Mohon tunggu...
Tata Tambi
Tata Tambi Mohon Tunggu... Guru - mengajar, menulis, mengharap rida Ilahi

Belajar menulis. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Usaha Sampingan Petani (Petani 2 Negeri #21 dari 60)

8 November 2024   05:49 Diperbarui: 8 November 2024   07:43 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://petanidigital.id/gambar-petani/

Selama 34 tahun, Jajang Slamet Somantri mendampingi petani kopi di lereng selatan Gunung Semeru sebagai penyuluh lapangan. Pria asal Garut yang dijuluki Arsitek Petani Kopi Dampit ini memiliki target bisa menyejahterakan 15.000 petani kopi di Malang dalam 5 tahun. Dibantu 10 orang asisten, ia menargetkan mencetak 110 master trainer dalam setahun yang akan melatih 15.000 petani kopi di Dampit dan sekitarnya.

Salah satu yang unik dari pembinaannya adalah optimalisasi kopi itu sendiri, juga lahannya. Dalam konsepnya, selain budidaya kopi, para petani juga diajari mengolah biji kopi menjadi bubuk kopi. Mereka juga diajari membuat pakan untuk ternak mereka dari kulit kopi melalui proses fermentasi. Sedangkan naungan yang ada di lahan kopi dimanfaatkan untuk budidaya lebah madu (diadaptasi dari https://kompas.id/baca/tokoh/sosok/2017/09/11/arsitek-petani-kopi-dampit/).

Semasa kecil, di pagi hari, saya sering mendapati pemandangan para petani yang ke sawah sambil menuntun kambing atau sapi ke padang angonan. Sembari mengawasi ruminansia mereka yang tertambat sambil merumput, mereka menggarap lahan. Seraya berharap daging atau hasil jual binatang tersebut, mereka pun mendapatkan pupuk kandang melimpah yang bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman mereka. Selebihnya, kelebihan rabuk yang ada mereka komersialkan. Ini juga usaha sampingan yang tidak boleh dikesampingkan.

Petani akhirat pun demikian, di samping menanam tanaman wajib, mereka bisa menyemai tanaman sunnah. Dalam keseharian kita, Allah mewajibkan salat lima waktu. Itulah tanaman yang wajib kita tanam. Allah juga mengiringkan rakaat-rakaat pendamping bagi salat fardu tersebut. Salat-salat tadi dinamakan dengan sunnah rawatib.

Secara fikih, hukum salat rawatib tadi adalah sunnah. Bila dikerjakan mendapatkan pahala, tapi bila ditinggalkan tidak berdosa, alias tidak ada sanksi apa pun. Dalam kultur fikih, amalan jenis ini familier dengan nama sunnah itu sendiri, tathawwu’ yang berarti sukarela, mustahabb yang artinya disukai atau dianjurkan, dan nafilah yang artinya tambahan.

Sebagaimana tidak masalah bila Anda hanya cukup mengandalkan tanaman utama tanpa menyibukkan dengan usaha sampingan; tidak ada sapi, kambing, unggas, pupuk kandang, dan lainnya, tidak masalah pula bila Anda mencukupkan diri dengan amalan wajib, tanpa melelahkan diri dengan amalan sunnah. Tapi, apa iya lahan strategis itu dibiarkan mangkrak?

Bukankah tidak jarang didapati tanaman utama gagal panen, entah oleh paceklik, hama, atau ganggguan di luar perkiraan? Seperti yang dialami seorang buruh kebun sawit yang dengan inisiatif sendiri menyela-nyelai kebun sawit majikannya dengan tanaman cabai. Dia sakit berkepanjangan sehingga tidak mendapatkan upahnya sebagai buruh. Namun, di luar dugaan, cabainya panen bagus dan harganya tinggi sehingga bukan saja bisa membiayai pengobatannya, tapi juga surplus yang bisa ia tabung. Bila demikian halnya, minimal usaha sampingan tadi bisa menambal kebutuhan harian yang tidak terkover oleh penghasilan utama.

Salat fardu kita pun demikian. Siapa yang menjaminnya utuh 100% dan diterima Allah? Bila pun tidak, amalan sunnah bisa menjadi penutup celah pada amalan wajib yang bolong. Kata Nabi, “Sesungguhnya amalan manusia yang pertama kali dihisab adalah salatnya.” Beliau melanjutkan, “Rabb kita ‘Azza wa Jalla berkata kepada para malaikat-Nya, padahal Ia Maha Mengetahui, ‘Periksalah salat hamba-Ku, sempurna ataukah ada yang kurang?’ Jika sempurna, ditulislah secara sempurna. Tapi, jika ada yang kurang, Ia berkata, ‘Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki amalan nafilah?’ Jika ia memiliki amalah nafilah, Ia berkata, ‘Sempurnakanlah amalan wajib hamba-Ku dengan amalan nafilah-nya.’ Lalu, semua amalan diperlakukan seperti itu” (HR Ahmad: 9.494).

Dari Ummu Habibah, Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim salat 12 rakaat setiap hari karena Allah secara tathawwu’, bukan fardu, melainkan Allah bangunkan baginya sebuah rumah di surga, atau dibangunkan baginya sebuah rumah di surga” (HR Muslim: 728). Dalam riwayat Aisyah, Rasulullah malah menekankan. Kata beliau, “Barang siapa konsisten menjalankan salat 12 rakaat sunnah, niscaya Allah bangunkan baginya sebuah rumah di surga” (HR At-Tirmizi: 414).

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS Al Isra: 79).  Dari Abu Hurairah, ia menuturkan bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin mendatangi Rasulullah. “Orang-orang kaya menempati derajat yang tinggi dan mendapatkan kenikmatan abadi,” adu mereka. “Maksud kalian?” tanya beliau. “Mereka salat sebagaimana kami salat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Mereka bisa bersedekah, tapi kami tidak sanggup bersedekah. Mereka bisa membebaskan budak, sedangkan kami tidak mampu membebaskan budak.”

Dalam riwayat lain, mereka juga mengatakan, “Mereka memiliki kelebihan harta yang bisa mereka gunakan untuk berhaji, berumrah, berjihad, dan bederma.” “Maukah kalian kuajari sesuatu yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan kalian pun bisa mengungguli orang yang akan datang setelah kalian? Tidak ada seorang pun yang lebih baik daripada kalian, kecuali orang yang melakukan seperti yang kalian lakukan?” “Tentu, wahai Rasulullah,”sahut mereka. “Bertasbih, bertahmid, dan bertakbirlah di akhir setiap salat (masing-masing) 33 kali” (HR Al-Bukhari: 843).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barang siapa di setiap akhir salat membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali, sehingga keseluruhannya berjumlah 99 kali, lalu ia genapkan 100 dengan mengucap, ‘Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syarika lah lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli sya’in qadir,’ diampunilah dosanya, sekalipun sebanyak buih di lautan” (HR Muslim: 597).   Sembari melakukan aktivitas, zikir ini juga bisa Anda lafalkan dengan santai, “Barang siapa mengucap, (سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ) seratus kali dalam sehari, dihapuslah dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih-buih di lautan” (HR Al-Bukhari: 6.405).

Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda, “Barang siapa membaca ayat Al-Kursi setiap selesai salat wajib, tidak ada yang menghalanginya masuk surga, kecuali kematian” (HR An Nasai dalam As Sunan Al Kubra: 9.848).

Jadi, selama memiliki kesempatan dan kesanggupan, mengapa tidak memanfaatkan peluang sampingan yang ada? Petani cerdas yang berpikir efektif, efisien, dan visioner pasti serius mengusahakannya. (Serial Petani 2 Negeri Karya Hayik El Bahja, #21 dari 60)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun