Di Indonesia, keracunan akibat obat-obatan menjadi kasus keracunan tertinggi kedua setelah keracunan akibat gigitan hewan (Febriani, dkk., 2019). Obat-obatan yang seharusnya dapat meringankan ataupun menyembuhkan gejala penyakit justru mengakibatkan kerugian pada konsumennya, bahkan mengakibatkan kematian. Keracunan obat dapat terjadi sebab adanya zat-zat berbahaya ataupun zat-zat kimia dengan kadar berlebih yang terdapat pada obat-obatan (Tharif, R. M. & Wiyanti, D., 2024). Tentu hal ini penting untuk segera ditinjau dengan tuntas oleh berbagai pihak, baik oleh pihak produsen, distributor, konsumen, pengawas, ahli kesehatan, dan berbagai profesi lintas sektor, agar kasus keracunan obat ini dapat dihilangkan. Artikel ini akan membahas salah satu kasus terbaru terkait keracunan obat di Indonesia, yaitu keracunan obat sirup pada anak-anak.Â
Kasus keracunan obat sirup di Indonesia yang terjadi pada tahun 2022 menjadi salah satu tragedi kesehatan yang paling memprihatinkan dalam sejarah. Penelitian yang melibatkan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), epidemiolog, dan ahli teknologi menunjukkan bahwa obat sirup yang dikonsumsi oleh anak-anak telah terkontaminasi bahan kimia yang berbahaya, yaitu Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Senyawa-senyawa tersebut digunakan sebagai pelarut dalam obat cair dengan tujuan melarutkan bahan aktif yang tidak larut air seperti paracetamol. Sesuai ketentuan Farmakope, ambang batas aman cemaran EG dan DEG adalah 0,5 mg/kg berat badan per hari. Namun, paparan berlebihan terjadi pada kasus ini sehingga menyebabkan keracunan akut, terutama kerusakan pada ginjal jika tertelan. Kontaminasi EG dan DEG ini diduga terjadi akibat kelalaian produsen, yaitu PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical yang ingin menggunakan bahan baku murah demi menekan biaya produksi obat (Pratidina M., 2024).Â
Kelalaian yang mengakibatkan berlebihnya kandungan EG dan DEG dalam obat sirup yang beredar ini tentu berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen, terutama pada anak-anak yang mengonsumsinya. Dampak awal korban yang mengonsumsi obat sirup beracun ini adalah adanya gejala sering mual, muntah, demam, dan tidak nafsu makan dalam jangka waktu yang terus menerus. Meskipun termasuk gejala ringan, dampak keracunan obat sirup ini akan membahayakan korban jika tidak segera ditangani. Selain itu, korban yang masih mengonsumsi obat sirup beracun tersebut dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada anak, bahkan berujung pada kematian. Kasus ini telah tercatat mengakibatkan 324 anak terdiagnosis gagal ginjal akut dengan 199 anak di antaranya dikabarkan meninggal (Fahreza, 2023; Pratidina M., 2024).Â
Kelalaian produsen pun tidak lepas dari kelalaian pengawasnya, yaitu BPOM. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kelalaian BPOM ini adalah ketiadaan standar internasional untuk EG dan DEG. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam memastikan bahwa produk yang diimpor memenuhi kriteria keamanan yang diperlukan. Selain itu, kurangnya pengawasan yang memadai terhadap peredaran obat sirup pun menjadi faktor penyebab terjadinya kelalaian BPOM (Nur, H. & Harsono,H., 2024)Â
Kelalaian dalam kasus keracunan obat sirup ini telah memicu banyak tanggapan masyarakat. Banyak orang tua yang merasa cemas dan marah setelah mengetahui fakta bahwa anak-anaknya telah menjadi korban akibat kelalaian produksi obat. Hal ini mendorong mereka untuk bersuara lebih keras dalam menuntut keadilan. Untuk menuntut pertanggungjawaban dari produsen dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), masyarakat aktif mengadakan protes dan kampanye. Masyarakat menuntut agar pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap produk farmasi. Masyarakat pun menuntut transparansi dalam proses pengujian dan pelaporan hasil uji kualitas obat agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi (Tharif & Wiyanti, 2024).
Sebagai respons, pemerintah telah mengambil langkah-langkah cepat untuk menanganinya. Tindakan darurat yang dilakukan untuk mengurangi efek keracunan adalah dengan memberikan Antidotum Fomepizole. Selain itu, pemerintah juga memperketat regulasi terkait bahan baku farmasi dan melarang penjualan obat sirup yang tercemar. Dalam proses hukum, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis bersalah kepada perusahaan yang terlibat dan mewajibkan pembayaran ganti rugi sebesar Rp60.000.000,00 kepada keluarga korban (Pratidina, M., 2024).
Untuk mendukung penyelesaian kasus, tetap diperlukan adanya evaluasi terhadap BPOM dengan langkah konkrit yang jelas (Dewi, dkk., 2023). Pertama, BPOM perlu memperkuat sistem surveilans dan pengawasan terhadap produk obat yang beredar dengan melakukan sampling dan pengujian secara rutin untuk memastikan tidak ada kontaminasi bahan kimia di atas ambang batas aman. Selain itu, BPOM harus meningkatkan transparansi dalam proses pengujian dan pelaporan hasil kepada publik untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. BPOM juga perlu melakukan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap produsen yang terbukti melanggar regulasi, termasuk pencabutan izin edar dan sanksi administratif, agar industri farmasi lebih bertanggung jawab dalam memproduksi obat yang aman. BPOM pun diharapkan dapat meningkatkan program edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya keamanan dan kualitas obat serta makanan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan BPOM dapat mencegah terjadinya keracunan obat di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, peran BPOM sebagai regulator, edukator, penegak hukum, dan inovator adalah kunci untuk mencegah terjadinya keracunan obat pada masyarakat. Adanya kerjasama BPOM dengan institusi kesehatan, akademisi, dan organisasi sipil pun penting untuk ditingkatkan. Dalam hal ini, tenaga kesehatan, baik dokter, apoteker, maupun perawat, tidak hanya bertugas memberikan pengobatan tetapi juga berperan dalam pengawasan terhadap kualitas obat yang beredar, pemeriksaan rutin, dan pengadopsian teknologi terbaru.
REFERENSIÂ
Dewi, dkk. (2023). Edukasi Penggunaan Pelarut Dalam Sediaan Obat Sirop Pada Wali Murid Di Paud Nusa Indah, Cemani, Sukoharjo. Jurnal Pengabdian Masyarakat