Pembukaan UUD 1945, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Jauh sebelum itu, Umar bin Khathab mengatakan, "Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal para ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?!" (Kanz Al-Ummal fi Sunan Al-Aqwal wa Al-Af'al, 13.526).
Penjajahan, yang juga identik dengan perbudakan, tidak hanya meninggalkan luka, menghilangkan nyawa, dan mewariskan duka. Lebih dari itu, kemiskinan akibat perampasan, kebodohan akibat pembatasan akses pendidikan, dan kehinaan karena dikelasbawahkan adalah efek kolonialisme yang tak terobati dalam jangka pendek.
Di antara praktik penjajahan itu adalah tanam paksa. Betapa sistem tanam Cultuur Stelsel yang dimandori oleh Van den Bosch ini telah mencekik leher rakyat jelata dan membuat sekian banyak raga bergelimpangan tanpa nyawa. Sistem yang muncul sebagai dampak Perang Diponegoro, perang Jawa terbesar, antara 1825-1830 ini begitu merugikan pribumi. Bayangkan saja, mereka yang mewarisi negeri ini tiba-tiba dianggap sebagai penumpang yang harus membayar sewa tanah pusaka mereka. 40% hasil panen utama setiap desa yang harus mereka bayarkan. Aplikasinya, setiap desa menyisihkan sebagian tanah untuk ditanami komoditi ekspor ke Eropa. Penduduk dipaksa menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari untuk bekerja bagi pemerintah.
Hasilnya luar biasa, sistem yang diterapkan dalam kurun antara 1831-1871 ini tak hanya membuat Batavia bisa membangun sendiri, tapi juga memiliki hasil netto 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30% anggaran belanja kerajaan berasal dari kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda yang menyebabkan kas kerajaan surplus (Diadaptasi dari buku Pembangunan Pertanian dalam Pusaran Kearifan Lokal, hal. 183-184, Prof. Dr. Ir. H. Zulkifli Sjamsir, M.M.).
Tapi, biarlah getir itu lewat, jangan terus dirawat. Tak perlu berandai-andai kembali ke masa lampau untuk memperbaiki keadaan yang telah berlalu. Mesin waktu hanya ada pada film-film bergenre futuristic. Bangkitlah! Saatnya menyesap hikmah.
Ibarat rasa maja yang melatarbelakangi hijrah berganti rasa madu dengan kejayaan Islam di tanah rantau. Sekujur tubuh negeri ini sudah telanjur tersengat ribuan lebah selama lebih dari 3,5 abad. Tak apa, asal jangan lupa menimba madunya. Berikut barangkali nektar kolonialisme yang bisa kita hirup:
Pertama, dengan hak pakai tanah yang tidak sepenuhnya itu, ditambah harus mengerjakan lahan wajib, ternyata petani Indonesia berhasil memperkaya Kerajaan Belanda. Tapi, ketika tanah itu kembali menjadi hak milik penuh dan digarap dengan tanpa paksa, diayomi oleh pemimpin pribumi, kenapa pula petani tidak mampu memperkaya diri sendiri?
Keadaan ini mengingatkan kita akan daya tahan seorang muslim menahan lapar, dahaga, dan nafsu, termasuk merokok, selama sebulan penuh. Menjadi lebih rajin salat berjamaah, tilawah Al-Qur'an, bahkan ditambah salat tarawih. Belum lagi kedermawanan dalam berbagi. Namun, selepas itu semua, penataran selama sebulan seolah tak mengguratkan corak apapun pada sebelas bulan berikutnya. Padahal, bulan suci Ramadan sejatinya diproyeksikan sebagai momen penggemblengan diri untuk menghadapi pertempuran pada sebelas bulan berikutnya. Agar muslim sesaleh di bulan Ramadan, tentu bukan kuasa kita untuk mengubah bulan-bulan yang lainnya menjadi Ramadan semua.
Buku-buku motivasi bahkan menyebutkan cara melejitkan diri dengan sangat ekstrem. Salah satunya, orang yang tidak pandai berenang dimasukkan ke dalam kolam renang yang berisi buaya sehingga tanpa disadarinya ia bisa berenang dengan kecepatan tinggi demi menyelamatkan diri dari caplokan si predator ini. Atau, orang yang tiba-tiba bisa meloncati pagar setinggi 2 meter gara-gara hendak menyelamatkan diri dari kejaran segerombolan anjing galak. Lalu, dengan logika ini, agar para petani sungguh-sungguh dalam bertani sehingga menghasilkan panenan yang optimal, perlukah kita impor serdadu Belanda untuk kembali menjajah kita?
Kedua, para ibu di pelosok pertiwi seolah tak lelah melahirkan para kusuma bangsa sehingga ensiklopedia epos kita berjilid-jilid mulai zaman kerajaan hingga pergerakan nasional. Lalu, muncullah Negeri Nusantara yang terlahir dari gugusan daerah yang senasib sepenanggungan dalam menghadapi penjajah. Rasa bangga sebagai trah para pahlawan membuncahkan keyakinan bahwa kita berkedudukan sejajar dengan bangsa asing dan bisa mengungguli mereka.