Mohon tunggu...
Tasya Merari
Tasya Merari Mohon Tunggu... -

mahasiswa yang gemar menulis artikel seni

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Erika Ernawan dan Erik Pauhrizi, Migrasi di Rumah Sendiri

22 November 2017   14:41 Diperbarui: 22 November 2017   16:11 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mempertanyakan kembali, berdiskusi, melakukan penjelajahan artistik, kembali berunding adalah beberapa tahap dari proses kreasi yang dilakukan oleh Erika Ernawan dan Erik Pauhrizi.

Satu foto hitam- putih, menampilkan sosok wanita hamil tengah berdiri dengan baju yang diangkat sampai ke atas perut, sembari menatap kamera. Wanita itu tak lain adalah Erika.

Seketika saya langsung menyukai foto dengan ukuran 80x120 cm tersebut, saat itu juga saya langsung teringat dengan ibu saya sendiri. Ada suatu kejujuran yang hadir dalam karya tersebut. Terlihat agung layaknya foto seorang anggota kerajaan, foto dengan bingkai bewarna emas itu menjadi sebuah peringatan, simbol akan pentingnya sosok ibu dalam keluarga, betapa besar nya peran seorang ibu sesuai dengan ukuran foto.

Melalui foto itu, Erika ingin bercerita mengenai kehidupan dan kematian, bagaimana seorang wanita mempertaruhkan nyawa nya saat melahirkan, namun pada saat yang sama memberikan suatu kehidupan yang baru. Taruhan nyawa diganti nyawa.

Pernah menyicip residensi di Jerman, wanita kelahiran 1986 ini mendapatkan banyak pengalaman baru. Salah satunya merasakan kepedulian pemerintah kepada masyarakat dalam hak yang sangat dasar, yaitu minum. Seperti yang kita ketahui, di Eropa, air dapat diminum secara langsung dari kran nya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia, tanah kelahiran sang perupa. Hak dasar ini menjadi suatu pertanyaan di benak Erika.

Sekembalinya dari Jerman, Erika melakukan uji coba terhadap air sungai yang mengalir di belakang rumahnya, di Arcamanik, Bandung. Hasil uji coba menunjukkan betapa terkontaminasinya air sungai tersebut, sehingga tidak layak untuk diminum secara langsung. "Di Indonesia air untuk diminum saja dijual, seolah- olah mendukung air minum untuk dijual. Padahal air, tanah itu kan dasar kekuatan manusia" jelas Erik.

Melalui performans, Erika melakukan kritik yang dilandasi oleh kerusakaan alam dan sikap modernisme tersebut dengan menggantungkan diri secara terbalik di atas sungai yang kemudian ditampilkan kembali oleh teman-teman performans-nya, diabadikan dalam foto yang dibalut dengan lukisan abstrak.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Pameran yang diadakan di Can's Gallery ini juga menghadirkan 18 panel dengan media campur yang berwarna di ruang tengah. Masing Panel berukuran 240 x 360 cm dan dipajang dalam satu dinding yang sama membuatnya terkesan besar.

Sekilas setiap panel terlihat mempunyai corak yang hampir mirip, namun berbeda, terdapat pergerakan cat yang terasa saling mengikuti, ada semacam dialog antara pasangan perupa ini melalui sapuan kuas dan warna di karya yang kolaboratif satu ini. Panel dengan judul Montage ini nyatanya merupakan bahasa visual antara Erik dan Erika.  Seperti diskusi, mereka saling berbicara antara satu sama lain, dengan gagasan, bahasa, gestur masing- masing pribadi. Sapuan kuas yang ekspresionis juga merupakan gestur Erika yang mencoba untuk masuk ke dunia nya Erik. Sebuah kompleksitas yang tidak dapat diilhami dengan melihat sekilas saja.

Pasangan seniman ini mengaku, meski sudah menjadi suami- istri, masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda terutama dalam hal berkesenian. Diskusi menjadi bentuk komunikasi mereka dalam berpendapat, bentuk komunikasi ini yang kemudian muncul dalam karya ini.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Di sisi ruangan yang lain, Erik menghadirkan kisah mengenai pengungsi dengan sudut pandang yang berbeda, menempatkan diri di kacamata para pengungsi itu sendiri.

"Boleh dikata, saya seorang pengungsi juga, datang dari luar Jerman, tinggal di sana, mengambil pekerjaan orang Jerman juga, makan dan minum dari makanan mereka juga" kenang pria kelahiran Bandung ini, dalam karya "You Broke The Ocean in Half To Be Only To Meet Nothing That Want You.."  

Erik memberikan pandangan yang personal mengenai para pengungsi, melalui serangkaian diskusi dan wawancara.

Erik dengan selimut darurat berwarna emas yang menutupi wajahnya karena angin.

Saya merasakan suatu kebebasan yang terkekang, suatu pencapaian yang sia-sia dan tersembunyinya identitas dari foto berukuran 120x160 cm itu.

Saya rasa tidak hanya karena serangkaian diskusi, wawancara dan pengamatan secara langsung saja yang membuat karya Erik dalam pameran ini berwarna. Tapi juga karena kepedulian Erik terhadap sesama manusia ditambah  keberanian dan pengalaman pribadi nya sendiri, yang dapat dilihat dalam instalasi video yang berdurasi selama 13:55 menit.

Erik menumpahkan kenangannya ketika berenang di danau yang dingin di Jerman dan hampir merasakan kematian karena kedinginan. Di saat yang sama teringat akan keluarganya di Indonesia.

Momen ketika sang istri melahirkan. Saat- saat yang saling berkesinambungan. Saling menguatkan, saling menginspirasi.  Momen di mana Erik merasakan kakinya yang kaku karena dinginnya air, seketika juga Erik teringat akan pengalaman para pengungsi yang menyebrangi laut yang dingin, ditengah perjalanan harus merasakan dinginnya air laut, ada yang selamat dan ada juga yang tidak. Layak nya tarian memori yang bermain dalam kepala Erik, lembaran kain yang  melintasi waktu, menyebrangi wilayah kehidupan dan kematian yang pada akhirnya menarik kesadarannya untuk kembali hidup.

Barangkali tarian memori ini merupakan bagian pengilhaman pribadi sang perupa, yang kemudian kembali dihadirkan ke dalam karyanya. Karya reflektif seperti cermin. Melihat ke cermin, mengganti sepatu kita dengan sepatu orang lain dan berjalan dengan nya sambil melihat 'diri' kita ke dalam cermin.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Penggabungan berbagai media dalam karya mereka memberikan pertanyaan apakah dengan menggambungkan berbagai macam media seperti lukis dengan foto menjadi bahasa artistik yang baru dalam berkomunikasi? Sanggupkah bahasa visual yang baru itu menyampaikan gagasan mereka? Menjadi bahasa visual yang baru? karena bagi Erika sendiri, lukis saja sudah tidak memadai untuk mengungkapkan pesan yang ia upayakan, melainkan menjadi hasil sisa- sisa pemikirannya saja.

Pameran berlangsung hingga tanggal 25 November 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun