Mohon tunggu...
Tasya Khairunnisa
Tasya Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

If you never try, you'll never know.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Tak Berujung: Mengungkap Bias Gender pada Masyarakat Indonesia

25 Desember 2024   09:50 Diperbarui: 25 Desember 2024   09:34 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Problematika yang sering kali terjadi dan masih menjadi sorotan di Indonesia, salah satunya adalah mengenai bias gender. Sebelum abad ke-21, diketahui bahwa berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi acapkali terjadi, khususnya pada perempuan sebagai awal dari terbentuknya perilaku bias gender. Dalam hal ini, misalnya budaya patriarki yang telah mengakar kuat dan sampai saat ini keberadaannya pun masih langgeng dalam tatanan masyarakat Indonesia. Berdasarkan budaya patriarki, terdapat anggapan bahwa laki-laki memiliki kuasa yang lebih tinggi dan dominasi atas daripada perempuan.  Budaya patriarki secara tidak adil membatasi perempuan pada tugas-tugas domestik, seperti mengasuh anak dan mengelola rumah tangga, sedangkan laki-laki diberikan akses yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, seperti di ranah politik, pemerintahan, dan ekonomi.

Lantas, apa yang dimaksud dengan bias gender dalam konteks kali ini? Yuk, simak pembahasan berikut ini!

Bias diketahui sebagai pandangan atau perlakuan yang tidak objektif, sering kali menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Sedangkan gender merupakan kategori sosial yang dibangun oleh masyarakat dan budaya, yang menentukan peran, perilaku, dan harapan yang terkait dengan laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, bias gender merupakan sikap atau tindakan yang secara tidak adil menguntungkan atau merugikan seseorang berdasarkan gendernya.

Berdasarkan data dari  Badan Pusat Statistik tahun 2023, diketahui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki memperoleh angka sebesar 77,26 dan perempuan mendapatkan 70,96 atau selisih lebih dari tujuh poin. Angka ini lebih besar sedikit jaraknya jika dibandingkan dengan data dari Badan Pusat Statistik mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2022 yang menunjukkan bahwa laki-laki memperoleh angka 76,73 dan perempuan masih di angka 70,31. Dalam hal ini, IPM perempuan terendah tahun 2023 berada di Kabupaten Asmat, Papua. Sementara itu, IPM perempuan tertinggi berada di Kota Yogyakarta dengan angka sebesar 87,47. Begitu pun dengan IPM laki-laki di kota tersebut pada tahun 2023, juga menyentuh angka 88,83, atau selisihnya adalah hampir dua poin dengan IPM perempuan. Data tersebut membuktikan bahwa wanita masih kurang beruntung dalam menikmati hasil pembangunan, seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan jika dibandingkan pria. Dalam hal ini, berkaitan dengan adanya bias gender yang menciptakan ketimpangan yang merugikan perempuan.

Seperti dikutip oleh salah satu portal berita, dalam wawancara bersama CNBC Indonesia pada 22 April 2019, Sri Mulyani (Menteri Keuangan Republik Indonesia), menyatakan bahwa kesetaraan gender erat kaitannya dengan pembangunan. Oleh karena itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akan sia-sia jika perempuan tidak diberikan peluang untuk mengembangkan bakat dan potensinya.

Konsep maskulinitas dan feminitas yang telah terpatri dalam masyarakat seringkali menciptakan pemisahan yang tidak adil antara peran laki-laki dan perempuan. Stereotipe bahwa laki-laki harus kuat dan rasional, sementara perempuan harus lembut dan emosional, telah mengakar dan melahirkan bias gender. Akibatnya, muncul stigma negatif terhadap laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan keraguan terhadap kemampuan perempuan untuk memimpin. Diskriminasi dan kekerasan yang berbasis gender pun tak terelakkan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, kesetaraan gender merupakan hal yang penting, di mana merujuk pada suatu keadaan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.  Namun, kenyataannya berbeda, masih terjadi berbagai bentuk ketidakadilan gender. Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang terjadi adalah beban ganda (double burden), yang merujuk pada situasi di mana perempuan harus menjalankan peran sebagai pencari nafkah sekaligus pengasuh dan perawat utama keluarga. Perempuan yang bekerja di luar rumah sering kali diharapkan untuk menyelesaikan tugas domestik secara sempurna tanpa bantuan dari  laki-laki, karena dalam pandangan sebagian masyarakat, laki-laki dianggap tidak perlu terlibat dalam pekerjaan rumah tangga.

Sebenarnya ketidakadilan gender muncul dalam berbagai tingkatan, seperti di tingkat negara, tempat kerja, organisasi, tradisi masyarakat, hingga dalam rumah tangga. Tidak ada bentuk ketidakadilan yang dianggap lebih penting atau lebih berbahaya jika dibandingkan yang lainnya. Semua bentuk ketidakadilan ini saling terkait satu sama lain.

Hubungan yang terjadi di sini adalah bahwa bias gender menciptakan atau memperkuat ketidakadilan gender. Misalnya, jika ada pandangan bias bahwa perempuan tidak sekompeten laki-laki dalam bidang tertentu, ini dapat mengarah pada ketidakadilan dalam kesempatan kerja dan pengambilan keputusan. Bias gender yang ada di masyarakat atau tempat kerja mendorong diskriminasi terhadap individu berdasarkan jenis kelamin mereka sehingga menghambat terciptanya kesetaraan dalam berbagai sektor kehidupan. Dengan begitu, bias gender memperkokoh ketidakadilan gender karena keduanya saling memperkuat dalam menciptakan struktur sosial yang tidak adil.

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat diketahui bahwa bias gender dapat dicegah melalui pola asuh yang baik dan adil sejak usia dini.  Selain itu, ada pula sejumlah cara lainnya untuk mencegah terjadinya bias gender, seperti mendorong dan membantu perempuan dalam mencapai tujuan mereka, memperjuangkan keseimbangan gender dalam kepemimpinan, menghormati dan menghargai perbedaan, membangun budaya yang lebih inklusif dan fleksibel, serta menegakkan kebijakan yang lebih berpihak pada kesetaraan.  Setiap individu sebenarnya dapat menjadi pemimpin dalam bidangnya masing-masing dan berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah praktis guna meningkatkan partisipasi dan memajukan kesetaraan gender.

Dengan demikian, itulah pembahasan mengenai bias gender yang masih berkembang di Indonesia, yang salah satunya berakar dari budaya patriarki yang mendalam dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Bias gender ini menciptakan ketidakadilan gender yang merugikan perempuan, seperti dalam kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara laki-laki dan perempuan, serta ketidakadilan dalam pembagian peran domestik dan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun