Mohon tunggu...
Tasyaa Filla
Tasyaa Filla Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DLP, Dokter Layanan Primer atau Pemerintah?

21 Februari 2018   14:22 Diperbarui: 21 Februari 2018   14:33 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: gapyear.com

Sebuah polemik yang sempat membawa seribu dokter melakukan unjuk rasa di depan istana negara pada 2016 lalu ternyata sekarang sudah berada ditahap selanjutnya. Tepat 4 tahun yang lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor122/PUU-XII/2014 mengenai dokter layanan primer (DLP) terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. 

Pada putusan tersebut terdapat aturan mengenai pembentukan dokter layanan primer. Keluarnya aturan ini menimbulkan berbagai reaksi, terutama para dokter Indonesia. Berbagai pendapat pun bermunculan dengan diadakannya spesialisasi ini. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran sangat menentang pengadaannya dokter layanan primer ini karena berbagai alasan. Namun pada 2018 ini, pemerintah sudah berhasil menghadapi tentangan yang ada dan menghasilkan lulusan dokter spesialis dokter layanan primer.

Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDM Kesehatan) Kemenkes Usman sangat mendukung jalannya program dokter layanan primer ini. Beliau menyatakan bahwa hal in dapat mendorong pelayanan kesehatan di daerah terutama untuk penyakit primer. Beliau juga mengatakan bahwa program ini dirlis untuk memperbaiki sistem, sumber daya manusia, serta merasionalkan biaya kesehatan. 

Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa dokter layanan primer ini memiliki beberapa perbedaan dengan dokter umum. Yang paling signifikan adalah dokter layanan primer ini akan dijadikan sebagai komunikator yang baik dan pendekatannya langsung ke tiap-tiap rumah. Sehingga masyarakat dapat diberikan aksi preventif dan deteksi dini penyakit serta tidak menutup kemungkinan bagi dokter layanan primer untuk memberikan perawatan dan penyembuhan terhadap penyakit tersebut. Program ini dibentuk dengan tujuan untuk meminimalisir angka rujukan ke jenjang sekunder.

Di lain hal, IDI tidak menyetujui diresmikannya spesialisasi dokter layanan primer. Yang utama, dikarenakan kompetensi dokter pelayanan primer yang diminta sudah tertera dalam kompetensi dokter umum sebagaimana tertera di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Sehingga program ini dinilai tidak perlu untuk dilakukan karena sudah diajarkan pada jenjang Pendidikan dokter S1. Selain itu, masa studi untuk spesialisasi ini cukup lama yaitu 6 semester atau 3 tahun. Hal ini juga dijadikan poin penting karena dokter umum di Indonesia telah melewati masa studi yang cukup lama. 

Setelah menjadi dokter umum mereka akan melakukan internship. Pada saat itulah mereka menjadi dokter layanan primer karena mereka bekerja di tingkat primer (puskesmas, klinik, dsb). Jika untuk melakukan pelayanan primer itu harus memiliki gelar SpDLP, maka dapat dibayangkan bahwa seorang dokter umum setelah mengalami internship, mereka langsung spesialis agar mereka dapat menjadi dokter layanan primer. Menjadi dokter layanan primer memakan waktu 10 tahun dan saat bekerjapun menyingkiri porsi untuk dokter umum. Hal tersebut dianggap akan sangat membuang-buang waktu serta anggaran yang diberikan. Maka itu, IDI mengambil beberapa sikap untuk menanggapi putusan tersebut melalui Siaran berita PB IDI pada 10 Desember 2015. Pada siaran tersebut, IDI sangat mengapresiasi dan menghormati dikeluarkannya putusan tersebut. 

IDI memberikan beberapa masukan dan solusi. Agar tidak terdapat tumpang tindih Pendidikan mengenai layanan primer, maka IDI mengusulkan penambahan kompetensi yang lebih terstruktur pada dokter umum melalui P2KB agar sesuai dengan kebutuhan dengan masa studi yang tidak begitu lama. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan bantuan dan memprioritaskan fakultas kedokteran dengan akreditasi B dan C. sehingga dapat menaikkan kualitas lulusan dokter yang dapat bekerja langsung di masyarakat. IDI juga mengagaskan bahwa akan menjadi lebih efektf jika fungsi promotive dan preventif kesehatan dinaikkan porsinya bagi lulusan ahli kesehatan masyarakat serta membenahi fasilitas, jumlah klinik, dan jumlah dokter yang bekerjasama dengan BPJS.

Terdapat banyak kritik mengenai hal ini, terutama oleh dokter-dokter dari berbagai kalangan. dr Dede Candra Permanda, aktivis DIB (Kelompok Indonesia Bersatu) dan anggota IDI DIY Yogyakarta, merasakan adanya kejanggalan pada perumusan ide ini. Ia menyatakan bahwa kurikulum yang diajarkan pada spesialisasi dokter layanan primer mirip dengan kurikulum Pendidikan dokter S1. Selain itu, dosen yang mengajarnya pun baru menguasai materi dalam waktu 6 bulan. Sehingga beliau menganggap program ini mengabaikan kinerja dokter umum. Menurut beliau, yang menjadi masalah di Indonesia bukanlah pada pelaku pelayanan kesehatan primer, melainkan pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai untuk menjalankan fungsi pelayanan kesehatan primer.

Disamping adanya protes dan kritik mengenai program dokter layanan primer ini, Menteri Kesehatan tetap miminta IDI untuk menaati aturan DLP. Namun IDI pun tidak menalan secara mentah-mentah dikarenakan aturan mengenai DLP belum ada turunannya (Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri). Meskipun begitu, program ini tetap dilaksanakan oleh pemerintah. Sudah terdapat beberapa universitas yang mengadaakan program spesialisasi ini. 

Bahkan Juru bicara aksi damai IDI, Agung Sapta Adi, menyampaikan bahwa program ini dilakukan secara sepihak oleh Kementrian Kesehatan karena belum dibahas bersama Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Pada 2018 saat ini, sudah ada lulusan dari program tersebut. Namun belum dijelaskan lebih lanjut mengenai penempatan mereka.

Sebagai mahasiswa, alangkah baik dan bermanfaatnya untuk berfikir secara filsafat dan tidak apatis terhadap isu-isu yang terjadi di Indonesia. Isu-isu seperti inilah yang menjadi tantangan bagi mahasiswa untuk memakai nalarnya dan mengemukakan pendapatnya demi tercapainya Tujuan bersama. Dalam konteks ini, mahasiswa dapat secara akhif memberikan masukan mengenai program ini serta menganalisis apa manfaat dan kerugian yang akan didapatkan dari kedua sisi. Sedangkan masyarakat secara luas, harus  dapat mengkritisi serta mendukung secara penuh keputusan yang diambil. Karena ujung dari jalan ini adalah demi kepentingan kesehatan masyarakat secara luas. Karena ini untuk masyarakat, maka masyarakat juga harus ambil bagian dalam menentukan jalan atau program yang akan memberikan dampak kepada mereka.

Jika dilihat dari kedua sisi, mereka memiliki visi yang sama, yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan primer. Yang membedakan adalah sudut pandang dan misi yang mereka lakukan. Berdasarkan fakta dan keterangan diatas, maka jelaslah terlihat jalan mana yang dianggap paling efektif. Pendangan saya, jalan yang ditawarkan oleh IDI lebih fisible, efisien, serta hemat anggaran. Karena yang menjadi masalah adalah kualitas tenang dan fasilitas kesehatan. Sedangkan tiap tahunnya, dihasilkan banyak lulusan dokter di Indonesia. 

Sangat disayangkan program tersebut sudah berjalan dan sudah ada lulusannya. Maka diharapkan lulusan yang sudah ada dapat membawa perubahan yang baik bagi pelayanan kesehatan primer.Lebih baik jika pemerintah membenahi yang sudah ada terlebih dahulu juga untuk efisiensi waktu, tenaga, dan anggaran serta membahasnya dengan KKI. Apakah dengan kesebelahpihakkan keputusan ini, ada kepentingan lain? Kita tidak akan tahu kecuali kita yang mencari tahu dengan secara aktif mengkritisi kebijakan pemerintah.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun