Sejak kecil, aku selalu menjadi bahan perundungan yang paling empuk bagi teman-teman di sekolahku. Bukan karena aku memiliki paras wajah yang jelek, atau merupakan anak perempuan yang berpakaian dekil. Tetapi karena aku dianggap sebagai 'anak haram'. Karena katanya, Mama pernah melakukan perbuatan tercela saat dirinya baru saja menginjakkan kaki kelas 2 SMA.
Tentu saja hal itu tidak dapat aku percayai bulat-bulat. Karena aku menganggap, bahwa Mama adalah orang tua perempuan yang baik dan selalu memperhatikan tumbuh kembang anaknya.
Mama tidak pernah sedikitpun mengalihkan perhatiannya dariku. Mama selalu berusaha sebisanya, untuk membuatku merasa nyaman dan aman dalam didikan dan lindungannya.
Tapi, tak dapat di pungkiri juga. Aku selalu menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya. Pertanyaan yang membuat Mama mengulum senyum tipis, lalu mengalihkan matanya dari manik hitamku. Dulu saat aku SD dan SMP, aku tidak mengerti maksud gelagat Mama. Aku hanya ber'oh' ria dan berhambur memeluk Mama.
Lalu mengatakan tiga kalimat, hanya untuk menenangkan hati Mama. "Tidak apa-apa jika Papa tidak ada di dunia ini lagi. Asal ada Mama, Diana udah senang. Karena Mama adalah mutiara Diana satu-satunya."
Setelah mengatakan hal itu, aku langsung mengecup pipi Mama dan mengulas senyum manis. Hal itu tentu saja di balas Mama dengan mengecup seluruh wajahku bertubi-tubi. Membuatku merasa geli.
Namun, hal itu membuat pandanganku terhadap orangtua laki-laki berubah. Saat aku SMA, aku merasa iri dengan teman-temanku. Karena mereka diantar dan di jemput oleh orangtua laki-lakinya. Bahkan orangtua laki-lakinya rela menunggu anaknya sampai bel pulang berbunyi.
Aku yang waktu itu hanya bisa pulang dan pergi dengan angkutan umum merasa iri dan minder. Terlebih lagi, teman-temanku semakin menjadi-jadi mengejekku 'anak haram'.
Maka saat cuaca tidak begitu bagus di hari itu. Seolah mendukung suasana hatiku yang gelisah dan iri. Aku memilih untuk pulang dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan aku menangis hebat, memikirkan ucapan teman-temanku. Bahwa aku adalah anak haram yang tidak seharusnya terlahir di dunia. Aku hanya akan membawa kesialan bagi orang di sekitarku. Aku semakin mengencangkan suara tangisanku, bersamaan dengan hujan yang semakin lebat.
Sesampainya di rumah, aku berdiri di depan pintu. Di depanku, Mama menyambutku dengan raut wajah khawatir. Dia segera mengambil handuk milikku, lalu menghampiriku yang masih terdiam di depan pintu dengan mata memerah.
Aku menepis tangan Mama, hingga handuk yang di pegangnya terjatuh. Mama terkejut bukan main. Dia segera memungut handuk tersebut dan bertanya dengan nada suara rendah.
"Ada apa Diana? Apa yang terjadi?"
Aku masih terdiam menatap Mama. Untuk sejenak, aku menghela napas, lalu menghapus jejak air mata yang tersisa di pipiku.
"Kenapa Diana tidak punya Papa? Sebenarnya Papa dimana Mah? Dia masih hidupkan? Kalau dia masih hidup, kenapa Papa tidak pernah melihat Mama dan Diana sekalipun?" Aku bertanya secara berturut-turut. Mengepalkan tangan sekuat tenaga.
Seharusnya aku tidak marah pada Mama, tetapi mau bagaimana. Rasa iri sangat menguasaiku saat itu. Terlebih lagi bayang-bayang teman-temanku yang selalu menyebutku anak haram terus berputar bak kaset usang tanpa henti.
"Diana, kenapa kamu menanyakan hal itu lagi? Bukankah Mama sudah lama menjelaskan--"
"Menjelaskan apa Ma? Mama tidak menjelaskan keberadaan Papa. Mama hanya mengatakan bahwa Papa tidak ada di dunia ini sehari sebelum aku lahir. Mama bahkan tak pernah mengatakan lebih rinci lagi, kenapa Papa bisa meninggal. Apa karena kecelakaan atau karena sakit. Mama juga tidak bisa menjelaskan bagaimana rupa Papa, bahkan foto Papa saja, Mama tidak punya. Mama juga tidak mengatakan apapun, tentang pekerjaan Papa.Â
Setiap kali Diana bertanya tentang Papa, Mama selalu mengalihkan pembicaraan. Bahkan untuk tugas sekolah, Mama hanya meminta Diana untuk menuliskan tentang kita berdua, tanpa adanya Papa." Aku sungguh telah diselimuti rasa iri dan amarah.
Kalimat panjang tanpa henti yang aku ucapkan, membuat Mama terdiam seribu bahasa. Tuhan, mengapa aku begitu emosional sekali saat itu. Sampai membuat Mama terdiam seribu bahasa dan teganya, aku meninggalkan Mama di depan pintu. Waktu itu, aku merasa akan percuma mendengar ucapan Mama tentang Papa. Karena Mama akan mengucapkan kalimat yang selalu berulang dan itu sudah sangat hapal di benakku.
***
Hari itu, aku sangat menyesal akan ucapan yang aku lontarkan pada Mama. Kalimat-kalimat yang membuat Mama tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Bahkan Mama tidak meninggalkan pesan padaku satu kata pun. Entah kemana Mama pergi, hingga sekarang keberadaan Mama tidak dapat aku temukan.
Bahkan aku sudah melaporkan kehilangan Mama kepada pihak kepolisian. Tetapi hasil pencaharian polisi nihil. Mama menghilang disaat aku sedang diselimuti rasa marah.
Di teras kamar lantai atas, aku menggenggam bagian tepi pagar teras. Menitikkan air mata yang diselimuti penyesalan yang begitu dalam.
"Mah, maafin Diana. Maafin Diana. Diana egois Mah. Diana nggak bisa mengontrol emosi. Maafin Diana yang telah membentak Mamah hari itu. Diana benar-benar sangat menyesal Mah. Mah, kembali Mah. Diana takut sendirian Mah."
Tubuhku merosot ke lantai. Duduk dengan memeluk tubuhku yang semakin rintih memikirkan bagaimana nasib Mama saat ini. Apakah Mamah masih hidup, atau telah tiada? Apa kabar yang akan aku dapatkan? Bagaimana Mama bisa bertahan hidup di dunia yang begitu tak adil padanya. Bagaimana Mama mencari jalan untuk dapat kembali ke rumah ini.
"Mah, Diana benar-benar minta maaf Mah. Kembali Mah. Kembali!" Aku semakin terisak. Membayangkan banyak kejadian yang terjadi pada Mama beberapa tahun belakang.
Tuhan, aku tau aku salah. Tolong kembalikan Mamahku Tuhan. Aku benar-benar hilang akal sekarang ini Tuhan. Aku benar-benar tidak tau harus dengan cara apa lagi mencari Mamah Tuhan. Hukum saja aku Tuhan. Karena aku yang salah telah egois pada sosok perempuan sebaik dan selembut Mamah Tuhan.
Mataku terpaku pada dua orang menggunakan seragamnya. Tanpa berpikir panjang, aku segera turun dan membuka pintu rumah. Mengharapkan banyak sekali berita yang selama ini aku nanti. Mengharapkan satu nama yang selama ini aku cari. Mengharapkan kabarnya yang selama ini aku tunggu.
"Selamat siang, dengan saudari Diana?"
Aku mengganguk cepat saat salah satu orang berseragam itu bertanya.
"Kami telah menemukan keberadaan Mama kamu. Tapi..."
Aku mengernyitkan dahi saat polisi menghentikan ucapannya. "Ada apa pak? Apa yang terjadi pada Mama?"
"Beliau sekarang berada di rumah sakit jiwa. Kami menemukan beliau, setelah ada laporan dari warga. Beliau mendapatkan kekerasan seksual pada malam hari lalu, oleh seseorang yang tidak di kenal," ujar polisi tersebut.
Aku terdiam mendengar ujaran polisi tersebut. Rasanya jantungku berdetak lebih cepat. Tanganku dingin seperti es batu. Mulutku tidak bisa berkata-kata, yang aku tau saat ini adalah menemui Mama ke rumah sakit jiwa. Meminta maaf berkali-kali kepada Mama.
"Mamaaa!"
***
Aku tau Tuhan, ini memang kesalahanku. Kesalahan terbesar yang sampai membuatku merasa, bahwa aku tidak lagi bisa mendapatkan maaf Mama. Aku tau Tuhan, hidupku sudah tidak lagi sempurna semenjak hari dimana aku marah pada Mama. Dan aku tau Tuhan, bahwa di detik ini. Mama bukan lagi sosok yang aku kenal. Mama bahkan tidak mengetahui siapa aku. Mama hanya bermenung, terdiam di sudut kamarnya. Menatap kosong pada tembok di depannya.
Selang beberapa menit kemudian, Mama menjerit histeris. Memukul perutnya, lalu menarik rambutnya. Memanggil satu nama yang tidak aku kenali.
"Satria baj*ngaaann!!!!"
Dua kata yang membuat hati Mama terluka lebih dalam. Dari balik jendela yang diberi jeruji besi itu, aku melihat Mama menangis tanpa henti. Mengeluarkan banyak air mata, hingga matanya bengkak dan menghitam.
Kondisi Mama begitu mengenaskan. Tangannya di balut banyak sekali kain kasa. Banyak juga luka goresan panjang yang aku tidak tau itu diakibatkan oleh apa. Melihat Mama yang begitu mengenaskan, membuat diriku semakin merasa bersalah. Rasanya aku memang tidak bisa lagi mendapatkan maaf Mama. Sama sekali tidak bisa.
"Tuhaaannn, maafkan aku Tuhan. Maafkan aku. Aku bukan lagi manusia yang sesuci bayi. Aku bukan lagi manusia seputih kertas. Aku bukan lagi manusia baik. Aku bukan lagi manusia yang lurus di jalan-Mu, Tuhan. Aku telah ternodai Tuhan. Aku menodai diri aku sendiri Tuhan. Aku menyesal Tuhan. Aku menyesal."
"Tuhan, aku sungguh telah di butakan oleh duniawi Tuhan. Maafkan aku Tuhan. Tapi Tuhan," aku melihat Mama duduk dengan posisi berdoa. Wajahnya dipenuhi dengan rasa bersalah. "Tuhan, jangan hukum anakku. Dia tidak mengetahui apapun yang terjadi pada Mama nya yang telah menodai dirinya sendiri Tuhan. Jangan jadikan hidupnya sengsara Tuhan. Perbuatan itu hanya aku yang melakukannya Tuhan. Anakku tidak bersalah sama sekali Tuhan. Anakku tidak tahu apa-apa Tuhan. Anakku bukan anak haram Tuhan," Mama menangis hebat setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut.
Mama kembali menegakkan kepalanya. Menjambak rambutnya sekuat tenaga. Berteriak histeris dan lagi-lagi memanggil satu nama yang tidak aku kenali sama sekali.
"Tuhan, aku tau jika aku mati sekarang dengan mendahului Engkau. Maka aku tidak akan bisa bertemu dengan anakku di surga nanti. Tapi tidak mengapa Tuhan, aku tidak ingin anakku malu Tuhan." Mama menggeleng pelan. Mama tersenyum tipis sembari menatap lurus ke depan. "Aku yang malu Tuhan. Aku malu dengan anakku. Jadi Tuhan, izinkan aku untuk mengakhiri diri sekarang."
Mama mengeluarkan pisau kecil dari kantong bajunya. Dengan cepat, mama mengarahkan pisau tersebut ke urat nadi yang berada di pergelangan tangan dan menyeretnya.
Melihat hal itu, aku segera memanggil suster yang ada disana untuk diminta membuka pintu kamar. Aku berlari mendekati Mama yang tersenyum melihatku. Dengan cepat, aku memeluk Mama. Menangis dalam pelukannya dengan. Mengucapkan beribu kata maaf kepadanya.
"Maafin Diana Mah. Maafin Diana. Diana telah mengatakan hal yang tidak-tidak kepada Mama. Diana minta maaf Mah," ucapku menatap Mama yang malah tersenyum kepadaku. Mama membelai rambutku dengan tangan kanannya.
"Kamu nggak salah. Anak Mama nggak pernah salah. Maafin Mamah ya Diana."
Untuk sesaat, Mama terlihat kelimpungan. Mencoba untuk menyadarkan. Mama kembali tersenyum padaku.
"Kamu nggak perlu menanyakan keberadaan Papa. Karena kamu sama sekali tidak memiliki sosok Papa. Jika suatu saat seseorang datang ke hidup kamu. Jangan kamu tanggapi yaahh."
Mama membelai rambutku sekali lagi. Lalu menghapus air mataku dengan begitu lembut. "Mama sangat sayang sama kamu, Diana."
Setelah mengatakan satu kalimat itu. Perlahan, mata Mama tertutup. Darah terus mengalir dari pergelangan tangannya. Aku menangis hebat, memeluk tubuh Mama yang mulai dingin dan tidak lagi dirasakan detak jantungnya.
"Diana juga menyayangi Mama. Sangat-sangat menyayangi Mama."
Tuhan, tolong ampuni dosa-dosa Mama. Mama memang bukanlah manusia suci, tapi Diana memohon kepada-Mu Tuhan. Jangan buat Mama tersiksa juga di akhirat, Tuhan.
-End-
Biodata :
Nama lengkap adalah Raudhatul Tassya Khairunisa, dengan memiliki nama panggilan Acha ini merupakan mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Acha sedang mencoba mencari jati dirinya dengan berkedok self love dan healing yang healing nya kadang terwujud dan kadang enggak. Dirinya senang menulis cerita fiksi dan non-fiksi. Acha akan semangat untuk menulis cerpen yang bermutu. Bismillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H