpantang menurunkan lengan baju dan celana yang tersingsing, saat itulah bunga-bunga harapan terkembang. Itulah gelegak darah muda. Bila golongan sepuh berpikir bahwa ladang padi hari ini adalah untuk sepiring nasi esok pagi, angan pemuda lebih panjang lagi. Pertanian hari ini adalah nafas bangsa itu sendiri. Itulah esensi regenerasi. Generasi mendatang harus lebih tangguh daripada generasi sekarang.

Kata seorang penyair, "Sesungguhnya, pemuda sejati adalah pemuda yang berkata, 'Inilah aku!' Bukanlah pemuda sejati, pemuda yang berkoar, "Dulu bapakku. . . ." (Diwan Amir Al-Mukminin Ali bin Abi Thalib, hal. 37, Khazanah Al-Adab wa Ghayah Al-Arab, 2/360, dan Al-Adab Asy-Syar'iyah wa Al-Minah Al-Mar'iyah, 1/215).

Saya tidak hendak mengajak kalian, wahai Para Pemuda, untuk bernostalgia dalam angkasa hampa dengan membusungkan dada atas kebesaran nenek moyang kita, sebagaimana dikatakan penyair tadi. Sekadar mengingatkan bahwa kita adalah keturunan pejuang. Membekukan serial perjuangan mereka adalah pengkhianatan atas darah yang terkucur dan nyawa yang melayang.

Satu hal yang perlu kalian camkan, di negeri ini, pemudalah yang banyak turun tangan menyiangi gulma-gulma asing itu? Momentum Hari Pahlawan adalah simbol perjuangan anak negeri yang diwakili Arek-Arek Suroboyo.

Meskipun merujuk pada sebuah daerah di Jawa Timur yang sekarang menjadi ibukotanya, namun sebenarnya mereka adalah sekumpulan pemuda dari beragam daerah yang berdomisili di kota Surabaya dan sekitarnya. Sebagai bukti, dalam ceramah yang dibuka dengan, "Bismillahirrohmanirrohim. Merdeka!!," ini, Bung Tomo mengatakan, "...Saudara-saudara, di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya, pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan, sehingga mereka itu (Inggris) terjepit di mana-mana... Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!" (https://www.youtube.com/watch?v=5dZC2l0RPN8).

Wahai Pemuda, revolusi fisik telah dimenangkan oleh kakek-buyut kita di masa muda mereka.  Peristiwa heroik itu telah berlalu, tapi masa berkarya tidak akan pernah usai. Terlebih, kita memiliki lahan luas yang menagih peluh dan perhatian. Gulma jahat itu telah mereka siangi dengan gagah, bedil dan bambu runcing mereka telah lama tersampir. Berpuluh-puluh tahun mereka mencangkul dan membajak. Tubuh mereka telah lelah, akankah kalian juga hendak berpaling muka?

Ada banyak alternatif menyemarakkan negeri ini dengan karya. Sebagian menyumbang tenaga, sebagian yang lain menularkan ilmu. Sebagian menyandang senapan, sebagian menggoreskan pena, sebagian lagi . . . , sebagian lagi, dan itu bisa jadi kalian, mengayun cangkul.

"Kalau pemuda sudah bertanam, maka pasokan pangan akan aman," (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4292851/bertani-sayur-di-pinggir-bandara-pemuda-ini-raup-rp-100-jutahari) kata Bagas Suratman, petani muda tajir yang kisah suksesnya pernah ditayangkan oleh BBC.

Bung Karno pernah menantang, "Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Moga Kau salah satu pemuda yang beliau minta. Tak perlu mengguncangkan dunia, cukup raih alat bertanimu, lalu berkaryalah. Beri kami adegan heroik terbaikmu: Bersimbah Lumpur.

Bila ada seorang pemuda yang tiba-tiba rajin ke masjid, aah yang ini beda, jangan sekali-kali menduga bahwa ia terusir dari rumahnya dan menjadi pelarian saleh dengan menginap di masjid. Tidak pula bila ia tiba-tiba sering ke masjid lantas kita katakan jangan-jangan sinetron kesayangannya sudah tidak menarik lagi, atau serial TV kesukaannya telah tamat.

Memang tidak lazim, maksud saya tidak banyak, pemuda berpegang teguh pada nilai-nilai yang luhur. Seakan-akan, usia mereka terlalu dini menapaki etape yang menjadi final lap para manula ini. Mereka adalah pemuda langit. Sangat jarang. Namun, tidak sedikit pemuda yang memang Allah terangi hati mereka. Allah jaga mereka dari racun maksiat, Allah tamengi mereka dari panah-panah nista. Allah muliakan agama-Nya dengan tenaga-tenaga mereka. Bila Anda seorang pemuda dengan kriteria seperti ini, atau Anda orang tua yang memiliki anak sekaliber ini, rayakanlah kebahagiaan Anda dengan kesyukuran.

Di antara mereka adalah para pemuda Al-Kahfi yang melarikan diri dan lantas tertidur selama lebih dari 300 tahun, demi menyelamatkan keimanan dan nyawa dari kelaliman Raja Dictiyanus yang seorang paganis. Allah mengatakan, "Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk" (QS Al-Kahfi: 13).

Tentang ayat ini, kalau Allah mau, bisa saja Dia menyebutkan, "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang beriman...," seperti dalam banyak ayat lainnya, yaitu tanpa menegaskan usia mereka dengan, "Pemuda-pemuda." Tapi, Allah menyebutkan sebuah masa pada fase kehidupan manusia, yaitu pemuda.

Tentu istimewa, karena bila kebanyakan pemuda suka berpembawaan pemberontak atas apapun, dan yang diberontak umumnya yang baik-baik, tapi penghuni gua ini malah memberontak atas keburukan.

Lakon Ashabul Ukhdud yang sebagian kisahnya diabadikan dalam surat Al-Buruj juga seorang jejaka yang berhasil mendakwahkan tauhid kepada rakyat dengan seorang tiran yang menuhankan diri (HR Muslim (3005).

Setelah itu, generasi kuntum-kuntum sahabat kecil bernama Usamah bin Zaid yang menjelma menjadi panglima perang menghadapi Romawi, Ibnu Abbas yang ketiban berkah doa Nabi menjadi samudra ilmu, referensi umat, Muadz bin Jabal yang disayangi Nabi menjadi ahli fikih, juga sekian banyak sahabat belia Nabi yang lain.

Itulah pemuda, apapun yang dilakukannya menghadirkan suara gemuruh, mengombak, menggelegar. Dan, sifat-sifat itu menjadi sangat istimewa bila dikarak dengan nilai-nilai religiusitas. Maka, balasannya pun incredibelly exciting, tribun VVIP. Kata Nabi, "Ada tujuh golongan yang kelak akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari kiamat, hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. (di antara mereka), seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah" (HR Al-Bukhari, 1.423 dan Muslim, 1.031).

Tunggu apalagi? Selagi muda, mari bertani! (Serial Petani 2 Negeri, Karya Hayik El Bahja, #31 dari 60).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun