Mohon tunggu...
Tasya Kusumawardhani
Tasya Kusumawardhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2021 di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

-

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Mengenal Gen Z sebagai Generasi Strawberry!

14 Desember 2023   13:37 Diperbarui: 14 Desember 2023   13:49 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Tahun 2023 sudah melalui banyak perkembangan zaman. Tak terkecuali pada teknologi. Saat ini manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Karena semakin inovatif perkembangannya, maka akan semakin mempermudah hidup manusia. Banyak aspek yang kini melakukan peralihan dari yang awalnya masih konvensional menjadi digitalisasi. Sebagai manusia kita harus mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman agar dapat bertahan hidup atau nantinya kita akan merasa kesulitan dan tertinggal. Tak disangka, hal tersebut ternyata dapat mempengaruhi nilai sosial dan psikologi personal.

Gen Z adalah sebutan bagi mereka yang lahir dalam waktu rentang 1997-2012. Gen  dikenal sebagai generasi yang kreatif dan hidup berdampingan dengan modernitas yang disajikan langsung oleh zaman yang semakin hari ada saja hal baru. Gen z juga semakin bebas dalam mengekspresikan perasaan mereka terlebih lagi di sosial media. dengan segala kemudahan yang diberikan saat ini ternyata dapat mempengaruhi mental gen z. Dimana gen z disebut-sebut sebagai generasi strawberry! Mengapa demikian?

Istilah generasi strawberry ini memiliki filosofi dimana generasi saat ini mentalnya diketahui lembek seperti buah strawberry. Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam (Fauzi & Tarigan, 2023)gen z adalah generasi yang kreatif namun mudah merasa sakit hati dan menyerah. Maksudnya, banyak fenomena yang terjadi pada gen z dimana mereka tidak mampu menghadapi pressure atau tekanan yang ada apabila dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Adapun beberapa karakter lain yang menggambarkan gen z adalah memiliki sikap yang egois, sombong, lamban dalam berpikir dan bertindak, mudah menyerah, dan sering merasa pesimis. (Hasyim & Faisal, 2023). Gen z juga cenderung ingin mendapatkan sesuatu dengan mudah dan instan. Apabila memerlukan effort atau usaha lebih kebanyakan dari mereka memilih lari daripada harus menyelesaikannya. Tidak hanya itu, gen z juga disebut generasi pemalas karena kebanyakan waktu yang mereka habiskan hanya untuk rebahan, bermain sosial media, dan lain sebagainya. Namun, tidak bisa disamaratakan antara 1 anak dengan yang lain karena masih terdapat anak-anak yang masih memiliki semangat dalam memperoleh apa yang mereka inginkan. Hal-hal yang telah disebutkan sebagai karakteristik hanya kecenderungan yang dilakukan oleh generasi strawberry.

Munculnya generasi strawberry ini dianggap akibat dari bagaimana orang tua mereka dalam mendidik. Adanya self diagnosing terlalu dini tanpa melibatkan pihak yang ahli dalam bidangnya serta kurangnya pengetahuan orang tua dalam mendidik anaknya menyebabkan para orang tua ini menghindari kesulitan tersebut. Akibatnya anak-anak sering kali membantah dan merasa tidak adil atas apa yang orang tua mereka lakukan. Alih-alih merasa dididik, mereka merasa bahwa orang tua mereka menyakiti dan tidak paham atas apa yang mereka rasakan. Para orang tua ini dianggap terlalu memanjakan anak-anaknya dan memiliki parenting yang kurang tepat. Selain itu komunikasi yang terjalin juga dapat mempengaruhi anak. Maka seharusnya orang tua harus lebih memperhatikan lagi cara berkomunikasi dengan sang anak agar tercipta komunikasi yang efisien dan nyaman karena komunikasi juga penting. (Fauzi & Tarigan, 2023)

Beberapa waktu lalu, terdapat beberapa pemberitaan mengenai kasus bunuh diri yang dilakukan oleh para pelajar bahkan mahasiswa. Terlebih lagi para korban menuliskan sepenggal surat untuk orang yang ditinggalkan. Mereka mengaku tidak kuat atas apa yang tengah mereka jalani dan memilih untuk mengakhiri hidup saja. Pemberitaan tersebut cukup menggemparkan karena tidak hanya 1 atau 2 kasus saja. Salah satu contoh kasus bunuh diri yang mengejutkan adalah dari anak SD yang melakukan bunuh diri dikarenakan handphone miliknya disita oleh orang tuanya. Banyak warganet yang melihat pemberitaan kasus tersebut merasa heran apakah bunuh diri merupakan suatu tren karena banyak yang mengikuti. Ada yang berkomentar pula bahwa isu bunuh diri yang diangkat oleh media harus dikurangi atau bahkan dihentikan karena bisa mempengaruhi pikiran orang lain yang memiliki mental kurang stabil. Tanggapan tersebut datang karena mengingat karakteristik generasi z adalah memiliki mental yang lembek. Selain itu, generasi z juga sering menggunakan sosial media di setiap waktunya. Takutnya mereka secara tidak langsung terdoktrin atas apa yang media beritakan apabila selalu disuguhi pemberitaan yang kurang baik dan mengatasnamakan mental. Seolah-olah apa yang diberitakan adalah hal yang sebaiknya mereka lakukan daripada harus menjalani atau berjuang melalui rintangan hidup yang melelahkan.

Contoh lain dari fenomena gen strawberry ini adalah mengusung mental health yang overated. Banyak content creator di bidang psikologi membawa ilmunya yang ingin mereka sebarkan lewat sosial media dengan mengaitkan kebiasaan atau peristiwa yang banyak dirasakan oleh sekitar. Alhasil sebagian dari gen z ini teredukasi mengenai istilah dari sisi psikologi tapi tidak sedikit pula yang salah mengartikan. Sehingga, ia melakukan self diagnose yang mengakibatkan ia menjadi sesuka hati dengan mengatasnamakan mental health. Salah satu contohnya seperti ia memilih resign dari pekerjaannya karena dianggap tidak sesuai passion bahkan ter-pressure. 

Dapat disimpulkan bahwa gen strawberry ini memang generasi yang kreatif dan inovatif. Gagasannya mengenai pengetahuan juga dapat dibilang cukup memuaskan. Namun, sebagian dari mereka memiliki mental yang kurang. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah berawal dari perbaikan parenting yang tepat. Seharusnya orang tua juga mulai fokus pada mental health anak karena bagaimanapun juga keluarga merupakan pembelajaran pertama. Pendidikan dan pengetahuan memang penting. Namun, mental health anak juga tidak kalah penting karena mempengaruhi bagaimana anak tersebut akan tumbuh. Komunikasi yang efisien dan nyaman juga diperlukan. Selain itu, gen z harusnya dapat memilah apa yang diperlihatkan di sosial media sehingga lebih terjaga dan terawasi dari hal-hal pemicu yang tidak diinginkan. Apabila merasa tidak nyaman atas suatu kondisi yang tengah dihadapi mungkin bisa mencari cara lain yang lebih aman seperti bercerita kepada teman atau keluarga atau sekedar membuat cuitan di twitter atau ke psikiater/psikolog apabila diperlukan. Orang-orang di sekitar juga harus saling peka dan memperhatikan bahkan memberikan support atau memberikan kalimat penenang yang sesuai dengan fakta. Karena apabila kalimat penenang tersebut berisikan kebohongan yang seolah-olah akan baik baik saja, ditakutkan apabila tidak sesuai akan lari dari tanggung jawab dan melakukan sesuatu yang kurang tepat. Maksudnya agar lebih terbiasa dengan kenyataan dan dapat mengahadapinya. Maka, memang perlu melatih mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun