Kumohon, jangan membuang mawar yang telah ditanamkan padamu. Kau tahu mawar adalah bagian dari kasih sayang Tuhan, pantaskah dirimu jika membuang dan mengabaikan pemberianNya? Apalagi sampai merusak.
Senja sore sempat menjadi bersimpuhnya perbincangan kami. Gemericik air melibatkan dirinya dalam suasana yang membingungkan ini? Apakah, bahagia atau sendu aku tak mampu menamainya. Sebab pada suasana sore ini rona kekuningan perlahan menimpalkan dirinya untuk bergeser digantikan gelapnya malam. Angin yang menari-menari menarik perhatian daun talas yang sedang tenang sehingga menghanyutkan kami dalam suasana tenang.
"Sejatinya, kamu adalah golongan dari makhluk yang indah. Semua yang ada padamu merupakan keindahan, tak tanggung-tanggung dunia ini akan mengutuk siapa saja yang membuatmu kecewa. Sadarlah, engkau akan menjadi seorang yang jika disakiti akan dirasa malati. Dunia ini berjalan, semua yang ada ini juga peranan dari golonganmu. Memang, Siapa saja yang memandangmu pasti akan terlena, bibir manismu yang tipis akan menjadi sasaran manusia bengis. Lantas, sudahkah kau lihat perlakuanmu? Engkau berbuat sesuatu tanpa kau pikirkan dahulu, bermanis-manisan dengan semaumu. Kau anggap itu hal biasa, tidak ada masalah dengan semuanya. Padahal yabg kau lakukan adalah sama saja menjatuhkan martabatmu. Kau lihat! Anak-anak yang membawa botol aqua hidup serba kekurangan, engkau memandangnya dengan tengkokmu. Seakan tak mengetahui dan tak mau tahu tentang dia. Padahal, jika engkau mengerti, anak-anak itu bekerja susah payah untuk mencukupi kehidupanya, bahkan ada yang untuk biaya berobat ibunya juga sebagian sebagai saku untuk membayar sekolahnya. Perhatikan, setiap botol aqua yang ia lihat berserakan diambil olehnya. Bukankah manis sekali perbuatanya? Lebih manis dari yang kau anggap manis dalam hidupmu. Mengapa hatimu tak pernah terketuk ketika melihatnya? Masih saja keenakan dengan apa yang kau punya sekarang, perhatikan. Setiap langkah yang ia jalani disertai dengan nurani, mengambil sampah untuk dijual juga merupakan kebaikan membantu kebersihan. Sedangkan dirimu? Kapan mengambil sampah? Plastik jatuh saja tidak mau mengambil. Coba renungkan lagi!"
Aku terdiam, sementara nelayan muda itu tetap mengoceh dan menambah buih-buih kata yang semakin menyesak di dadam.
"Bukankah kamu diciptakan Tuhan untuk beribadah? Engkau adalah seorang wanita yang dibesarkan dengan kasih sayang. Dijadikan sebagai orang yang paling mulia setelah Tuhan dan Nabi. Bahkan Nabi saja tidak berani mencegah sahabat ketika ibunya memanggil. Masih ingatkah tidak sadarkah engkau, ingat cerita pada zaman nabi. Untuk menghiraukan wanita saja tidak mau. Apalagi merhargai, untuk segenggam pasir sama ukuranya seperti seorang wanita. Namun ketika datangnya Nabi, derajatmu diangkat menjadi makhluk yang sangat mulia. Sampai di ibaratkan surga ada di telapak kaki Ibu (wanita). Bukankah dengan menutup aurat menjaga tubuhmu dengan baik engkau disebut wanita salehah. Lantas, mengapa engkau tidak melakukan? Apakah itu sulit untukmu? Yang bukan wajib juga bukan sunnah kau kejar mati-matian. Sementara engkau abaikan seberti angin lewat yang wajib engkau lakukan. Engkau berebah-rebahan, tak menggubris itu adalah kepentingan bagimu. Malah kau anggap aku adalah seorang nelayan gak berpendidikan.
Aku teemenung. Benarkah aku seperti itu? Kataku dalam hati meratapi.
"Sebongkah pakaian baru dengan kain yang kurang, tidak menutupi anggota autratmu malah bermerk tinggi kau beli. Namun untuk membeli jilbab dan gamis-gamis panjang engkau tak mampu. Begitu kau anggap engkau adalah orang hebat, kaya, dan mampu untuk membeli semuanya. Perkaara jilbab saja tidak pernah kau beli. Masih merasa engkau adalah yang paling baik diantara anak-anak itu?Anak kecil berjilbab dengan celana pendek rombeng tak rela jika rambutnya saja dilihat orang lain sementara dirimu berambut lurus nan bagus malah engkau pamerkan. Sungguh, Ketika mati nanti bukan berapa banyak koleksi baju hitsmu. Tidak tentang merk apa pakaianmu? Buakn itu yang ditanyakan malaikat, tapi untuk apa saja harta yang telah Allah berikan padamu? Berkali-kali masa tua mu kau jadikan tameng dari pertanyaan mengapa engkau tidak berhijab dan berpakaian terbuka? Aku masih penasaran sebenarnya engkau lupa atau malas menjaga dirimu?"
Belum sempat aku menyela perkataanya, kembali lagi nelayan muda itu nerocoh lebih tajam.
"Engkau yang mengaku seorang guru di sekolahan ternama, muridmu banyak dengan berbagai suku dan ras. Selalu engkau memberi nasihat, menuturkan kata-kata baik terhadap para muridmu untuk berbuat baik dengan orang lain saling tolong-menolong. Lantas, dengan apa yang engkau tuturkan sudahkah engkau kerjakan? Apa hanya sebagai pemerindah dirimu layaknya sebagai guru? Rasanya semua itu akan sia-sia saja.Tahukah dirimu besok yang menerima siksa yang berat adalah mereka yang memberi contoh namun tidak mencontohkan, sadarlah engkau adalah seorang guru yang bicaramu digugu lan ditiru. Setiap engkau yang ucapkan menjadi pedoman muridmu, namun jika sampai muridmu mengetahui perbuatan yang engkau lakukan semua ini apakah mereka tidak akan kecewa? Cobalah berfikir, jangan engkau lakukan hanya semata sekedae melakukan kebaikan tanpa alasan atau hanya melakukan pekerjaan."
Sejenak nelayan camping muda menghela nafas. Kini kesempatanku menyerobot untuk membela diri.
"Bukankah aku sudah melakukan yang aku lakukan? Aku sudah menjalankan sholat, puasa juga zakat. Apakah itu belum cukup?" Kataku geram.
"Ya, memang benar melakukan sholat. Tapi yang engkau lakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban, dengan waktu yang singkat tanpa engkau maknai setiap gerakan sholat seperti orang makan tanpa kunyahan. Lalu engkau menganggap dengan pedenya sudah melakasanakan tangungan. Pernah kau berkan terhadap muridmu bahwasanya sholat adalah perbuatan yang mencegah keji dan mungkar, juga kau katakan sholat adalah tiang agama bagi siap yang tidak menegakkan sholat maka akan roboh agamanya seperti bangunan tanpa tiang. Coba, kau renungkan lagi jika sholatmu hanya sekedar sholat bukankah sama saja membangun bangunan dengan tiang yang seadanya dan sekedar bangunan tiang. "
"Aku juga menyebarkan ilmuku pada orang lain. Memberikan semua yang aku tahu." Balasku yang semakin tidak terima dengan segala cercaan.
Aku sangat keberatan dengan apa yang ia katakan. Diriku seperti maling saja. Kubela diriku dengan sebisaku kupanerkan semua perbuatan baikku padanya.
"Hahaha..Apakah dengan itu engkau sudah merasa baik? Mengajar saja masih butuh balasan. Bagaimana jika dirimu tidak digaji sebulan, siapkah dirimu memberikan semuanya dengan pengabdian? Tidak kan, engkau sakit sedikit sudah ijin tidak masuk. Seumpama tidak di bayar paling-paling juga sudah mengundurkan diri jadi seorang guru. Kau kira mudah menjadi seorang guru, dengan memberikan ilmu mu sudah kau anggap dirimu adalah seorang guru. Padahal setiap tindakan yang engkau lakukan akan diminati pertanggung jawaban. Misal engkau hidup di zaman dahulu engkau akan dibuang dengan sia-sia karena yang dibutuhkan adalah jasa. Sementara jika mendapat gaji atau upah adalah sebagai bonus, coba lihat para guru-guru yang sepuh mereka rajin mengajar dengan sabar. Tidak pernah mengeluh, memang yang dilakukan dengan niat menyebarkan ilmu dan menghidupkan agama. Lantas bagaimana niatmu? Hahaha. Kau perbaiki lagi niatmu."
Kembali lagi aku dibuat kalang-kabut oleh nelayan muda itu, aku sedikit merenungi katauperkata yang ia ucapkan. Terlalu banyak aku memandang dia hina. Melihat orang lain dengan sebelah mata, sementara diriku tidak pernah aku perhatikan. Posisiku adalah seorang guru, segala perkataanku akan di contoh oleh murid-muridku. Jika terus seperti ini yang aku perbuat maka sama saja aku merusak citra seorang guru. Aku menghadap kebawah dengan merenung.
"Kau sekarang sadar, tapi bagaimana nanti? Atau sedang pura-pura sadar?" Ucapnya semakin membuat terisak-isak hatiku. Air mataku mengalir, dadaku semakin sesak. Benar-benar kali ini aku dibuat tersungkur diatas kesombonganku menjadikan aku kembali tersadar dari tirai kegelapan.
Kembali aku merenungi dengan hati yang paling dalam. Banyak kebaikan yang aku abaikan, sholat selalu ku sendat-sendat waktunya. Malam hari tak pernah aku terbangun menghaturkan segala nikmat yang ku terima. Sehari lebih banyak mudhorot daripada manfaatnya. Astaghfirullah, apakah ini aku? Masih pantaskah mengaku diriku sebagai guru.
Sesekali aku bertanya menyela senggukan tangisanku "Hai anak muda, maafkan aku yang telah memandangmu sebelah mataku, merasa aku lebih baik daripada dirimu. Ternyata apa yang aku rasa adalah sebuah kesalahan, sekarang aku menyadari bahwa melihat kesalahan orang lain lebih mudah daripada kesalahan sendiri."
"Segeralah engkau pergi dan mengahadap Allah, meminta maaflah padaNya. Niscaya Allah akan memaafkan jika engkau sungguh-sungguh menyesali karena Allah adalah Kasih sayang yang merajai sangat senang jika disambut hambanya, di ingat hambanya. Maka hamba mengigat Allah dan Allah akan semakin mengingatnya. Sampai disini saja, hari sudah mulai lapuk dan sebentar lagi sore ini akan dibalut malam. Aku tidak bisa menemanimu dengan menasehatimu, aku tidak mampu menghapuskan masa lalumu. Aku bukanlah yang mengubah hidupmu hanya saja aku sebagai duri yang mencoba melindungi keindahanmu seperi mawar. "
Suara adzan maghrib menyeru bersahutan. Memberi tanda bahwa aku harus menyudahkan perbincangan dengan nelayan muda tersebut. Segera kutinggalkan semuanya dan mempercepat gerakan agar segera bertemu kekasihku.
Hari ini aku dibuatkan rindu oleh seorang nelayan kepada Tuhanku
Pertemuan ini tak pernah terencana
Membuat aku mendadak gelisah atas
Semua yang pernah ku perbuatkan
Kusangka apakah ini cercaan atau siraman
Sementara aku terdiam
Dalam hatiku bergejolak antara hinaan atau penyadaran
Tapi,
Sudahlah itu semua tidak penting bagiku
Ombak sore yang sembari tadi mencoba meyakinkanku
Tidak akan begitu saja kuabaikan memberikan kembali
Mawarku yang sempat hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H