Jika berbicara mengenai sejarah kelam, negeri kita punya banyak. Dari penjajahan hingga bencana besar yang selalu menjadi ingatan yang menyebabkan kengerian jika mendengarnya. Salah satunya adalah erupsi Gunung Merapi, Jawa Tengah.
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Jawa, bahkan di Indonesia. Riwayatnya kerap dikait-kaitkan dengan cerita rakyat atau mitologi Jawa yang bahkan masih dipercaya oleh sebagian orang hingga saat ini. Kendati begitu, sejarah Gunung Merapi sebenarnya bukan hanya sekadar legenda.
Lereng selatan Gunung Merapi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan lereng lainnya merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Magelang (sisi barat), Boyolali (utara dan timur), serta Klaten (tenggara).
Maka dari itu saya menyempatkan untuk mampir, sekadar singgah sebentar untuk melihat sejarah-sejarah yang masih dikenang. Saya mulai perjalanan seminggu lalu bersama keluarga dari Jakarta, naik mobil ke Yogyakarta. Lalu Abang saya mengajak saya untuk melihat-lihat di sekitar Merapi. Saya langsung mengiyakan. Pukul 9 pagi saya sudah jalan berdua dengan Abang saya dari Yogyakarta kota menuju Gunung Merapi.
Sesampainya di sana saya mampir ke Warung Kopi Merapi (yang kebetulan dekat dengan tujuan saya untuk napak tilas ke daerah Gunung Merapi), warung kopi yang cukup ramai dibicarakan netizen karena tempatnya yang masih vintage dan tempat duduknya yang berbahan dasar batu alam. Saya memesan es kopi susu dan pisang goreng. Abang saya memesan segelas kopi panas.
Setelah itu kami bergeser ke Museum Mini Sisa Hartaku. Museum Sisa Hartaku adalah museum milik warga yang mengumpulkan harta-hartanya yang tersisa akibat letusan Gunung Merapi.
Di bagian depan, terdapat hewan yang tinggal tulangnya, serta motor-motor usang yang tinggal rangkanya dengan tulisan menyanyat hati, “Sisa Hartaku”. Di sana saya melihat ember, gelas, dan berbagai peralatan rumah lainnya yang nyaris meleleh. Di beberapa sudut, juga tertera tulisan-tulisan pilu yang mengingatkan tentang keganasan merapi dan bagaimana sedihnya sang pemilik rumah saat semua seolah habis.
Tak hanya itu, terdapat juga sisa peninggalan gamelan yang sudah rusak serta botol-botol, kendi, dan tempat penggorengan yang sudah habis dilahap abu vulkanik. Bangunan museum terdiri dari tiga ruangan, yakni ruang tamu, kemudian tiga kamar tidur, kamar mandi dan juga dapur.
Semua ruangan yang ada di bangunan ini menjadi saksi ganasnya ‘wedhus gembel’ yang menutup seluruh wilayah Cangkringan di tahun 2010 silam.
Beberapa tulisan juga tersirat mengingatkan kepada pengunjung, bahwasanya harta benda sewaktu-waktu bisa diambil oleh Sang Maha Kuasa. Saya dan Abang saya bergidik ngeri. Betapa seram dan kelamnya letusan Gunung Merapi pada saat itu.
Harga tiket museum ini gratis alias tidak dipungut biaya sepeser pun. Namun, untuk biaya parkirnya tetap bayar, ya. Harga parkir kendaraan motor 2 ribu rupiah dan mobil 5 ribu rupiah. Museum ini buka setiap hari dari pukul 08.00-16.00 WIB. (NA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H