Dulu, di hulu sungai yang melintasi desaku ada mata air. Letaknya di kaki bukit sekitar 5 kilometer jaraknya dari rumah.Â
Layaknya masyarakat agraris pada umumnya, masyarakat memanfaatkan air sungai untuk mengairi persawahan. Melalui kanal irigasi berdinding pematang sawah, air dialirkan dan dibagi-bagi.
Di sungai itu aku dan kawan-kawan sepermainan berenang. Tak jarang kami berenang diantara kerbau-kerbau yang sedang dimandikan. Tanpa sungai itu mungkin sampai hari ini kami tidak cakap berenang.Â
Di waktu senggang, memancing ikan di sungai dan cecorok atau memancing belut di pematang sawah menjadi rutinitas kami mengisi hari.
Tapi semua itu kini tinggal kenangan. Mata air sudah lama mati. Anak sungai tak setiap waktu dialiri air. Sawah pun hanya digarap saat musim penghujan tiba.Â
Belut, lele, gabus, betik, sepat, keting dan ikan lundu yang biasa kami pancing sudah lama raib. Kawanan burung kuntul di area persawahan pun tak lagi nampak. Apalagi segerombolan ayam-ayaman yang kerap ber-choir ria di persawahan di belakang rumah nenek saat pagi dan sore hari. Mereka semuanya menghilang, pergi, dan tak pernah kembali.Â
Apa yang terjadi di kampungku, juga di tempat-tempat lain, adalah contoh nyata tentang krisis ekologis akibat matinya sumber mata air. Hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan seperti sebelumnya akhirnya sirna. Anak zaman sekarang bilangnya "loe, guwa, end!"
Tuntutan hidup terkadang membuat manusia bersikap pragmatis dan memilih mengorbankan alam. Banyak daerah resapan air beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, ladang, maupun perkebunan.
Padahal, jika saja manusia memilih untuk menjaga alam, maka alam pun akan menjaga manusia. Kehidupan masyarakat di Kampung Naga adalah contohnya.
Harmoni di Kampung Naga
Cerita tentang masyarakat Kampung Naga yang hidup harmoni dengan alam sudah lama terdengar. Perkampungan ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Penduduknya dikenal dengan sebutan Sanaga.