Mohon tunggu...
Tata Tambi
Tata Tambi Mohon Tunggu... Guru - mengajar, menulis, mengharap rida Ilahi

Belajar menulis. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyuluhan dan Mentor (Petani 2 Negeri #19 dari 60)

8 Oktober 2024   05:27 Diperbarui: 8 Oktober 2024   06:55 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kiasan.blogspot.com/2014/12/mengaji-al-quran-di-masjid-nabawi.html

Tekad untuk berkebun kadang tak terbendung. Sayang, kedalaman niat tak jarang terkendala oleh kedangkalan ilmu. Namun, tak perlu panik dan putus harapan. Merangkul tenaga ahli untuk diajak bekerja sama mengelola lahan sehingga bernilai komersial adalah solusi jitu. Bagi Anda yang memang ingin bertani, atau belajar bercocok tanam dengan hasil yang baik, tentu keberadaan seorang mentor mutlak adanya. Anda bisa saja mempelajarinya dari situs yang bertebaran di internet, atau buku-buku dan majalah panduan pertanian, tapi hasilnya juga tidak akan maksimal. Sebab, pertanian adalah ilmu terapan yang kadang tidak betul-betul sama dengan teori. Maka, carilah mentor yang memang ahli di bidangnya dan asyik dalam penyampaiannya.

Kabar gembiranya, beberapa pembenih bahkan siap mengadakan pendampingan hingga panen. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Ternyata hal seperti ini juga berlaku pada beberapa bidang. Di antaranya adalah kursus tulis-menulis, kursus bahasa, dan sebagainya. Paket belajar kemahiran teori dan praktik sampai bisa.

Dalam bait syairnya, Imam Asy-Syafi'i  memberikan enam kunci keberhasilan menuntut ilmu yang salah satunya adalah pendampingan seorang guru. Ia mengatakan,

"Saudara, kau takkan meraih ilmu, kecuali dengan enam perkara,

Akan kukabarkan padamu perinciannya dengan gamblang,

Kecerdasan, semangat, kesungguhan, modal,

Pendampingan seorang guru, dan waktu yang panjang" (Shaid Al Afkar di Al Adab wa Al Akhlak wa Al Hikam, 1/22).

Tiada beda dengan pertanian duniawi yang membutuhkan panduan seorang ahli, begitu juga pertanian ukhrawi. Bahkan lebih penting lagi. Seorang yang sakit yang memilih pergi ke dokter untuk mengharapkan kesembuhan dan menjadikan mereka rujukan dalam hal kesehatan adalah laku bijaksana. Dokter tak kalah semangatnya menunjukkan profesionalismenya. Di depan rumahnya, di samping memasang jam praktik, ia juga memasang nama lengkap dengan gelar dan Surat Izin Praktik (SIP). Para pengusaha yang memiliki omzet tinggi dan banyak karyawan diundang untuk berbagi ilmu tentang entrepreneurship. Sayang, untuk urusan akhirat terkadang terjadi ketimpangan. Kalau kita mengimani bahwa akhirat lebih utama, lebih kekal, dan lebih baik, tentu perlakuan terhadapnya lebih hati-hati daripada perhatian terhadap dunia yang temporal ini.

Untuk urusan ini, ternyata tidak sedikit orang tua yang asal dalam memilihkan guru ngaji, yang penting anak bisa membunyikan lafaz Arab Kitabullah itu, bagaimana pun bunyinya. Untuk urusan ibadah, ada yang tak mau ambil pusing. Kalau mau, ya dilakukan, kalau tidak mood, ya tinggalin aja. Kalau dirasa agak membingungkan sedikit, ia cukup meninggalkan begitu saja. Atau, ikuti saja tata cara tokoh yang terpandang di situ, padahal ia tahu, bahwa dia yang telah beranjak tua itu tidak memiliki kapasitas agama apapun, kecuali meneruskan kebiasaan generasi sebelumnya yang ia juga tahu bahwa keadaannya tidak jauh berbeda dengan penerusnya ini.

Itulah problematika umat kita. Orang-orang yang mengaku menjunjung profesionalisme dalam dunia kerja, ternyata amatir dalam urusan akhirat. Asal dilakukan, dengan sikap alpa terhadap kualitas dan status amalan ukhrawinya.

Mari kita merenung. Bila pertanian kita tidak maju-maju dan belum juga berdaulat secara pangan, padahal tak sedikit petani yang menggarap dan tak sempit pula lahan yang dikelola, pasti ada yang salah. Tentu ada yang tidak beres, keluar dari standar operasional prosedur (SOP). Di antaranya adalah cara kelola yang konvensional dan para mentor yang sifatnya pewarisan.

Mari kita pikirkan, bila keadaan bangsa masih sedemikian banyaknya penyimpangan akidah, dekadensi moral, dan problematika sosial lainnya, padahal pelajaran agama telah disampaikan, guru agama juga tidak sedikit, lantas kenapa hasilnya seolah nihil? Lebih luas lagi, adalah penegakan hukum dan kesejahteraan rakyat. Barangkali ada yang salah. Entah mismanajemen, bisa pula acuan program yang tidak mengarah ke sana, alias disorientasi. 

Kepada orang yang bertanya tentang kiamat, beliau mengatakan, "Jika perkara telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah kiamat" (HR Al Bukhari, 59).

Beliau juga pernah menyebut tanda lain, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari para hamba. Akan tetapi, Ia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Hingga ketika Ia tak menyisakan seorang pun yang berilmu, masyarakat mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya lalu memberi fatwa tanpa ilmu sehingga mereka pun tersesat dan menyesatkan" (HR Al Bukhari, 100 dan Muslim, 2.673).

Maka, pemandangan yang jamak adalah banyaknya ritual ibadah yang meriah dengan suara dan bondong-bondongan para pengikut, namun sejatinya itu hanya ajaran warisan yang tidak menemukan jejaknya sebagai ibadah yang diajarkan oleh agama. Banyak pula aturan yang sama sekali tidak berkerabat dengan agama, alias diada-adakan. Banyak juga penceramah dan pengkhotbah yang menetapkan amalan yang tidak ada perintahnya, menganjurkan yang dilarang, bahkan menentang tuntunan yang diajarkan.

Adalah ibarat hujan di musim kemarau yang menjadi oase di padang sahara, ketika ada sekolah pertanian, juga sekolah-sekolah kejuruan lainnya yang memang difokuskan untuk meningkatkan kualitas. Adalah embun pagi ketika beberapa pihak mendirikan lembaga pengkaderan dai, imam masjid, dan pembinaan karakter kepemimpinan islami yang kelak akan membimbing umat. Dengan sebuah keyakinan bahwa bila pemimpin baik, bila kepala keluarga baik, para pembimbing ahli dan profesional di bidangnya, tentu hasilnya akan lebih baik, rakyat akan baik, lingkungan baik, masyarakat baik, dan negara baik. Jangan terjadi sebaliknya. Jangan sampai guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

"Bagaimana bayangan bisa lurus, kalau tongkatnya bengkok,"  kata Ibnu Khafajah dalam sebuah syair yang lantas menjadi pepatah ini.

Kita ingin berbenah dengan cara mengikuti pembimbing yang mengantar pada keselamatan. Bukan pada banyaknya amalan yang lantas tidak efektif, tidak pula efisien. Habis modal, habis tenaga, habis pikiran, tapi berujung pada penyesalan akan suatu kesia-siaan. (Serial Petani 2 Negeri, Karya Hayik El Bahja, #19 dari 60)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun