1. Revolusi Islam Iran
Rentang sejarah yang cukup panjang telah dilalui oleh Republik Islam Iran, mulai dari abad ke-6 SM, di mana Iran dahulunya dikenal dengan Persia (salah satu imperium terbesar yang ada di dunia selain Romawi). Dalam kancah perpolitikan dan peradaban dunia, bangsa Iran sejak dahulu termasuk ke dalam bangsa yang diperhitungkan.
Iran dalam peta dunia Islam merupakan representasi kawasan Persia, di mana penduduk mayoritasnya menganut paham Syiah Imamiyah. Sejak berdirinya Dinasti Safawi pada 1501, paham Syiah Imamiyah bisa dibilang mendapat tempat yang khusus sebagai mazhab resmi negara. Pengaruh dari mazhab Syiah Imamiyah semakin terlihat pada bangsa Iran, khususnya pasca-terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979 yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini dan berhasil menggulingkan Dinasti Pahlevi. Dalam hal ini, mazhab Syiah menjadi pengaruh dalam pembentukan struktur sosial dan pemerintahan bangsa Iran.
Negara Iran merupakan negara yang menganut Syiah terbanyak di dunia. Dalam konteks politik, Syiah memiliki misi untuk mensyiahkan dunia Islam dengan menggunakan sistem Wilayat al-Faqih. Pemegang kedaulatan tertinggi dalam hierarki kekuasaan sistem Wilayat al-Faqih adalah Allah Swt., sedangkan pemegang kekuasaan penuh adalah Imam Mahdi yang sekarang diyakini dalam masa kegaiban panjang (ghaibah kubra) dan wali fakih merupakan pelaksana tugas selama kegaiban Imam Mahdi.
Dalam hal ini, Wilayat al-Faqih merupakan sebuah konsep pemerintahan yang berkaitan dengan konsep teo-demokrasi. Dalam menghindari penyelewengan yang berpotensi dilakukan fakih, maka dipilihlah bentuk republik yang menghadirkan konsep trias politica serta pemilihan melalui pemilu.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Wilayat al-Faqih dijabat oleh seorang faqih, yang memiliki sikap adil, saleh, bijak, berani, ahli dalam hal administratif, kapabel (orang yang sanggup memangku jabatan tertentu), dan akseptabel (pantas diterima) oleh mayoritas rakyat sebagai figur panutan mereka. Kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih dipegang oleh seorang fakih yang dinilai memiliki keunggulan dibandingkan fakih yang lainnya. Fakih yang memegang kekuasaan ini disebut sebagai rahbar atau pemimpin spiritual. Jabatan ini dipegang seumur hidup, kecuali rahbar dinilai menyimpang oleh Majelis Ahli dari hukum Islam dan konstitusi.
2. Protes Kematian Mahsa Amini
Terdapat sejumlah gelombang protes terhadap rezim teokrasi Iran usai berkuasa sejak Revolusi Islam Iran 1979. Aksi massa ini dipicu oleh adanya kematian Mahsa Amini. Beberapa waktu belakangan ini, Iran dilanda gelombang protes dan kerusuhan yang terjadi di berbagai kota.
Demonstrasi yang dilakukan di berbagai kota, termasuk Teheran (ibu kota Iran), tidak jarang berlangsung secara rusuh. Demonstran melakukan pembangkangan terhadap aparat keamanan, di mana demonstran perempuan beraksi dengan membakar hijab, dan ada pula bentrokan dan pembakaran terhadap motor polisi. Tahun 2009 merupakan masa dari adanya gelombang protes yang dirasa paling mengancam rezim Ali Khamenei. Kala itu, demonstrasi yang disebabkan pemilu tahun 2009 menjadi meluas hingga muncul tuntutan reformasi secara besar-besaran.
Terkait dengan Mahsa Amini, wanita muda berusia 22 tahun yang ditangkap oleh patroli polisi moral karena penggunaan jilbab yang tidak sesuai dengan aturan yang diberlakukan di Iran. Setelah ditangkap, tak lama kemudian Mahsa Amini dilarikan ke rumah sakit karena mengalami koma dan dinyatakan meninggal pada 16 September 2022 saat dirawat di Rumah Sakit Kasra di Teheran. Pihak keluarga mengklaim bahwa Amini sempat dipukul oleh polisi moral saat di mobil, hal itu dibuktikan dengan adanya luka di bagian kepala Amini.
Polisi membantah tuduhan yang dilayangkan tersebut, dan berkata bahwa Amini dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung, tetapi pihak keluarga balik membantah dengan mengatakan Amini tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Adanya kematian mencurigakan Amini inilah yang membangunkan aksi demonstrasi besar-besaran terhadap rezim Iran.
Bahkan respons Presiden Iran terhadap kasus tersebut, semakin membuat masyarakat Iran geram terhadap rezimnya dan semakin melangkah maju untuk melakukan protes anti-pemerintah. Masyarakat Iran tidak hanya memprotes kematian Amini, tetapi juga menentang rezim yang semakin represif dan meneriakan agar berakhirnya rezim Ali Khamenei.
Dalam upaya untuk menahan gerakan protes masyarakat Iran, rezim telah mengancam untuk menahan para demonstran dan menutup platform media sosial. Pihak berwenang sering membatasi akses ke internet untuk mencegah pengunjuk rasa membagikan materi visual dan informasi di media sosial.
3. Pengaruh Revolusi Islam Iran (Aliran Syiah) di Indonesia
Pengaruh gerakan politik Syiah di Iran tersebut makin tersebar ke bermacam negara, termasuk negara yang memiliki penganut mayoritas Islam seperti Indonesia. Syiah mulai merebak di Indonesia, terutama di kalangan mahasiswa kampus. Hal itu berhubungan dengan pemerintahan otoriter oleh Suharto, membuat paham Syiah yang mencorakkan pemerintahan demokratis mudah diterima di kalangan mahasiswa. Penyebarannya tidak hanya melalui kalangan mahasiswa, tetapi juga melalui intelektual Islam Indonesia yang belajar di Iran dan juga adanya pendirian organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia.
Indonesia memperoleh sejumlah pengaruh dari adanya aliran ini. Hal ini dapat terlihat dari beberapa realitas sebagai berikut:
a. Peningkatan terhadap Jumlah Penganut
Terdapat empat tahap peningkatan jumlah pengikut Syiah di Indonesia, yaitu: Pertama, Syiah sudah ada di Indonesia sebelum terjadinya revolusi Islam Iran dan pertama kali datang di Aceh, tahap ini populasi Syiah masih kecil karena penyebarannya yang sembunyi-sembunyi. Kedua, setelah revolusi Islam Iran membuat popularitas Syiah naik di kalangan aktivis muda Islam. Ketiga, masyarakat Indonesia yang mempelajari Syiah di Iran dan membawanya ke Indonesia. Keempat, orang Syiah mulai mendirikan organisasi seperti Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia yang bertujuan mengumpulkan anggota dengan minat dan tujuan yang sama.
b. Pengembangan Kegiatan-Kegiatan di Bidang Pendidikan dan Media
Syiah telah mendirikan berbagai lembaga maupun organisasi terutama di bidang pendidikan yang sudah tersebar luas di berbagai kota. Terdapat beberapa pesantren, seperti YAPI di Bangil, Al-Hadi di Pekalongan, Dar al-Taqrib di Bangsri Jepara, Al-Mukarramah di Bandung, dan Nurul Tsaqalain di Leihitu, Maluku Tengah. Syiah juga mendirikan beberapa penerbit, seperti Mizan, Yayasan Penyiaran Islam, Pustaka Hidayah bertujuan menyebarkan tulisan-tulisan dan ide-idenya. Saat itu, tercatat terdapat 29 penerbit dan 65 yayasan Syiah yang tersebar di Indonesia.
c. Keterlibatan dalam Politik Praktis
Posisi Syiah semakin menguat dan mulai memberanikan diri tampil di depan khalayak menjelang masa Reformasi. Hal ini bisa dilihat dengan didirikannya IJABI. Organisasi ini banyak bergerak pada level lokal dan budaya masyarakat yang melengkapi logika rasional yang sudah berkembang di tengah sebagian ilmuwan Indonesia. Dalam hal ini, mereka mulai berani melakukan ritual-ritual Syiah secara terbuka seperti peringatan Asyura pada tahun 2010 di Bandung. Reformasi menurut kelompok Syiah merupakan “angin segar” bagi perkembangan mereka yang lebih besar lagi, bahkan mengarah pada kekuasaan politik sebagaimana mulai dilakukan oleh Jalaludin Rakhmat yang bergabung ke partai politik.
Selain contoh penjelasan di atas, dalam kasus yang terjadi di Sampang, ada reaksi dari pemerintah dan dunia Internasional, yang menganggap bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. Namun, mereka tidak melihat permasalahan dari akarnya. Amnesti Internasional, misalnya mengemukakan bahwa sikap kelompok Sunni Indonesia merupakan bukti berkembangnya diskriminasi menentang kelompok minoritas di Indonesia.
d. Pengembangan Kerja Sama yang Tidak Berimbang dan Cenderung Merugikan Kepentingan Nasional Indonesia
Berbagai kerja sama dikembangkan oleh Iran terhadap pemerintah Indonesia pada berbagai bidang, misalnya minyak, teknologi, militer, kedokteran, dan sosial budaya. Jika dikaji lebih mendalam lagi, terlihat bahwa ada kepentingan penyebaran Syiah yang cukup nyata dalam berbagai kerja sama tersebut. Di pihak lain, jika membicarakan mengenai hubungan diplomatik antarnegara, prinsip yang seharusnya berlaku adalah perlunya kerja sama reciprocal yang saling menguntungkan dan tidak mengganggu keutuhan dari negara lain.
Permasalahan yang terjadi dalam kerja sama dengan Iran adalah adanya ancaman Syiah terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia yang belum dipahami secara umum oleh berbagai kalangan masyarakat. Jika diamati dari efek kerja sama itu, terdapat perubahan budaya dan nilai yang berkembang di tengah masyarakat, serta memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan sekadar perubahan secara materi. Permasalahannya adalah tidak jarang karena persoalan materi, orang bersedia untuk mengubah budaya dan nilai yang dimilikinya.
Menurut Yumitro, dkk, dalam karya yang berjudul Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Kawasan Timur Tengah: Sebuah Analisa Opini Publik: Laporan Akhir (2014), terdapat beberapa kepentingan materi, terutama dalam hal kebutuhan minyak, di mana dari nilai perdagangan Indonesia dengan Iran, 88% nya merupakan impor Indonesia terhadap minyak Iran. Dari sinilah, pemerintah seakan mengabaikan bagaimana efek sosial budaya yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H