Ada isu menghebohkan di negara Malaysia, papan tanda berbahasa Mandarin sempat membuat kisruh parlemen Malaysia (dalam bahasa Melayu adalah Parlimen Malaysia). Bagaimana dapat terjadi? Yuk, simak pembahasannya berikut ini!
Jadi, tepatnya di Kuala Lumpur, banyak papan nama toko atau iklan yang hanya menggunakan tulisan Mandarin. Oleh karena itu, pemerintah setempat alis DBKL (Dewan Bandaraya Kuala Lumpur) langsung bergerak dan memberikan ultimatum bahwa dalam 14 hari papan tanda ini harus memakai bahasa Melayu dikarenakan itu merupakan bahasa nasional, tetapi tidak semua setuju dengan pernyataan tersebut.
Menteri Pariwisata, Seni, dan Kebudayaan Malaysia, Dato Seri Tiong King Sing, ikut berkomentar dengan mengatakan bahwa hal tersebut dapat membuat turis asing terutama dari Cina kecewa dan justru enggan ke Malaysia. Pada 24 November 2024, mengingat situasi yang berkembang ini, melalui akun Facebook Dato Sri Tiong King Sing, dirinya menyatakan bahwa banyak pengunjung asing yang mempertanyakan apakah Malaysia merupakan negara yang “rasis atau ekstrem?”
Namun, ada juga pernyataan keras datang dari Mas Ermieyati Samsudin (PN-Masjid Tanah), yang mengatakan jika dibandingkan dengan Thailand dan Indonesia, kedua negara tersebut memberikan kepuasan kepada para pelancong yang datang dengan bahasa nasional mereka sendiri. Karena itu, persoalan ini merupakan jati diri bangsa bahasa Melayu yang harus dihormati.
Sebagai tanggapan terhadap dinamika sosial yang berkembang, beberapa anggota parlemen juga menegaskan pentingnya untuk melestarikan dan mempertahankan identitas budaya dan bahasa nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur bangsa. Mereka menyoroti bahwa bahasa Melayu sebagai bahasa resmi yang harus dihargai dan dijaga keberadaannya karena merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari identitas bangsa Malaysia.
Lebih jauh lagi, mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, turut memberikan pandangannya dengan mengkritik fenomena dominasi penggunaan bahasa Mandarin yang terlihat pada papan nama toko di Kuala Lumpur. Menurutnya, hal ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai kebangsaan serta upaya untuk mempertahankan identitas negara. Poin ini kemudian memicu kekhawatiran yang lebih luas, dengan munculnya potensi krisis identitas nasional yang berkaitan dengan ketegangan sosial, terutama dalam hal rasisme dan diskriminasi, yang dapat timbul akibat perbedaan identitas etnis dan budaya di Malaysia.
DBKL mengeluarkan pernyataan resmi pada 25 November 2024, yang menegaskan bahwa penegakan hukum tersebut dilakukan untuk memastikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia tetap dihormati, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam undang-undang pemerintahan lokal.
Menurut laporan dari The Star, selama delapan bulan pertama tahun ini, Malaysia mengalami lonjakan signifikan jumlah wisatawan asal Cina, dengan total 2,29 juta kunjungan, meningkat 160 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kontroversi mengenai penggunaan bahasa Melayu pada papan nama ini terus berkembang, dengan beberapa pihak menganggapnya sebagai tindakan yang bersifat rasialis terhadap komunitas etnis Cina.
Lai Chen Heng, seorang anggota dewan penasihat Dewan Bandaraya Kuala Lumpur (DBKL), menjelaskan kepada CNA (portal berita online di Malaysia), bahwa sebenarnya terdapat kesalahpahaman terkait isu ini. Menurutnya, langkah tegas yang diambil oleh pihak berwenang bukan hanya ditujukan kepada bisnis yang dimiliki oleh warga Cina, tetapi juga mencakup tempat usaha milik warga Korea, Bangladesh, dan Arab yang tidak menggunakan bahasa Melayu pada papan nama toko mereka.
Dengan demikian, permasalahan yang telah diuraikan di atas terlihat cukup kompleks dan sangat relevan, bahkan jika terjadi di Indonesia bahasa nasional itu jelas penting untuk menjaga jati diri dan persatuan bangsa, tetapi di negara yang multikultural, seperti Malaysia atau Indonesia keberagaman bahasa juga harus dihormati. Karena itu, solusinya sederhana, yakni tetap utamakan bahasa nasional, tetapi berikan ruang untuk bahasa lain sebagai bagian dari budaya nasional jadi tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan identitas nasional tetap kuat.