"Dicaci tidak tumbang, dipuji tidak terbang."
Kalimat peribahasa tersebut sempat muncul dan beredar luas saat diucapkan Pak Anies Baswedan sekitar akhir 2023 menjelang perhelatan Pilpres Indonesia 2024.
Penulis tak hendak membahas pepatah tersebut, apalagi dikaitkan dengan politik. Pertanyaan sederhana yang muncul adalah masih relevankah atau masih perlukan peribahasa diajarkan di sekolah saat ini?
Ada yang berpendapat, saat ini sudah tidak lazim orang menggunakan peribahasa, pepatah, atau ungkapan dalam berbahasa. Bahkan menurut J.S. Badudu (1986), ada yang berpendapat, orang yang berpepatah petitih hanyalah kebiasaan orang Melayu.
Benarkah demikian?
Peribahasa Pembentuk Persepsi dan TindakanÂ
Peribahasa, pepatah, atau bidalan masih diperlukan sebagai materi pembelajaran. Pasalnya, ia mempunyai nilai-nilai murni yang dapat membentuk masyarakat yang harmoni. Pengajaran peribahasa dapat membantu pelajar untuk menilai suatu situasi dan memilih melakukan tindakan yang terbaik untuk diri dan masyarakat sekeliling. Kesannya, ahli masyarakat yang baik hati akan dibentuk seiring dengan masyarakat yang saling hormat-menghormati antara satu sama lain (https://www.irujukan.my/kepentingan-peribahasa/rujukan.my).
Setiap Bahasa Memiliki Peribahasa
Setiap bahasa memiliki pepatah, ungkapan, perumpamaan, kata-kata perbandingan, tamsil, dan ibarat yang tergolong dalam peribahasa, yaitu bahasa yang tidak mengungkapkan makna langsung. Sekiranya bahasa di dunia ini hanya menggunakan kata, ungkapan, atau makna lugas, singkat, dan bersahaja, alangkah miskinnya bahasa itu diukur dari segi perasaan dan keindahan (J.S. Badudu, 1986).
Penguasaan Peribahasa Menunjukkan Eksistensi Seseorang
Pemahaman seseorang berperibahasa sungguh menunjukkan eksistensinya. Semakin tinggi keterampilan dia berperibahasa, semakin elok pula kemampuan berpikirnya. Kondisi ini memberikan peluang kepada orang itu untuk mengedukasi peribahasa kepada orang lain (Wuladesember, 2024).
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah, peribahasa masih diperlukan diajarkan di sekolah, bahkan harus digalakkan agar fungsi peribahasa sebagai salah satu warisan luhur bahasa tetap bisa terlaksana di tengah-tengah masyarakat. Justru pada era generasi Z sekarang harus ada revitalisasi peran peribahasa dalam membantu membentuk kepribadian baik generasi sekarang.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara mengajarkan peribahasa kepada generasi kini yang cenderung ceplas-ceplos dalam berbicara?Â
Ada beberapa tip dalam pengajaran peribahasa di sekolah saat ini
Pertama, sesuaikan peribahasa yang diajarkan dengan kondisi kekinian. Harus kita akui, beberapa peribahasa sudah sulit ditemukan objek yang digambarkannya. Misal peribahasa 'bagaikan air di daun talas'. Â Penulis yakin, mayoritas siswa saat ini sulit menemukan langsung air yang berada di atas daun talas. Siswa di kampung saja belum tentu melihat langsung, apalagi siswa di perkotaan.
Kedua, guru yang mengajar hendaknya memilah dan memilih peribahasa yang benar-benar masih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Misal peribahasa 'bak ilmu padi, kian berisi kian runduk', bermakna selalu merendahkan diri (tidak sombong). Hindari memberikan peribahasa dalam jumlah banyak sebagaimana sering kita dapatkan dalam buku-buku kumpulan peribahasa yang begitu banyak.
Ketiga, guru hendaknya memberikan penjelasan terlebih dahulu kosakata yang masih asing. Banyak peribahasa yang berasal dari Melayu yang mungkin belum banyak diketahui maknanya. Misal peribahasa "asal ada, kecil pun pada". Guru harus memberikan penjelasan makna 'pada' yaitu cukup, tidak kurang tidak lebih.Â
Keempat, berikan peribahasa sedikit demi sedikit seperti dalam pepatah, 'sedikit demi sedkiti, lama-lama jadi bukit'. Mengutip perkataan J.S. Badudu dalam salah satu bukunya, beberapa pepatah yang dapat diingat murid dengan baik, lebih baik daripada seratus pepatah yang setelah diajarkan hari ini, besoknya sudah dilupakan oleh murid. Pasalnya, keterangan guru tidak berkesan dalam hati dan pikirannya.
Kelima, pemberian peribahasa dalam pembelajaran tidak hanya terbatas dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini memang memerlukan kolaborasi dengan pengampu mata pelajaran lainnya agar bisa memberikan peribahasa yang bermakna di sela-sela pembelajaran.
Semoga pembelajaran peribahasa di sekolah sedikit banyak menjadi amunisi dalam pembentukan karakter baik dan mulia siswa. Pembentukan karakter harus diisi dari berbagai sisi secara simultan dan kontinu.Â
Karakter baik harus diusahakan seperti pepatah ada asap ada api. Segala sesuatu harus ada sebabnya. Pembentukan karakter baik siswa harus menjadi projek bersama. Membentuk karakter mulia bukanlah kegiatan seperti membandarkan air ke bukit atau seperti menegakkan benang basah. Tetap semangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H